x

Pekerja menata kotak suara kardus di Gudang Logistik KPU Kota Tasikmalaya, Cibeurem, Jawa Barat, Jumat 1 Februari 2019. KPU Kota Tasikmalaya menyatakan kesiapan logistik Pemilu 2019 sudah mencapai 90 persen, diantaranya dengan 10.410 kotak suara dan 4.325 bilik suara yang telah tersedia untuk nantinya didistribusikan ke 2.063 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 10 kecamatan. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 4 Juli 2019 14:35 WIB

Rekonsiliasi, Memulihkan Luka

Luka hati para elite mungkin bisa dihibur dengan politik transaksional. Namun janganlah beranggapan bahwa rakyat pun begitu. Lagi pula, rakyat tidak memiliki kapasitas untuk melakukan transaksi politik. Di sinilah justru masalahnya, bagaimana agar rajutan persatuan kembali itu berakar pada rakyat, bukan hanya beredar di tataran elite politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Mengakhiri perselisihan kelihatannya tidak semudah memulai pertengkaran. Dengan sekali sengatan hoax, cacian, ejekan, fitnah, canda berlebihan, atau perundungan, permusuhan di tengah masyarakat mudah sekali tersulut. Reaksi emosional seringkali lebih cepat muncul ke permukaan mendahului telaah berbekal pikiran jernih. Situasi tenang mendadak keruh.

Banyak orang mengatakan bahwa pilpres sudah usai dan kini waktunya kita merajut persatuan kembali. Bagaimana cara kita merajut? Dari mana kita memulai? Siapa yang sebaiknya melakukannya? Hanya elite politik sajakah? Mewujudkan ajakan ini ternyata tidak semudah mengucapkannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian orang bilang, ajak saja mereka bergabung ke dalam koalisi. Bagi rakyat, ajakan masuk ke dalam koalisi itu sangat elitis, bahkan dalam maknanya yang paling harfiah, yaitu hanya sedikit orang yang terlibat dalam pembicaraan dan sedikit orang saja yang akan menempati jabatan tertentu di pemerintahan—di kabinet maupun di luar kabinet. Soalnya, apa yang disebut ‘merajut persatuan kembali’ itu lebih dari sekedar melakukan transaksi politik di antara para elite, lalu beres. Lha, rakyat mau dikemanakan?

Luka hati para elite mungkin bisa dihibur dengan politik transaksional. Namun janganlah beranggapan bahwa rakyat pun begitu. Lagi pula, rakyat tidak memiliki kapasitas untuk melakukan transaksi politik. Di sinilah justru masalahnya, bagaimana agar rajutan persatuan kembali itu berakar pada rakyat, bukan hanya beredar di tataran elite politik. Ini mengingat bahwa perselisihan pandangan itu telah mencapai tataran rakyat dan memengaruhi relasi sosial.

Perbedaan pilihan dalam pilpres mengirimkan pesan adanya perbedaan rakyat dalam memandang persoalan-persoalan bangsa yang kemudian rakyat mencari personifikasi pada figur tertentu. Dalam Pilpres 2019, personifikasi pandangan rakyat dianggap terwakili oleh kedua capres, Joko-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi. Andaikan jumlah capres lebih dari dua orang, pilihan rakyat niscaya akan lebih tersebar dan bukan membentuk barisan yang diametral seperti yang sudah terjadi.

Angka perolehan versi KPU, 55,5% untuk Joko-Ma’ruf dan 44,5% untuk Prabowo-Sandi, terjadi karena memang hanya ada dua pilihan, 01 atau 02—di samping golput. Jika ada capres lain lagi, sangat mungkin rakyat menitipkan aspirasinya pada figur-figur selain kedua sosok tersebut. Angka-angka itu akan terdistribusi pula ke figur-figur lain.

Menjadi penting bagi siapapun yang menyeru maupun mengajak rekonsiliasi untuk memikirkan perkara ini melampaui kepentingan kedua capres dan pendukungnya di tingkat elite. Persentase pemilih capres 02 yang relatif besar juga menunjukkan bahwa sebagian rakyat memiliki aspirasi yang mungkin dekat dengan visi capres ini, meskipun tidak mesti sama persis. Karena itu, aspirasi mereka juga perlu didengarkan dan diserap sebagai bagian dari ikhtiar rekonsiliasi—ini jika kita memandang pemulihan kembali hubungan di antara rakyat bukan urusan elite politik semata, tapi juga urusan rakyat.

Penting bagi siapapun elite tersebut untuk memahami sudut pandang rakyat yang memiliki pilihan berbeda agar memudahkan jalan menemukan titik temu bagi rekonsiliasi. Mereka perlu menyerap kegelisahan sebagian rakyat terhadap isu tertentu, yang dianggap lumrah oleh sebagian yang lain. Menafikan dan menganggap rakyat tidak memiliki aspirasi, dan hanya mengikut kemanapun capresnya pergi, tidaklah bijak. Apa lagi menganggap pandangan sendiri sebagai yang paling benar.

Memulihkan luka itu lebih sukar daripada mengakhiri perselisihan. Terdapat banyak faktor yang memengaruhi, sehingga pesan agar legowo dalam menerima keputusan MK tampaknya tidak mencukupi. Para elite politik seyogyanya berpikir melampaui masalah menang dan kalah dalam kontestasi maupun persidangan di ruang Mahkamah Konstritusi, sebab di balik yang terlihat di ruang sidang terdapat hal-hal yang tidak kelihatan dan penting untuk dieksplorasi lebih dalam. Termasuk di dalamnya bagaimana memahami sudut pandang rakyat pemilih yang berbeda pilihan dan bagaimana menempatkan aspirasi mereka secara layak dalam kerja pemerintahan sepanjang lima tahun mendatang. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu