x

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 10 Desember 2019 08:48 WIB

Ketimbang Vonis Mati, Jenis Hukuman Ini Lebih Bikin Jera Koruptor

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka kemungkinan melakukan revisi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang memungkinkan para koruptor dihukum mati. Hal itu disampaikan Jokowi dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57, Jakarta, Senin, 9/12.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka kemungkinan melakukan revisi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang memungkinkan para koruptor dihukum mati. Hal itu disampaikan Jokowi dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57, Jakarta, Senin, 9/12.

Namun bukan tanpa syarat. Hal itu bakal dilakukan pemerintah, “Jika masyarakat luas menginginkannya,” kata Jokowi. Lontaran itu disampaikan presiden saat menjawab pertanyaan salah satu siswa SMKN 57 soal alasan Indonesia tidak bisa tegas terhadap koruptor.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan bahwa ancaman hukuman mati kepada koruptor sudah diatur di dalam undang-undang. Namun, hukuman itu tak pernah diterapkan. Undang-undang yang dimaksud Yasonna adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu. Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksudkan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan ketika negara berada dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Yasonna mengatakan, jika Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengusulkan agar merevisi UU Tipikor agar koruptor bisa dijatuhi hukuman mati di luar keadaan tertentu itu, maka perlu ada pembahasan lebih lanjut. "Kita lihat saja dulu perkembangannya. Kan ini masih wacana."

Pertanyaannya kini, jika hukuman mati diterapkan apakah akan berdampak besar terhadap upaya pemberantasan korupsi?

Egi Primayogha, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), meragukan hal itu. Dalam sebuah tulisannya di Tempo, Agustus 2019 lalu dia menyatakan bahwa hukuman mati bagi koruptor bukan hukuman yang patut. Terlebih hukuman mati dijadikan alasan untuk menimbulkan efek jera. Efek jera dari hukuman mati menjadi alasan yang absurd, mengingat yang dihukum tak bisa lagi mengoreksi perbuatannya.

Dia mengingatkan dalam konteks kejahatan yang lebih luas, hukuman mati tidak pernah terbukti menurunkan tingkat kejahatan. Negara-negara dengan peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) terbaik bahkan tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Negara-negara tersebut adalah Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia. Kendati hukuman mati masih berlaku, Singapura tidak menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Adapun Cina, yang terkenal dengan penerapan hukuman mati, pada 2018 justru berada di peringkat ke-87 dengan skor 39 dalam IPK.

Alasan lain hukuman mati bukan langkah yang patut adalah penghormatan terhadap kemanusiaan. Hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan merupakan bentuk pelanggaran terkeji terhadap hak asasi manusia.

Dengan menolak hukuman mati, lantas hukuman apa yang pantas bagi koruptor? Dia merincinya berikut:

Pertama, penjatuhan hukuman maksimal, yakni pidana 20 tahun atau seumur hidup. Hukuman seumur hidup pernah dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.

Kedua, pencabutan hak politik. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan. Pencabutan hak politik, yakni hilangnya hak untuk memilih dan/atau dipilih dalam pemilihan umum, dapat dikenakan bagi koruptor. Tentu saja langkah ini harus dilakukan secara jelas dan transparan agar tetap sejalan dengan hak asasi manusia.

Ketiga, pemiskinan koruptor. Penggunaan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang harus digencarkan oleh aparat penegak hukum untuk merampas aset koruptor.

“Hukuman itu lebih menimbulkan efek jera bagi koruptor,” kata dia.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler