x

Oligarki dalam Demokrasi

Iklan

Ardanmarua

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Juli 2019

Jumat, 16 Agustus 2019 17:24 WIB

Kita Bukan Menolak Oligarki

Ribuan kali kita mendengar orang-orang, terutama pegiat demokrasi, menolak keberadaan oligarki dalam demokrasi. Maka pada artikel ini saya bermaksud ingin menunjukan bahwa oligarki adalah sah di dalam demokrasi dan memang begitulah watak sesungguh demokrasi kita dari dulu hingga sekarang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Siapa pun yang Anda pilih, pemenangnya adalah Oligarki", adalah kalimat yang kencang di gaungkan, paling tidak, di sepanjang waktu proses pemilihan umum berlangsung, oleh kaum golputer, mereka yang memilih abstain dalam pemilihan umum. Padahal demokrasi adalah kehadiran, bukan ketidakhadiran.

Pengamat Politik sekaligus mantan dosen filsafat di Universitas Indonesia, Rocky Gerung, saat diundang mengisi diskusi di acara Indonesia Lawyer Club, pun berulang kali mengucapkan kalimat serupa untuk mendeskripsikan wajah demokrasi Indonesia kontemporer, bahwa pemilihan umum bukan dimenangkan oleh Jokowi-Ma'aruf, tetapi pemenangnya adalah para oligarki.

Secara harfiah oligarki adalah pemerintahan oleh segelintir orang. Segelintir orang itu bisa jadi adalah elite politik, usahawan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan kelompok-kelompok dengan jumlah orang secuil lainnya. Di mana pun ada kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir orang, di situ ada oligarkisme, dan sebaliknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi menjadi pertanyaan kemudian, mengapa kelompok yang paling sering diasosiasikan sebagai oligarki hannyalah kaum pengusaha saja, bukan tokoh agama atau kepala preman di pasar, misalnya? Sebagai contoh:

Menurut Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan oligarki semakin menguat di Indonesia. Menurutnya, yang menjadi penyebab menguatnya oligarki di Indonesia bersumber pada dua hal: Pertama, ketimpangan ekonomi dengan 0,00000000002 persen masyarakat yang menguasai 10 persen Pendapat Domestik Bruto (PDB); Kedua, adanya warisan sistem orde baru dalam sistem ekonomi politik.

Pada titik ini, saya katakan, banyak di antara kita telah salah memaknai hakikat, kesejatian, demokrasi yang sesungguhnya, jika bukan mendistorsi, dan bagaimana kaitannya dengan oligarki.

Menggunakan basis ekonomi sebagai variabel utama mengukur demokratis atau tidaknya suatu tatanan politik adalah bukti ketidak pahaman luar biasa tentang demokrasi itu sendiri—apalagi kemudian mengaitkannya dengan oligarki, pemerintahan segelintir orang. Pertama, karena demokrasi adalah bukan suatu sistem perekonomian; Kedua, oligarki inheren di dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi, seperti di Indonesia, dan negara-negara demokrasi pada umumnya.

Atas dasar itulah orang sering mengatakan oligarki bukan sesuatu hal yang baru dalam alam demokrasi—dan inilah alasan Karl Marx berkata bahwa demokrasi adalah jalan melawan kapitalisme menuju sosialisme. Karena memang demokrasi terbuka bagi siapa saja untuk berkuasa, terutama untuk mereka yang mengorganisir, terorganisir, dan mau berkuasa.

Oligarki Sah di dalam Demokrasi Kita

Bila demokrasi sudah di institusionalisasikan, maka bentuk pemerintahannya sudah pasti adalah pemerintahan oligarki, pemerintahan yang dikendalikan oleh segelintir orang.

Menurut Robert Michels, sosiolog yang merancang teori Iron Law of Oligarchy, menyatakan bahwa semua organisasi yang kompleks, terlepas dari seberapa demokratisnya mereka ketika dimulai, akhirnya berkembang menjadi oligarki. Michels berkeyakinan bahwa tidak ada organisasi yang cukup besar dan kompleks dapat berfungsi murni sebagai demokrasi langsung, kekuasaan dalam organisasi akan selalu didelegasikan kepada individu-individu dalam kelompok itu, dipilih atau tidak.

Segelintir orang, yang hari ini kita sebut sebagai oligarki, kelompok yang memonopoli alat-alat produksi, sejak awal lahirnya istilah itu (demokrasi) sudah berusaha mempreteli artinya yang sesungguhnya, dan berusaha merubah maknanya seperti sebagaimana yang mereka kehendaki agar tidak membahayakan kedudukan mereka dalam kelas sosial.

Adigium demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, adalah contoh paling nyata untuk menunjukkan bagaimana demokrasi itu diubah maknanya: Dari yang tadinya kekuasaan atau pemerintahan rakyat, berubah menjadi pemerintahan dari rakyat; dari yang tadinya rakyat sebagai pelaku utama, diubah menjadi pelaku pertama.

Parahnya, banyak orang di sekitar kita hari ini menggunakan adigium ini untuk definisi demokrasi. Padahal mereka tahu sendiri bahwa kalimat itu pertama kali keluar dari mulut seorang pria bernama Abraham Lincoln. Dan, Abraham Linchon itu adalah bukan rakyat biasa, ia seorang Presiden, Presiden ke-16 Amerika Serikat, yang sebelumnya menjabat sebagai Anggota Legislatif, dan sebelumnya lagi menyandang profesi pengacara. Lincoln tidak pernah mengucapkan kalimat itu saat dirinya sebagai rakyat biasa dan dalam keadaan miskin, apalagi tertindas. Andai kata Lincoln dalam keadaan miskin dan tertindas, saya yakin dia akan berteriak: rakyat adalah penguasa sah, maka kekuasaan harus dikembali ke tangan rakyat.

Namun, pada suatu tatanan di mana mayoritas rakyat tertindas berjalan menuju suatu tatanan yang demokrasi, tatanan tanpa perbudakan upah ataupun hadiah, di tengah perjalanan mereka (demos), sekelompok orang berkelas ekonomi tinggi berusaha sekuat tenaga untuk menginstitusionalisasikan demokrasi dan mengirim beberapa orang-orang mereka untuk membuat hukum yang bisa melindungi mereka dari kepungan rakyat miskin, saya pikir, adalah tindakan yang wajar. Karena pada dasarnya setiap orang cukup takut untuk berhadap-hadapan dengan banyak orang tentang satu perkara. Diancam 5 orang preman di tengah jalan pada malam hari saja saya takut, apalagi di keroyok orang sekampung.

Bukan cuma saya saja yang takut dengan kekuasaan mayoritas orang, laki-laki yang banyak orang sebut sebagai filsuf demokrasi Amerika, Alexise de Tocqueville, pun takut terhadap orang banyak dan menentang demokrasi.

Pada tahun 1853, Alexis de Tocqueville menuliskan: "Saya menerima alasan intelektual dengan alasan-alasan demokrasi, tetapi saya secara naluriah adalah seorang bangsawan, dalam arti bahwa saya menentang dan takut kepada orang banyak. Saya sangat mencintai kebebasan dan hak, tetapi bukan demokrasi",(New York Daily Tribune, 25 Juni 1853, seperti dikutip oleh Bensaid, 2011).

Melalui ungkapan itu, Tocqueville menentang apa yang hari ini kita sebut "demokrasi" dan menunjukkan dukungannya kepada kekuasaan oleh segelintir orang yang mapan secara ekonomi, oleh kelompok yang mencintai hak dan kebebasan tetapi bukan demokrasi. Pertanyaan kemudian apakah kita benar-benar menghendaki demokrasi dan menolak oligarki? Bisa iya bisa tidak.

Bukan oligarki yang kita benci, tetapi yang sebenarnya saya dan mungkin saja juga Anda, tolak dan sangat benci adalah kapitalisme— suatu kondisi di mana segelintir orang mengendalikan sebagai besar alat produksi dan memiliki kekayaan berlebihan, di lain sisi sebagian besar orang sibuk mencari pekerjaan dan merasa lapar berlebihan.

Di suatu warung kopi di kota Makassar detik-detik hari dirgahayu kemerdekaan, kepada seorang teman golputer saya bertanya; "Apakah ketika saya tidak memilih dalam pemilihan umum oligarki akan kalah? Dan mengapa sila kelima Pancasila adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bukan Keadilan Ekonomi Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?", tapi dia hanya berdiam diri saja. Dia diam sekitar kurang-lebih 5 menit sambil merokok dan menggesek-gesek layar kaca handphone, baru kemudian dia berucap kuat:

"Setelah teks Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Ir. Soekarno pada 17 Agustus 1945 sampai ini, Indonesia adalah negara oligarkis yang menganut sistem demokrasi".

Mendengar itu saya hanya tersenyum dan membalas kata: "Selamat dirgahayu ke-74 tahun Indonesia merdeka, Bro. Semoga ke depannya nanti jumlah oligarki semakin bertambah. Saya berharap, bila perlu seluruh rakyat Indonesia menjadi oligarki— namun yang baik hati, tidak sombong, dan tidak merampas hak yang bukan haknya".

Saya bilang begitu karena saya tahu dan sangat yakin bahwa demokrasi lahir tidak untuk membuat semua orang kaya. Tetapi, demokrasi lahir untuk menjamin siapa pun, terutama orang miskin, tidak lagi diperbudak dan bebas.

Sampai di sini, di dalam tatanan demokrasi, setiap orang bebas memilih mereka mau bebas merdeka atau membudak pada segelintir orang-orang kaya yang serapah asal kenyang dan dihadiahkan posisi penting di dalam masyarakat yang mayoritas miskin dan berketergantungan.

Silahkan pilih, mau bebas merdeka atau bebas membudak. Sekian.

Ikuti tulisan menarik Ardanmarua lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB