x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengingat Mosi Integral Natsir

Mohammad Natsir memprakarsai kembalinya Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan, 3 April 1950.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam politik praktis maupun akademis, para elite dan akademisi kerap memakai istilah ‘Islam-Nasionalis’ dalam bingkai yang sangat mengesankan dikotomis. Seolah-olah, yang Islam tidak atau kurang Pancasilais, sehingga dalam beraneka pemilihan kepemimpinan, kerap dikampanyekan bahwa pasangan tertentu merupakan perpaduan ‘Islam-Nasionalis’, sehingga dikesankan sebagai kepemimpinan yang komplit.

Pen-dikotomi-an Islam dan Nasionalisme yang kerap didengungkan seperti itu lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya, kecuali bagi sebagaian pihak yang memiliki tujuan politik tertentu. Pen-dikotomi-an seperti ini juga menafikan fakta sejarah  bahwa figur yang kerap diberi atribusi atau sebutan tokoh Islam adalah pejuang nasionalis tulen yang berperan penting dalam banyak peristiwa historis bersama tokoh-tokoh lain dengan latar belakang yang berbeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siapapun mestinya tidak melupakan peristiwa historis bangsa ini, termasuk peristiwa yang terjadi pada 3 April 1950—hampir 70 tahun yang lampau. Lima tahun setelah Bung Karno-Bung Hatta memimpin proklamasi bangsa kita, Indonesia dalam keadaan memprihatinkan. Belanda tidak henti-henti berusaha menguasai kembali Indonesia melalui serangkaian agresi militer maupun politik internasional.

Hanya dua tahun setelah Proklamasi, di bawah kepemimpinan Jenderal van Mook, tentara Belanda melakukan agresi militer I dengan wilayah operasi Jawa dan Sumatra, yang berlangsung sejak 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Secara sepihak, Belanda mengatakan bahwa hasil-hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi. Melalui upaya internasional, gencatan senjata tercapai, tapi usianya tidak lama.

Belanda kembali melakukan agresi militer (II) sejak 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan ke Yogyakarta, ibukota Indonesia saat itu. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, serta tokoh-tokoh lain ditangkap. Kali ini, Belanda kembali mengingkari kesepakatan dan menyatakan tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Kepemimpinan nasional diserahkan kepada Sjafruddin Prawiranegara yang ditugasi untuk membentuk Pemerintah Darurat RI di Sumatra.

Belanda akhirnya berhasil dipaksa duduk lagi di meja perundingan. Hasilnya Perjanjian Roem-Roijen yang ditandatangani di Jakarta, 7 Mei 1949. Perjanjian ini sangat alot sehingga Bung Hatta harus didatangkan dari pengasingan di Bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk menegaskan dukungannya terhadap Republik Indonesia. “Jogjakarta is de Republiek Indonesie,” kata Sultan.

Setelah ini berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Pertemuan ini berlangsung lama, 23 Agustus-2 November 1949. Yang tidak mengenakan ialah di samping Indonesia dan Belanda, hadir pula apa yang disebut Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), yang mengaku mewakili berbagai negara di Kepulauan Indonesia. Negara-negara ini adalah boneka Belanda. Konferensi ini diakhiri dengan apa yang disebut oleh Belanda sebagai ‘penyerahan kedaulatan’ dari Belanda kepada Indonesia, tapi oleh Indonesia disebut sebagai ‘pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia’. Hasil lain perundingan yang menyesakkan dada ialah bahwa negeri ini menjadi Republik Indonesia Serikat—sebuah negara federal, bukan lagi kesatuan seperti saat Proklamasi Kemerdekaan. Di samping itu, Belanda menghendaki Papua tetap terpisah dari Indonesia.

Hasil-hasil KMB di Den Haag mengecewakan banyak pihak di tanah air, terutama dua butir tersebut: pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan terpisahnya Irian Barat (nama lama Papua Barat). Negara RIS mencakup sejumlah negara bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan. Yang disebut Republik Indonesia, saat itu, hanya terdiri atas Atjeh, Djogdjakarta, Lampoeng, dan Tapanoeli. Di samping itu masih ada 9 wilayah yang bersifat otonom.

Begitulah, akibat politik pecah belah dan hasrat kuasa sebagian elite Indonesia, negeri ini berdiri bukan lagi sebagai negara kesatuan, melainkan serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS), hanya lima tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan. Sebagai negara serikat, Indonesia merupakan federasi sejumlah ‘negara bagian’, bukan provinsi seperti sekarang.

Keprihatinan atas hasil-hasil KMB di Den Haag itulah yang membuat Mohammad Natsir menolak tawaran Mohammad Hatta, sebagai Perdana Menteri, untuk menjabat menteri dalam Kabinet RIS. Natsir memilih berjuang melalui Parlemen untuk mengembalikan ruh sejati bangsa dan negeri ini, yaitu sebuah negara kesatuan, bukan federal. Natsir, yang dikenal sebagai figur penting Masjumi dan disebut sebagai tokoh Islam, berjuang keras untuk membubarkan RIS dan mengembalikan apa yang sekarang sering disebut sebagai NKRI.

Maka, pada 3 April 1950—atau 69 tahun yang silam—Natsir mengajukan pidato yang dikenal sebagai ‘mosi integral (penyatuan kembali)’ di depan anggota Parlemen Indonesia dan menegaskan pentingnya Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan atau Republik sepenuhnya atau NKRI. Niat tulus Natsir dan upaya kerasnya meyakinkan baik kawan maupun lawan politik kemudian melahirkan persetujuan Parlemen terhadap prakarsanya itu. Tidak ada satupun yang menentang ide Natsir, pun dari negara bagian buatan Belanda. Mereka memilih kembali ke Negara Kesatuan.

Berkat gagasan Natsir dan kesepakatan bersama, pada 17 Agustus 1950, Indonesia menyatakan diri kembali ke bentuk Negara Kesatuan. Soekarno, sebagai Presiden, menunjuk Natsir sebagai Perdana Menteri untuk menyusun kabinet. Walaupun usia kabinet ini relatif pendek, delapan bulan, namun, seperti ditulis Herbert Feith dalam bukunya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Natsir bersama kabinetnya telah membawa Indonesia ke jalan tertib sipil, melaksanakan administrasi rutin, dan meningkatnya produktivitas nasional serta pertumbuhan ekonomi. Natsir berperan penting dalam mengembalikan situasi revolusi  ke dalam situasi normal dan meletakkan dasar-dasar politik demokrasi. Melalui Mosi Integrasi dan berbagai upayanya itu, Natsir telah menunjukkan kecintaannya kepada bangsa dan negara kesatuan ini. Ia ingin bangsa ini tetap utuh dan tidak tercerai-berai. Natsir menunjukkan dalam praktik, bukan berkoar-koar sekedar mengajukan klaim. Memang benar Natsir seorang Muslim, tapi fakta sejarah juga menunjukkan bahwa ia seorang Nasionalis tulen yang berjuang untuk bangsanya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler