x

Iklan

Qusthan Firdaus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Agustus 2019

Minggu, 18 Agustus 2019 18:14 WIB

Menggugat Sila Keempat: Oligarki terselubung dalam Pancasila

Komposisi sila keempat Pancasila yang rumit menyamarkan potensi oligarki di dalamnya. Apa saja argumentasinya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di samping komposisi kalimatnya yang rumit, sila keempat Pancasila mengandung tiga substansi yang penting untuk dicermati yaitu (1) kerakyatan yang dipimpin, (2) hikmat kebijaksanaan, dan (3) permusyawaratan perwakilan.

 

Kerakyatan yang Dipimpin

Ide 'kerakyatan yang dipimpin' seolah memberikan ruang bagi Soeharto untuk menyalahgunakan 'Demokrasi Pancasila;' maupun Soekarno untuk memaksakan 'Demokrasi Terpimpin' (1959-1966); yang sesungguhnya merupakan otoritarianisme.

 

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai basis fundamental bagi Demokrasi Terpimpin merupakan penanda hal itu. Dengan dalih Konstituante gagal mengambil keputusan, Soekarno menerabas ayat-ayat konstitusi.

 

Padahal, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan Konstituante (parlemen) dan Undang-Undang Dasar Sementara; menetapkan kembali berlakunya UUD 1945; maupun membentuk MPRS dan DPA Sementara.

 

Sebab, presiden bukan raja yang titahnya bersifat absolut. Namun, kita mengetahui bahwa Soekarno merupakan presiden seumur hidup yang mendapuk dirinya sendiri sebagai "Paduka Yang Mulia."

 

Hanya karena mendapat dukungan dari Angkatan Darat, Soekarno tidak makzul seperti Presiden Abdurrahman Wahid setelah mengeluarkan Maklumat Presiden 23 Juli 2001 yang juga membubarkan DPR.

 

Kemudian, ide 'kerakyatan yang dipimpin' mengindikasikan bahwa nalar publik belum sampai pada esensi dan substansi demokrasi sehingga membutuhkan pandu berupa 'hikmat kebijaksanaan.'

 

Hal ini koheren dengan amanat konstitusi untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa." Pendiri bangsa menganggap sebagian besar warganya belum cerdas dengan alasan yang keliru semisal tingginya angka buta huruf (Latin) pada masa awal kemerdekaan meski boleh jadi rakyat fasih membaca dan menulis bahasa Arab.

 

Rakyat memang butuh pemimpin tapi bukan berarti digembalakan sedemikian rupa agar "pejah gesang nderek presiden."

 

Hikmat Kebijaksanaan

Alasannya, belum tentu semua pemimpin memancarkan hikmat kebijaksanaan di samping problem seperti ketiadaan tolok ukurnya.

 

Bahasa Indonesia sayangnya tidak mendefinisikan komponen substansial dan hakiki penyusun kata hikmat tapi hanya menyediakan sinonimnya yaitu kebijakan, kearifan atau kesaktian.

 

Sebagai catatan, kita perlu menggarisbawahi bahwa ada perbedaan mendasar antara kebijakan (policies) dengan kebijaksanaan (wisdom).

 

Di satu sisi, kebijakan berarti asas dan konsep yang menjadi panduan dalam bertindak, bekerja dan memimpin.

 

Di sisi lain, kebijaksanaan ialah pemakaian akal budi secara pandai serta cakap dalam mengatasi kesulitan.

 

Dengan kata lain, 'hikmat kebijaksanaan' secara denotatif berarti kebijakan yang dibuat berdasarkan kepandaian menggunakan akal budi sekaligus cakap dalam bertindak.

 

Di samping itu, hikmat kebijaksanaan bisa jadi hanyalah kata-kata kosong hampa makna khususnya di hadapan presiden nasionalis maupun agamis yang membubarkan DPR.

 

Tapi, apakah seorang diktator atau bahkan pseudo-diktator memiliki kepandaian akal budi untuk menjadi seorang bijak? Bukankah, ia tidak akan menjadi seorang diktator apabila memang memiliki sifat bijak?

 

Permusyawaratan Perwakilan

Tepat di sini, kaum nasionalis, agamis dan Marxis perlu menguji argumentasi masing-masing dalam institusi seperti permusyawaratan perwakilan. Perwakilan menjadi karakter musyawarah karena Indonesia bukan Athena yang warganya sedikit.

 

Manifestasi historis dari permusyawaratan perwakilan ialah eksistensi DPR, DPD dan gabungan keduanya berupa MPR. Namun, MPR mengalami degradasi dari sebelumnya lembaga tertinggi menjadi hanya lembaga tinggi negara.

 

Ketika presiden masih dipilih oleh MPR, hal ini lebih koheren dengan permusyawaratan perwakilan ketimbang pemilihan presiden secara langsung.

 

Praktik historis MPR memberikan mandat pada presiden; perlu dipisahkan secara tegas dari penyelewengan politis bahwa presiden petahana memilih mayoritas anggota MPR periode berikutnya.

 

Sebab, hal ini mengimplikasikan konflik kepentingan antara presiden petahana dengan anggota MPR yang mewakili rakyat guna memberikan mandat pada presiden berikutnya.

 

Dengan demikian, boleh saja orang mengusung kembali agar MPR yang memilih presiden hanya jika masa jabatannya satu periode. Hal ini penting untuk perkaderan kepemimpinan nasional.

 

Dalam pemilihan presiden langsung seperti sekarang, suara orang di luar Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak akan menentukan siapa calon presiden terpilih.

 

Hakikat

Lantas, apa hakikat sila keempat Pancasila?

 

Jika substansi memang menyusun hakikat, maka seseorang bisa mengklaim bahwa sila keempat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi karena asumsi keliru bahwa nalar publik belum memadai sehingga harus selalu dipandu oleh 'kerakyatan yang dipimpin.'

 

Tepat di sini, ide oligarki hadir secara terselubung dalam Pancasila. Selama rakyat masih dipimpin hikmat kebijaksanaan yang tolok ukurnya arbitrer, Indonesia sulit untuk bebas dari praktik oligarki.

Ikuti tulisan menarik Qusthan Firdaus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler