x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Sontoloyo, Pelecehan Simbol Agama, dan Cinta

Mungkin benar adanya, bahwa apapun fenomena di Bumi Pertiwi ini selalu saja dikaitkan dengan politik. Mereka lupa, bahwa krisis ekonomi dan kesenjangan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Istilah “politik sontoloyo” tiba-tiba ramai menjadi perbincangan di media dan menjadi perdebatan cukup sengit di ranah publik. Hal ini bukan karena istilah tersebut memang frasa absurd yang memang ditujukan bagi para politisi “ngasal” yang gemar mempolitisasi banyak hal, namun persoalannya ada pada siapa sang pengucap istilah tersebut. Saya sendiri sepakat dengan Pak Jokowi yang pertama kali melontarkan istilah “sontoloyo” ini pada suatu entitas politik, karena sejatinya politik itu cara bagaimana mendapatkan kekuasaan. Suatu cara tentu saja dapat dilakukan melalui media apa saja dan politik tentu saja aspek dimana segala macam cara “dihalalkan”.

Bukan suatu kebetulan, bahwa istilah ini justru muncul ditengah ramainya isu pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh beberapa oknum salah satu ormas. Sehingga, seakan-akan, terjadinya kisruh ini memang disebabkan oleh kenyataan politik yang sontoloyo. Saling silang apakah yang dibakar itu bendera ormas atau bendera “tahlil” semakin menunjukkan betapa sontoloyonya politik di negeri ini. Saya kira, andapun memiliki pendapat sendiri terhadap kekisruhan ini, dengan dalih masing-masing yang sangat bertolak belakang, karena yang satu kubu memandang itu bendera ormas sehingga membakarnya sebagai perwujudan cinta NKRI, disisi lain, menganggap itu bendera tahlil yang justru perbuatan berlebihan yang melecehkan simbol agama.

Saya pribadi menganggap, melakukan pembakaran terhadap simbol apapun, jelas perbuatan yang tidak menyenangkan dan dapat memicu permusuhan antarelemen bangsa. Apakah itu bendera tahlil dengan tulisan kalimat tauhid ataukan simbol bagi organisasi yang memang secara nyata telah dibubarkan negara. Namun demikian, ditengah ruang politik sontoloyo, segala hal yang benar dapat dipersalahkan, begitupun sebaliknya, kenyataan yang memang salah justru dapat dibenarkan. Munculnya saling silang sebagai reaksi dukungan publik terhadap salah satu pihak dengan klaim kebenaran sendiri-sendiri, jelas menambah sontoloyo kepolitikan di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin benar adanya, bahwa apapun fenomena di Bumi Pertiwi ini selalu saja dikaitkan dengan politik. Mereka lupa, bahwa krisis ekonomi dan kesenjangan sosial semakin terasa menganga, tetapi tak dipedulikan sama sekali. Anehnya, friksi soal apakah itu bendera tauhid atau bendera ormas semakin menajam dan meluas terkena dampak politik sontoloyo yang memang sengaja dimanipulasi oleh para politisi “ngeyel”. Saya sendiri tak heran dengan ajang kepolitikan seperti saat ini, walaupun kadang merasa jengkel atas semakin mudahnya isu-isu tertentu digiring secara sontoloyo agar dapat mendapatkan “pembenaran” secara politik.

Saya sendiri hampir terpancing oleh suasana politik sontoloyo yang memang sengaja dibuat oleh para politisi yang “tidak baik”, menciptakan suasana friksi antarkelompok semakin tajam dengan memoles “baju politik” seakan “baju agama”. Ada benarnya memang, dimana “orang baik tidak menjadi politisi” dimana tanda kutip memperlihatkan bahwa sesungguhnya orang-orang baik itu adanya di luar sana, menjauhi simpul-simpul kekuasaan politik yang terikat secara sontoloyo. Saya tidak akan berapologi untuk membenarkan apapun yang jelas-jelas meresahkan masyarakat, karena lebih baik mengamati tidak ikut-ikutan arus friksi yang memang dimodifikasi.

Sebagai seorang muslim saya sangat meyakini, bahwa apapun yang menimbulkan kerusakan di muka bumi—baik itu kerusakan secara sosial, moral, maupun politik—sama halnya dengan “merusak sesuatu yang sebelumnya telah diperbaiki” (tufsiduu fil ardli ba’da islahiha). Alangkah sontoloyonya jika ada seseorang atau sekelompok orang yang sengaja merusak segala sesuatu tatanan yang sebelumnya telah baik. Jadi, fenomena politik sontoloyo terasa benar adanya, mengingat banyak hal yang telah baik justru belakangan dibuat menjadi rusak.

Lalu, apakah soal kasus pembakaran bendera yang terkait simbol tertentu terdapat unsur pelecehan agama? Jika ada simbol agama yang tertera didalamnya, maka itu dapat dikategorikan pelecehan atas simbol agama dan hal ini menjadi wilayah hukum untuk menyelesaikannya. Tak perlu menyimpulkan bahwa itu terkait aksi suatu organisasi, sehingga muncul tuduhan yang menyakitkan sehingga organisasi tersebut harus dibubarkan. Jika ada satu atau dua orang yang melecehkan suatu agama, apakah agama itu harus dibubarkan? Saya kira tidak, walaupun demikian, politik sontoloyo berperan memperkeruh suasana dengan terus membuat apologi dan agitasi untuk membakar semangat yang seolah-olah didasari atas keagamaan padahal sesungguhnya adalah trik politik.

Kita memang dituntut untuk lebih jernih berpikir dengan melepaskan fanatisme kekelompokan yang mengungkung pola pikir kita sendiri. Fanatisme jelas sikap berlebihan yang pada akhirnya akan lebih banyak mengorbankan akal sehat digantikan nafsu kita sendiri. Jangankan fanatisme kekelompokan, dalam sikap keberagamaan-pun fanatisme itu dilarang, karena fanatik akan menutup celah berpikir jernih karena bias yang ada dibelakang kepala kita. Saya kira, peran politik sontoloyo dalam hal friksi sosial justru mengaburkan makna “kebenaran” sesuai kewarasan berpikir dan mengaburkannya melalui isu-isu fanatisme yang dihembuskan, sehingga pada akhirnya menyumbat seluruh saluran akal sehat.

Saya, anda, dan kita semua cinta NKRI sehingga tak ada klaim kebenaran atas satu atau sekelompok orang yang paling hebat cintanya terhadap Indonesia. Itulah kenapa, klaim cinta NKRI sering disalahgunakan dalam berbagai hal terkait dinamika politik. Mencintai NKRI berarti mencintai persatuan, keragaman, dan sangat senang terhadap perdamaian. Mencintai NKRI jelas tak mungkin menyakiti siapapun mereka yang hidup di atas bumi Pertiwi, apalagi merusaknya dengan melecehkan, menghina, mencaci maki, atau membuat suasana permusuhan dan kebencian. Hanya politik sontoloyo-lah pada akhirnya yang harus dipersalahkan, karena suasana kekisruhan dibuat, didisain, dimanipulasi, demi tujuan-tujuan kepentingan politik.

Menjadi seseorang yang cinta terhadap sesuatu itu mudah, tetapi menjaganya justru yang susah. Itulah kenyataan bangsa ini yang sangat cinta NKRI, tetapi pada kenyataannya menjaga menjadi pecinta yang sesungguhnya ternyata tidaklah mudah. Lagi-lagi, ini soal politik sontoloyo yang sukses mengaburkan banyak hal, termasuk menunggangi agama demi kepentingan kuasa. Yang jelas, cinta terhadap apapun tentu saja tak boleh berlebihan atau lebih parah lagi jika mencintai sekadar dibuat-buat. Ingat, cinta tertinggi adalah bentuk cinta tanpa syarat (unconditional love), namun jika cinta masih ada syarat (conditional love) dan didorong keinginan tertentu, apalagi didorong keinginan materi, jelas patut dipertanyakan. Cinta adalah iman yang terlepas dari anasir material apapun, sehingga mewujud dalam bentuk kasih sayang tanpa syarat kepada siapapun, termasuk kebaikan dan keberkahan terhadap negeri kita tercinta ini.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

17 jam lalu

Terpopuler