x

Cover buku Daisy Manis

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 5 Februari 2020 10:00 WIB

Daisy Manis

Perjumpaan budaya Amerika Baru dengan budaya usang Eropa melalui sebuah novel karya Henry James.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Daisy Manis

Judul Asli: Daisy Miller

Penulis: Henry James

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerjemah: Sapardi Joko Damono

Tahun Terbit: 2016

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia                                                         

Tebal: vii + 96

ISBN: 978-602-424-158-2

 

Buku yang terbit pertama kali pada pertengahan abad 19 ini berkisah tentang ketegangan budaya baru Amerika dengan budaya “luhur” Eropa. Budaya serba bebas Amerika tak sepenuhnya diterima oleh Eropa, dan orang-orang tua Amerika yang masih memegang erat budaya Eropa yang “adiluhung.”

Daisy adalah seorang gadis Amerika yang besar di Amerika. Dalam novel pendek karya Henry James ini Daisy dipakai sebagai tokoh utama yang menggambarkan budaya serbabebas Amerika. Daisy dan keluarganya sedang berlibur di sebuah kota kecil dekat Jenewa. Daisy, adik lelakinya (Randolf Miller) dan ibunya yang ditemani oleh seorang pembantu berlibur di sebuah hotel di tepi danau.

Dia bertemu dengan seorang pemuda Amerika (Winterbourne) yang juga sedang berlibur di tempat yang sama, menemani bibinya yang sering sakit kepala. Winterbourne sangat tertarik dengan Daisy yang cantik, ramah dan cepat akrab. Winterbourne berhasil mengajak Daisy untuk mengunjungi kastil Chillon tanpa dikawal oleh sang pembantu atau ibunya. Hal ini dianggap sangat aneh untuk budaya Eropa. Seorang gadis seharusnya tidak sebebas Daisy dalam bergaul dengan seorang lelaki yang baru dikenalnya. Seorang pemuda tidak seharusnya berakrab-akrab dengan gadis yang belum menjadi calon istrinya.

Sebenarnya keanehan budaya ini bukan saja ada pada Daisy, tetapi juga pada keluarganya. Pembantu lelakinya diperlakukan sebagai orang yang mempunyai derajad yang sama. Memperlakukan pembantu sebagai manusia yang berderajad sama adalah sebuah keanehan. Apakah perilaku ini yang digambarkan oleh Henry James sebagai budaya baru Amerika?

Persoalan menjadi lain saat Winterbourne bertemu Daisy di Roma. Winterbourne yang datang kemudian, bertemu dengan Daisy yang sudah mempunyai sahabat lelaki bernama Giovanelli. Pergaulan Daisy dengan Giovanelli begitu akrab. Keakraban Daisy dengan pemuda Italia ini menjadi bahan pergunjingan di antara para ibu. Nyonya Walker malah menegurnya secara terbuka.

Daisy dan keluarganya akhirnya dikucilkan dari pergaulan oleh keluarga-keluarga Amerika yang sedang berlibur di Roma, karena dianggap tidak patuh kepada nilai-nilai budaya (Eropa). Meski keluarga Daisy adalah keluarga kaya, namun komunitas perempuan tua Amerika yang sedang berlibur tersebut menganggapnya sebagai keluarga rendahan. Daisy akhirnya meninggal karena sakit yang diakibatkan terlalu sering keluar malam.

Cara pengakhiran nasip Daisy dengan mati karena penyakit ini menimbulkan tanya bagi saya. Apakah Henry James juga melihat bahwa perubahan budaya yang cepat adalah sesuatu yang kurang baik? Atau dia ragu dengan kecepatan perubahan budaya sehingga memilih membunuh Daisy melalui penyakit (alam)? Atau Henry James hanya menggambarkan cara pandang masyarakat Eropa/Amerika di pertengahan abad 19 yang belum sepenuhnya menerima kebebasan berperilaku?

Marilah kita melihat tokoh-tokoh lelaki yang dimunculkan dalam novel ini. Henry James setidaknya memunculkan dua tokoh lelaki. Tokoh pertama adalah Winterbourne yang dalam cerita ini menjadi tokoh utama orang pertama. Tokoh kedua adalah Giovanelli, pemuda Itali yang menjadi teman akrab Daisy di Roma.

Kedua tokoh lelaki dalam novel ini menanggapi keakraban yang ditawarkan oleh Daisy dengan hangat. Tetapi ketika dihadapkan kepada dilema kepantasan berdasarkan kelayakan budaya, para lelaki ini – terutama Winterbourne, berupaya mempertahankan harga dirinya. Para lelaki ini dibuat bingung oleh tingkah Daisy yang serbabebas tetapi tahu batas. Berbeda dengan Daisy yang bisa acuh dengan pandangan masyarakat, para tokoh lelaki ini lebih pengecut.

Dari novel ini saya belajar bahwa menyimpang dari nilai-nilai budaya – meski budaya tersebut sudah kurang relevan dan usang, tetap saja ada akibatnya. Henry James mengingatkan tentang hal tersebut. Kita boleh tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Henry James. Tetapi banyak dari kita memang masih berpendapat seperti Henry James; siapa yang melanggar budaya akan terhukum, bahkan terhukum oleh alam.

Pelajaran kedua yang saya dapat adalah bahwa perempuan ternyata lebih siap menerima sangsi sosial dariapda lelaki. Padahal lelaki lebih sering melakukan pelanggaran Susila secara sembunyi-sembunyi. Namun ketika dihadapkan kepada cercaan publik, lelaki ternyata lebih pengecut.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler