x

Cover Buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 1 Desember 2019 11:46 WIB

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Pandangan Hamka atas Adat, Modernitas, dan Agama

Novel karya HAMKA yang membahan perjumpaan Islam, adat dan modernitas di tanah Minangkabau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Penulis: HAMKA

Tahun Terbit: 2012 (cetakan ke 32)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Bulan Bintang                                                                                         

Tebal: x + 226

ISBN: 979-418-055-6

 

Membaca (kembali) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengingatkanku masa SMP dulu. Salah satu buku sastra yang diperkenalkan dalam matapelajaran Bahasa Indonesia adalah novel karya HAMKA ini. Di SMP dulu saya diajari untuk menganalisis tokoh dan plot novel ini. Sebab karya HAMKA ini memang dipakai sebagai bahan pelajaran sastra. Namun saat membacanya kembali sekarang ini, saya melihat hal yang tidak saya temukan saat SMP. Hal tersebut adalah adanya ketegangan, atau setidaknya singgungan antara adat, Islam dan kebudayaan modern (barat).

Suku Minang adalah salah satu suku di Indonesia yang merespon positif kebudayaan Barat. Kedatangan orang Eropa yang membawa modernitas menarik bagi suku Minang. Sebagai contoh, dokter pertama yang lulus sekolah kedokteran di Eropa adalah orang Minang. Namanya Abdul Rivai. Abudl Rivai bahkan berjalan lebih jauh dengan menuntut kesamaan hak antara orang Boemi Poetra dengan orang Eropa. Contoh lain adalah banyaknya orang-orang Minang yang sekolah di Belanda yang kemudian menjadi tokoh-tokoh kemerdekaan, seperti halnya Muhammad Hatta.

Sebagai suku yang berpaham matriarchal, suku Minang juga mengalami pergumulan antara adat dengan Islam. Beberapa cendekiawan menafsirkan bahwa perang Padri adalah puncak ketegangan antara adat dan Islam di Minangkabau. Meski pada akhirnya Islam berhasil menjadi salah satu identitas orang Minang, persoalan-persoalan praktis masih sering muncul untuk mencari bentuk.

Novel karya HAMKA yang terbit pertama pada tahun 1939 ini menggambarkan betapa adat, Islam dan modernitas berkelindan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minang. Persinggungan tersebut digambarkan melalui kisah cinta antara Zainuddin dengan Hayati. Kisah cintanya dilengkapi dengan tokoh kakak beradik Aziz dan Khatijah, orang Minang yang sudah modern.

Zainuddin adalah seorang pemuda yang lahir di Makassar dari seorang ayah Minang dan ibu Bugis. Ayah Zainuddin sampai di Makassar karena dihukum setelah membunuh pamannya yang menghamburkan harta warisan. Setelah bebas dari hukuman, ayah Zainuddin belajar agama dan akhirnya menjadi menantu seorang tokoh adat, sekaligus seorang ahli agama.

Setelah kedua orangtuanya meninggal dunia, Zainuddin pulang ke Tanah Minang, tepatnya di Kampung Batipuh. Enam bulan setelah tinggal di Batipuh tanpa jelas masa depannya, Zainuddin mulai bosan. Ia memutuskan untuk pergi dari desa nenek moyangnya itu. Namun pada suatu hari ia bertemu dengan Hayati, seorang pemudi kampung. Zainuddin jatuh cinta kepada Hayati. Cintanya pun bersambut. Namun sayang cintanya ini terhalang adat. Cinta keduanya diputuskan oleh paman Hayati atas alasan adat. Zainuddin berpindah ke Padang Panjang karena sudah tidak nyaman tinggal di Batipuh.

Meski sudah terpisah, cinta keduanya tetap berlanjut melalui surat.

Setelah kegiatan pacuan kuda di Padang Panjang, Hayati bertemu dengan Aziz. Hayati mulai ragu apakah tentang hubungannya dengan Zainuddin. Dengan bujukan Khatijah -kawan sekolah Hayati, akhirnya Hayati bersedia untuk menikah dengan Aziz. Pernikahan Hayati dengan Aziz tentu tidak bahagia. Sebab Aziz bukanlah seorang pemuda yang bertanggung jawab. Aziz adalah tipe pemuda modern yang salah pergaulan.

Sedangkan Zainuddin yang putus asa hampir saja bunuh diri. Namun akhirnya Zainuddin pindah ke Jawa dan merintis karir sebagai seorang penulis. Dengan nama samara Shabir, Zainuddin menjadi seorang penulis yang terkenal.

Pasangan Aziz – Hayati bertemu dengan Zainuddin secara tidak sengaja dalam sebuah pementasan drama. Sejak itu Hayati sering berhubungan dengan Zainuddin. Hayati akhirnya tinggal di rumah Zainuddin karena Aziz meninggalkannya karena kebangkrutan. Saat Aziz bunuh diri karena kebangkrutan, Hayati sangat ingin menikah dengan Zainuddin. Namun Zainuddin menolaknya dan malah membiayai perjalanan Hayati pulang ke Minangkabau.

Dalam perjalanan kapal itulah Hayati mengalami kecelakaan. Kapal Van Der Wijck karan di Laut Jawa. Hayati menjadi salah satu korbannya. Hayati yang sudah sekarat sempat bertemu dengan Zainuddin. Hayati akhirnya meninggal. Setahun kemudian Zainuddin meninggal juga.

Dalam novel ini HAMKA menunjukkan betapa godaan modernitas itu begitu kuat. Modernitas yang digambarkan oleh HAMKA adalah tentang sekolah dan perilaku. HAMKA tidak terlalu menyoal tentang sekolah. Namun melalui sekolah, pergaulan muda-mudi Minang mengalami perubahan. Nilai-nilai modernitas yang memuja kebebasan dan menabrak nilai adat dan agamalah yang dimasalahkannya.

Tokoh Aziz dipakai untuk menggambarkan betapa modernitas itu bisa membawa sang pemuda tidak memperhatikan nilai-nilai agama dan adat lagi. Aziz dengan bebasnya bisa bersetubuh dengan banyak perempuan tanpa perlu ikatan pernikahan. Aziz juga menjadi anak yang tidak bertanggung jawab karena ia menghabiskan uang dari orangtuanya untuk berjudi.

Modernitas juga sangat menarik bagi seorang gadis seperti Hayati. Meski memasuki modernitas dengan penuh keraguan, tetapi Hayati sempat mencicipinya. Saat menyaksikan pacuan kuda, Hayati mencoba menggunakan pakaian barat yang membuat belahan dadanya kelihatan. Pakaian seperti ini tentu sangat asing bagi Hayati yang dibesarkan dalam adat Minang dan Agama Islam yang menabukan berpakaian terbuka. Perkenalannya dengan modernitas yang malu-malu ini berakhir dengan pilihannya untuk menikah dengan Aziz. Memilih masuk budaya modern.

Dalam novel ini HAMKA juga menyoroti adat. Pandangan HAMKA tentang adat tidaklah terlalu baik. Di bagian awal novel, HAMKA sudah mengkritik adat yang tidak adil. Pendekar Sutan – ayah Zainuddin, sangat murka karena ia dicurangi oleh pamannya atas nama adat. Pendekar Sutan membunuh Datuk Mantari Labih – sang paman. Di sinilah HAMKA mengritik adat. HAMKA menunjukkan bahwa adat bisa dipakai oleh orang-orang yang mendapat kuasa untuk menyelewengkan mandatnya.

Kritik kedua HAMKA terhadap adat adalah dalam peristiwa pernikahan Hayati dengan Aziz. Keluarga Hayati tidak memeriksa dengan benar siapa si Aziz tersebut selain Aziz adalah seorang dari keluarga kaya dan terpandang secara adat. Namun HAMKA menunjukkan bahwa kekayaan dan posisi adat yang tinggi tidak menjamin bahwa seseorang adalah baik. Dalam novel ini HAMKA malah menunjukkan bahwa pernikahan yang hanya didasari oleh adat hasilnya penuh kekacauan.

Bagaimana dengan posisi Islam dalam novel ini? HAMKA seperinya menempatkan Islam sebagai nilai tertinggi yang membawa kebaikan bagi hidup manusia. Di awal novel, digambarkan Sutan Pendekar yang adalah mantan pembunuh bisa menjadi orang baik dan alim karena belajar agama di Makassar. Dalam kisah Zainuddin, HAMKA menarasikan bahwa teguh pada nilai agama adalah pegangan untuk bisa keluar dari tekanan hidup yang sangat berat.

Kesimpulan saya, HAMKA di tahun 1939 adalah seorang pengarang yang menempatkan Islam sebagai nilai yang harus dianut secara penuh. Adat harus diperbaharui dengan nilai-nilai (Islam) sehingga tidak diselewengkan oleh para tokoh adat yang culas. Sedangkan tentang modernitas, HAMKA sepertinya tidak menolak persekolahan, tetapi sangat hati-hati dengan nilai-nilai kebebasan yang berlebihan.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler