Nasihat lama kerap terngiang: “Bersedekah itu tergolong kedermawanan yang terpuji, apa lagi jika sedekahnya untuk banyak sekali orang.” Bersedekah bukan hanya merupakan ikhtiar untuk sedikit-banyak ikut meringankan beban sesama manusia yang kekurangan. Tapi, bersedekah sekaligus ungkapan kasih sayang, solidaritas, dan perilaku empatetik kepada sesama manusia.
Nasihat itu masih ada kelanjutannya: “Bersedekahlah secara sembunyi-sembunyi, tak perlu orang lain tahu. Bahkan, jika tangan kananmu bersedekah, jangan sampai tangan kirimu tahu.”
Mengapa kedermawanan itu terpuji? Menurut para arif, berbagi kemakmuran dengan orang lain, yang tergolong fakir dan miskin, umpamanya, memerlukan kerelaan. Kita barangkali berpikir sudah bekerja keras untuk memperoleh penghasilan dan mengumpulkan harta, kenapa harus berbagi dengan orang lain?
Tidak mudah menyadari bahwa di dalam harta yang kita punya terdapat hak orang lain. Terlebih lagi tidak mudah menyadari bahwa melepas harta merupakan cara membebaskan diri dari beban pertanggungjawaban atas harta. Untuk apa hartamu?
Namun, tidak semua orang menyadari bahwa terdapat tantangan besar yang menyertai aktivitas bersedekah. Berbagi kemakmuran secara masal berpotensi membuat orang atau pihak yang bersedekah untuk terpeleset ke dalam kubangan unjuk kedermawanan. Aktivitas bersedekah memang terpuji, namun menurut para arif, bila sudah bersedekah lantas menganggap diri sendiri sudah menjadi orang baik dan memamerkan amal kebaikan agar dipuji dapat menurunkan nilai pujian itu.
Di masa-masa tertentu, bagi-bagi sembako dilakukan secara masal, terbuka, dan bahkan mengundang awak media untuk meliput. Kedermawanan dipertontonkan sebagai drama: kupon sembako dibagi-bagikan di RT-RW, rakyat diajak beramai-ramai mendatangi tempat pembagian sembako. Sayangnya, pengelolaan acara kerap tak selalu andal. Rakyat berdesak-desakan, berimpitan, saling berebut, hingga akhirnya jatuh korban—terimpit, terinjak, kekurangan oksigen.
Kedermawanan yang seharusnya tersembunyi kini malah dipertontonkan kepada khalayak dan memakan korban. Rakyat diperlakukan sebagi obyek kedermawanan. Kerap terjadi, di tahun politik (tingkat nasional maupun daerah), rakyat diperlakukan sebagai obyek ketika acara sedekah masal dilambari dengan maksud dan tujuan lain, misalnya agar rakyat memberikan suaranya untuk mereka. Sedekah masal juga kerap dibungkus sebagai kegiatan pasar murah. Saat itulah, sedekah telah melenceng jauh dari ruhnya semula: berbagi kemakmuran dan membantu yang kesukaran secara diam-diam dan tanpa pamrih.
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.