x

DN Aidit saat memberikan sambutan pada ulang tahun ke-5 Partai Persatuan Sosialis Jerman (Sozialistische Einheitspartei Deutschlands) di Berlin (1958). wikipedia. org

Iklan

Qusthan Firdaus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Agustus 2019

Senin, 12 Agustus 2019 17:37 WIB

Oligarki Kaum Kiri: Aidit Oposan Soekarno?

Artikel ini menunjukkan kaitan antara oligarki yang ditopang oleh feodalisme dengan rendahnya budaya oposisi di Indonesia. Bahkan partai yang dianggap paling progresif sekalipun menggunakan struktur oligarkis sementara ketuanya tergelincir pada sesat pikir dalam mengkritik pemimpin besar revolusi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika anda percaya bahwa kaum kiri Indonesia bebas dari oligarki sekaligus memiliki tradisi oposisi yang baik; maka anda perlu membaca artikel ini hingga tuntas.

Menjadi "kiri" di Indonesia sama dengan mengambil resiko persekusi. Asosiasinya terlampau luas mulai dari sosialis, Marxis, komunis, ekstremis, radikal, revolusioner hingga ateis meski semuanya belum tentu benar.

Secara virtual, ide oligarki terkandung dalam konsep "diktatur proletariat" atau--meminjam istilah D. N. Aidit dalam pidato perayaan ulang tahun PKI pada 23 Mei 1952--"diktatur demokrasi Rakyat."

Oligarki juga nampak pada politbiro yang merupakan komite, presidium atau biro pembuat kebijakan politis berisi segelintir elit di komite sentral partai komunis.

Artinya, diktatur menempati puncak piramida oligarki sementara politbiro di jenjang kedua, dan komite sentral di level ketiga.

Jika asumsi bahwa partai komunis mencerminkan ide oligarki memang tepat, maka ada dua pertanyaan yang patut kita telusuri.

Apakah oligarki menghambat budaya oposisi di Indonesia? Atau justru kealpaan budaya oposisi yang mengimplikasikan oligarki?

I

Secara denotatif, budaya oposisi (Latin: opponere = melawan) adalah kebiasaan atau tradisi untuk mengungkapkan ketidaksetujuan atau bahkan perlawanan dalam bentuk argumentasi atau tindakan.

Namun, elit politik negeri ini enggan menunjuk batang hidung pihak-pihak yang mereka kritik. Ungkapan seperti "ada yang;" "tidak perlu saya sebut;" "biar masyarakat yang menilai;" hingga "publik sudah tahu;" merupakan sebagian contoh dari hal tersebut.

Di sisi lain, oligarki (Yunani: oligoi = beberapa; arkhein = memerintah) ialah kelompok kecil yang menguasai sebuah organisasi atau bahkan negara.

Oligarki semakin langgeng ketika bercampur dengan kebajikan seperti harmoni.

Secara umum, nilai harmoni dalam sebagian kebudayaan Asia menghambat pertumbuhan budaya oposisi seperti yang terpancar dari ajaran Konfusius: "orang miskin jangan melawan orang kaya. Orang kaya jangan melawan penguasa."

Di Asia Tenggara, hanya Indonesia yang mendekati syarat-syarat negara demokratis meski sirkulasi elit politik bersifat stagnan sejak pemilihan umum tahun 1999.

II

Selama 21 tahun (1945-1966) menjadi presiden, Soekarno memelihara ketegangan antara PKI, PNI, PSI, Masjumi dan AD.

Era demokrasi liberal (1945-1959) menunjukkan pertentangan secara diametral antara Masjumi versus PKI. Meski demikian, hubungan pribadi antara Natsir dengan Aidit tetap baik.

Hal ini berbanding terbalik dengan sifat "baper" yang nampak pada sebagian elit politik hari ini.

Akibatnya, sikap oposisi bukan terjadi secara institusional antara partai di luar dengan di dalam kabinet; tapi secara personal antara Megawati dengan SBY, Megawati dengan Rachmawati, Gus Dur dengan Amien Rais, Gus Dur dengan Akbar Tandjung dan lain sebagainya.

III

Dalam Kongres II CGMI yang berlangsung pada 28 September 1965, Aidit mempermalukan Soekarno dengan mengatakan, "Indonesia belum mencapai kemajuan dan kemakmuran. Negara ini memang tidak akan bisa maju kalau diurus oleh pemimpin yang mempunyai empat atau malahan lima orang istri.”

Di sini, Aidit menggunakan sesat pikir jenis argumentum ad hominem karena menyerang pribadi Soekarno guna mendevaluasi kualitas kepemimpinannya dalam membangun Indonesia.

Fakta historis bahwa Aidit menjatuhkan marwah “Pemimpin Besar Revolusi” dua hari sebelum G30S mengandung sekurangnya tiga makna.

Pertama, Aidit meruncingkan posisinya sebagai oposan Soekarno. Kedua, ia memprovokasi atau bahkan membuka front oposisi melawan “penyambung lidah rakyat”. Ketiga, Aidit berpotensi mengetahui “tsunami politik” berupa rencana penculikan tujuh jenderal yang terjadi 48 jam ke depan.

Rupanya, penghargaan berupa Bintang Mahaputera beberapa hari sebelumnya tidak mengurungkan celaan Aidit pada Soekarno.

Namun, model oposisi seperti ini tidak mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi hanya menyebar kebencian dan sesat pikir.

Paduka Yang Mulia” Soekarno meninggalkan ruangan seolah menunjukkan bahwa Aidit bukan oposan yang setara dengannya. Padahal, sekitar empat bulan sebelumnya di perayaan ulang tahun PKI pada 23 Mei 1965; Soekarno memuji PKI sebagai "konsekuen progresif revolusioner," dan mendo'akan agar partai ini "subur, subur, subur, maju, maju, maju, onward, onward, onward, never retreat!"

IV

Struktur PKI dan perilaku Aidit memberikan petunjuk untuk menjawab pertanyaan di awal.

Oligarki menyulitkan pengembangan budaya oposisi dalam demokrasi Indonesia bahkan di tubuh partai yang “paling progresif” sekalipun; ketimbang sebaliknya. Sebab, feodalisme yang mengutamakan harmoni menyokong secara maksimal oligarki di negeri ini.

Jika anda masih berpikir bahwa PKI merupakan kampiun budaya oposisi serta bebas dari anasir oligarki atau koncoisme, maka luangkan waktu lebih banyak untuk memelajari argumentasi di atas dengan kepala dingin serta hati yang lapang.

 

***

Ikuti tulisan menarik Qusthan Firdaus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler