x

Ratu Adil

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 31 Januari 2020 05:59 WIB

Kerinduan Hadirnya Ratu Adil, Rakyat pun Rela Bergabung Menjadi Pengikut Kerajaan Fiktif

Kerinduan akan hadirnya Ratu Adil, maka akal sehat pun dikalahkan oleh akal-akalan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hanya menjadi penonton para pemimpin bangsa dan orang kaya yang bancakan, bagi-bagi kursi dan memanfaatkan rakyat dan uangnya demi keuntungan hingga kemewahan untuk diri sendiri, kelompok, dan golongannya, maka membuat banyak rakyat dan kelompok rakyat menjadi "halu". Selama ini, sejak Indonesia merdeka, rakyat biasa hanya dapat melihat dan mendengar pemimpin bangsa dan orang kaya hidup mewah. 

Sementara rakyat tidak dapat turut menikmati apa yang dilihat dan didengarnya itu. Rakyat hanya dapat berpersepsi setelah melihat, mendengar, namun tidak dapat menyentuh, merasakan, atau mencium sesuatu kemewahan tersebut. Mereka hanya dapat membayangkan dan memimpikan kemewahan yang tidak benar-benar ada. 

Mimpi dapat hidup layak, adil makmur, dan sejahtera, ternyata terus menjadi khayalan dan semakin sulit terwujud. Karenanya, wajar bila akhirnya muncul fenomena mimpi-mimpi rakyat dalam bentuk dan wujud semacam Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, kerajaan King of The King, atau raja dari segala raja, atau raja diraja dan lainnya. Semua itu akhirnya juga membikin heboh rakyat Indonesia yang masih berpikir logis, dan kakinya menapak di tanah, tidak mengawang dan diliputi "halu" seperti para tokok kerjaan-kerajaan tersebut dan pengikutnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang lebih tak logis, dalam kasus kerajaan terbaru, ternyata demi menarik para pengikutnya bahkan siapapun yang berhasil memasang spanduk King of The King di area umum akan mendapat penggantian biaya sebesar 1 miliar di bulan April 2020. 

Namun dalam liputan beberapa media nasional hari ini, Kamis (30/1/2020), di wilayah Kota Tangerang telah ditangkap dua orang yang memasang spanduk tersebut. Kedua orang itu mengaku telah mengeluarkan uang pribadi Rp300 ribu untuk satu spanduk, dan berharap dapat penggantian Rp1 miliar. 

Kerajaan King of The King juga mengklaim akan melunasi seluruh hutang negara Indonesia karena memiliki kekayaan 60 triliun. 

Sejauh ini, polisi telah mengungkap adanya motif penipuan di balik terbentuknya Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah. Begitu pun pada kerajaan fiktif di Jawa Barat, Sunda Empire-Earth Empire. 

Sebelum ditangkapi, mengapa para pemimpin kerajaan dan para pengikutnya tetap yakin dengan apa yang sedang diperbuatnya, meski secara sadar mereka juga tahu sedang di dalam alam halusinasi, alam impian, dan khayalan? Ada baiknya, masyarakat Indonesia memahami latar belakang mengapa hal itu muncul dan menyimak pendapat beberapa pakar. 

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Imam B. Prasodjo kepada awak media, Sabtu (18/1/2020), menjelaskan bahwa secara umum, dalam literatur sosiologi, ada terminologi neotribalism. Jadi munculnya orang-orang yang punya perkumpulan dengan emosi sendiri, dengan ciri-ciri, pola pikir, emosional sendiri, dalam literatur sosiologi, neotribalisme dicontohkan dengan pendukung fanatik sepakbola dan geng-geng. 

Selain kesamaan emosi dan pola pikir, dalam komunitas tersebut ada eksklusivitas dan hierarki. Neotribalisme tumbuh karena dalam solidaritas yang kemudian ditambahkan narasi-narasi. 

Untuk kasus kerajaan fiktif, mitologi cerita kerajaan jadi pembungkus narasi. Dalam kasus ini, campuran dari pengetahuan modern dan tradisional tapi bukan kajian akademis. Makanya ceritanya kacau. Contohnya, Kekaisaran Matahari itu dari mana datangnya? 

Atas apa yang dijelaskan Imam, terkait kondisi zaman dan mudahnya informasi tersebar karena teknologi, maka kisah fiktif yang tak valid pun mudah digoreng seolah valid, sehingga mudah sekali kisah-kisah ini dihembuskan, padahal di dalamnya hanya sekadar bermotif ekonomi.  Tentunya masyarakat yang halu dan kebanyakan bermimpilah yang akhirnya menjadi korban dari modus penipuan ini. 

Terpisah, Koentjoro, guru besar dan psikolog di Universitas Gadjah Mada, menilai kelompok-kelompok semacam ini ada karena delusi keagungan ataugrandiose delusion. Kata dia, setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab seseorang rela bergabung menjadi pengikut di kelompok atau kerajaan tidak jelas ini. 

Pertama,  karena "post-power syndrome." Banyak di antara mereka orang-orang tua yang barangkali dulu punya jabatan-jabatan tertentu yang tidak terlalu tinggi dan ketika pensiun, di rumah sudah tidak ada siapa-siapa yang bisa diperintah. 

Kedua, ini memprihatinkan, barangkali karena kurang belaian kasih sayang. Bapak-bapak kita itu kurang perhatian dari anaknya, sehingga mereka mencari keluar. 

Ketiga, menyangkut faktor simbol. Simbol seperti seragam dan tanda pangkat yang ditiru dari masa kerajaan, membawa angan-angan pada jabatan semacam pegawai negeri. Posisi sebagai pejabat ini dirindukan banyak orang. Ketika muncul kerajaan baru yang menawarkan posisi tertentu, mereka terdorong untuk menerima karena menginginkan jabatan itu yang mungkin tidak dimiliki di dunia nyata. 

Karenanya tidak mengherankan bahwa  para pengikut biasanya mau membayar untuk bisa bergabung di dalamnya. 

Ini mengingatkan bagaimana rakyat dalam kehidupan nyata juga berbondong bermimpi menjadi pegawai negeri atau militer, polisi dan lain sebagainya yang masih kental berbau KKN, terpenting mimpi terwujud nyata. Meski belakangan lebih banyak yang tetap kecewa karena ada bumbu praktik korupsi terus melanda demi keuntungan pejabat yang mengelolanya. 

Dalam komunitas kerajaan fiktif, juga ada dua kepentingan. Pihak pertama adalah yang menjadi raja atau pemimpin yang menderita delusi keagungan, dan di pihak kedua adalah para pengikut yang merindukan jabatan penting.  Bila kisah kerajaan fiktif ini dikaitkan dengan adanya Ratu Adil, juga masuk akal, sebab para rakyat yang menjadi pengikut dalam kerajaan fiktif ini sangat bermimpi memiliki pemimpin yang kuat dan adil, berpihak kepada rakyat. 

Dari berbagai literasi, Ratu Adil atau bisa disebut Satria Piningit adalah mitologi (dongeng suci) yang mengungkapkan bahwa akan datang seorang pemimpin yang kelak akan menjadi penyelamat. 

Satria Piningit ini, akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Ramalan tentang datangnya Ratu Adil ini berasal dari Prabu Jayabaya dan tanda-tanda akan kedatangan Ratu Adil adalah adanya kemelut sosial, malapetaka alam, serta jatuhnya raja besar yang ditakuti. 

Apakah pemerintahan sekarang, pemimpinnya sudah masuk kategori raja besar seperti ramalan Prabu Jayabaya? Faktanya, kemelut sosial lahirnya kerajaan-kerajaan fiktif di Indonesia masih mudah dijinakkan oleh aparat keamanan di bawah naungan pemimpin negeri. 

Lalu, menyoal malapetaka alam, sejatinya negeri ini terus di landa oleh bencana alam di berbagai daerah. Namun, malapetaka alam ini, justru dimanfaatkan oleh para elite partai sebagai senjata saling menyerang lawan partainya. 

Ironis. Apakah "saya" (baca: rakyat) tidak boleh bermimpi punya rumah mewah, mobil mewah, berpakaian mewah, dapat jabatan mewah dengan seragam kebesaran. Apakah saya tidak boleh memilih makan apa? Makan di mana? Sementara, sebelum semua mimpi itu dapat terwujud, "saya" malah jadi santapan "makan" mereka. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler