x

Iklan

Valentino Barus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 15 September 2019 11:16 WIB

Memahami Semangat Nasionalisme dalam Pengelolaan Migas

Gde Pradnyana: "Kembalikan pengelolaan migas kepada UUD 45, pasal 33, yang intinya menyangkut 3 hal yaitu: hajat hidup orang banyak, sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dan penguasaan negara."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kontribusi minyak dan gas (migas) dalam beberapa tahun ke depan diyakini masih tetap akan dominan dalam menggerakkan ekonomi nasional kendati kini perkembangan energi baru dan terbarukan mulai mengalami perkembangan signifikan. Peran energi fosil terutama migas belum tergantikan. Karena itu mantan Deputi Operasi BPMIGAS dan Sekretaris SKKMigas, Dr Gde Pradnyana, meminta semua pihak untuk menata kembali iklim investasi migas agar lebih menarik dan tigak alergi dengan investasi asing.

Pandangan pakar teknologi offshore di industri hulu migas tersebut disampaikan dalam diskusi tentang nasionalisme migas baru-baru ini di Jakarta. Gde mendefinisikan nasionalisme dalam pengelolaan migas dengan ringkas dan tegas: "mengacu kepada UUD 45,  pasal 33, maka pengelolaan sumberdaya alam, khususnya migas pada intinya menyangkut 3 prinsip utama yaitu: migas itu menyangkut hajat hidup orang banyak, penguasaan oleh negara, dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Di luar itu masih ada prinsip keempat, yaitu dikelola sebagai usaha bersama.

Dengan kerangka definisi tersebut Gde menarik perbedaan tegas antara semangat nasionalisme dan nasionalisasi. “… Nasionalisme tidak berarti kita harus menutup mata dari asing dan dunia luar sama sekali. Lebih-lebih dalam industri yang padat modal dan berisiko tinggi seperti migas ini. Menutup investasi asing bagi industri migas adalah mustahil apalagi mengingat kondisi dewasa ini…”, kata doktor lulusan Universitas Oxford serta alumni Lemhannas Angkatan-45 yang kini menjabat sebagai VP Development di sebuah perusahaan energi nasional itu.
Kondisi objektif terkait tingginya resiko kegagalan eksplorasi membuat industri migas memang harus dikelola sebagai usaha bersama. Sulitnya kondisi geologi yg dihadapi di lapangan serta tingginya permodalan yg dibutuhkan membuat kegiatan untuk mengelola sumber energi di tanah air harus berbagi resiko (risk sharing) dengan pihak investor.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak dapat dipungkiri bahwa migas merupakan sumber energi primer maupun sumber bahan baku untuk industri hilir. Kebutuhan energi telah menjadi salah kebutuhan pokok, selain kebutuhan pangan dan air yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun demikian, guna mewujudkan manfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat maka penguasaan oleh negara sebagaimana diamanatkn oleh konstitusi tidak perlu dimaknai sebagai dinasionalisasi maupun diusahakan oleh negara sebagaimana dilakukan di negara-negara yang menganut prinsip ekonomi tertutup.

Karena itu peran investasi swasta, asing maupun nasional menjadi sangat penting bahkan merupakan suatu keniscayaan guna sharing risk (berbagi risiko) dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas yang tingkat kegagalannya sangat besar. Prinsip pengelolaan sebagai usaha bersama ini juga sejalan dengan prinsip sharing economy yang juga merupakan salah satu ciri revolusi industri 4.0 yang sedang kita masuki saat ini. 

Untuk mewujudkan prinsip usaha bersama yang saling menguntungkan maka diperlukan mitra yang kuat, sebagaimana halnya kemitraan antara pemilik sawah (negara selaku pemilik ladang migas) dan penggarap dalam hal ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang memiliki kekuatan finansial, teknologi, dan kemampuan memikul risiko yang cukup.

Menurut Gde Pradnyana salah satu tantangan dalam mengundang investor untuk melakukan eksplorasi di wilayah kerja migas adalah menjaga keekonomian investasi. "Investor pada dasarnya tidak peduli sistem fiskal-nya diubah dari net-split (bagi hasil setelah dipotong cost recovery) menjadi gross-split, sepanjang split-nya menarik", kata Gde.
“Dengan sistem gross split memang ada diskresi menteri untuk menambah split bagian kontraktor agar lebih menarik, tetapi itu bagian yang agak rawan, belum lagi dengan masalah perpajakan yang masih belum tuntas” imbuhnya.

Maka mengacu pada pemaparan Gde Pradnyana, tampaknya pemerintah perlu segera menyelesaikan revisi undang-undang migas, khususnya tentang bentuk dan status skkmigas. Kejelasan tentang peran dan status skkmigas sangat diperlukan untuk memberikan kepastian dalam menjaga keekonomian investasi sekaligus mencegah bergesernya keputusan besaran cost recovery dari yang seharusnya keputusan bisnis menjadi keputusan politis.

Ikuti tulisan menarik Valentino Barus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler