x

cover buku Hari-Hari Akhir Si Penyair

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 22 Maret 2020 23:19 WIB

Saat-Saat Akhir Hidup Chairil Anwar

Kehidupan Chairil Anwar, khususnya hari-hari terakhir yang diabadikan oleh Nasjah Djamin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Hari-Hari Akhir Si Penyair

Penulis: Nasjah Djamin

Tahun Terbit: 2013 (cetakan kedua)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Pustaka Jaya                                                                                           

Tebal: 63

ISBN: 978-623-221-181-07

 

Saya buta puisi. Namun saya suka membaca riwayat hidup seseorang. Salah satu tokoh yang saya kagumi, meski saya buta puisi adalah Chairil Anwar. Mengapa saya tertarik pada sosok penyair ini, padahal saya buta puisi? Sebab saya mengagumi gelora hidupnya. Semangatnya untuk belajar dan semangatnya untuk berkarya. Ia adalah orang besar karna karya, bukan orang besar karena harta. Ia tidak perduli dengan harta. Tetapi ia sangat bangga dengan buku-buku yang dimilikinya. Ia pernah mengalami kondisi tanpa uang sama sekali. Tetapi saat ia terusir dari rumahnya karena bertengkar dengan istrinya, buku-buku seabrek yang dibawanya.

Buku yang ditulis oleh Nasjah Djamin ini sungguh unik karena beliau adalah saksi mata di saat-saat akhir kehidupan Chairil Anwar. Nasjah Djamin memang bukan seorang penulis puisi. Nadjah Djamin adalah seorang pelukis. Tetapi dia berkawan akrab dengan Chairil Anwar. Bahkan Nasjah Djamin berkesempatan melukis Chairil Anwar di masa akhir hidupnya. Nasjah Djamin datang ke Jawa dari Medan bersama dengan pelukis lain, yaitu Sam Soeharto dan Daoed Joesoef. Daoed Joesoef kemudian menjadi Mendikbud. Sementara Nasjah dan Sam Soeharto menjadi pelukis. Mula-mula mereka di Jogja dan kemudian pindah ke Jakarta.

Dari buku ini kekaguman saya terhadap Chairil Anwar semakin menjadi. Bukti bahwa Chairil Anwar adalah seorang yang penuh energi untuk belajar dan berkarya kutemukan di buku ini. Chairil Anwar menjalani hidupnya dengan sesuka dia. Kesesuka-dia-annya itu tergambar dari lukisan yang dibuat oleh Affandi. Dalam lukisan karya Affandi, Chairil digambarkan sedang melambai dengan mata merah bagai kuda yang terangsang paha-paha perempuan malam. Kesesuka-dia-annya juga terwujud dengan pikirannya untuk meniduri para perempuan bule saat ia mendapat pemberitahuan bahwa ia akan diberangkatkan ke Paris. Benarlah apa yang dikatakannya bahwa “Aku Ini Binatang Jalang.”

Kesesuka-dia-annya juga tergambar dari ketidak-peduliannya akan harta. Ia tak segan minta hutang atau bahkan minta rokok kepada teman-temannya saat bokek. Ia sering minta hutang kepada Baharuddin hanya supaya bisa suntik dan makan. Kemiskinan bukan hal yang membuat harga dirinya turun.

Ia mengejek teman-temannya yang memilih hidup mapan menjadi pegawai. Ia bilang begini: “Aku memang tidak bisa duduk diam. Tidak bisa terikat pada satu tempat, tidak bisa teratur. Pernah aku coba bekerja tetap, makan gaji sebagai redaktur majalah Gema. Karena sayangku pada bini, untuk penuhi belanja dapur yang tetap dan teratur. Tapi aku tidak tahan hidup terikat dan statis. Aku bilang “selamat tinggal” sebagai redaktur, dan akhirnya aku cecok sama bini… kalian ini muda-muda sudah menjadi pegawai; masuk kerja jam delapan pagi pulang jam dua siang. Muda-muda sudah jadi mesin.”

Namun dalam hal belajar dan berkarya Chairil memang luar biasa. Chairil bisa berbahasa Belanda (tentu saja), Inggirs, Perancis dan Jerman. Ia membaca buku-buku sastra, khususnya puisi dari keempat bahasa tersebut. Ia bahkan menterjemahkan beberapa puisi dari bahasa-bahasa Eropa tersebut. Ia menghasilkan puisi-puisi yang menguncang dunia kesusastraan di tahun 1945. Dialah si pembaharu cara berpuisi di negeri yang baru lahir itu.

Karena gaya berpuisinya sangat baru, maka tidak semua mereka yang sudah mapan bisa menerimanya. Guru Bahasa Indonesia Nasjah Djamin di Medan mencelanya. HB. Jassin mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Chairil Anwar adalah merusak Bahasa Indonesia karena dengan seenaknya memenggal-penggal kata. Bahkan ada yang mengatakan bahwa anak kecil pun bisa membuat puisi seperti yang dibuat olehnya.

Saat karya-karyanya dianggap merusak Bahasa Indonesia dan dicela oleh HB Jassin, ia marah luar biasa. Kemarahannya dituangkan dalam bentuk karya. Ia meminta teman-temannya untuk mengumpulkan puisi-puisi supaya bisa diterbitkannya. Dia salin puisi-puisi tersebut dengan tulisan tangannya sendiri. Namun sayang, karya terakhirnya tersebut tak pernah sampai diterbitkan. Sebab ajal keburu menjemputnya.

Map yang ditentengnya kemana-mana menjelang akhir hidupnya itu ditinggalkannya di pemondokan Sam Soeharto berisi puisi-puisi tulisan tangannya dan sobekan-sobekan halaman buku. Chairil mengalami sakit yang luar biasa di pemondokan Sam Soeharto, sebelum dibawa ke rumah sakit dan akhirnya meninggal. Sobekan-sobekan dari berbagai buku itu adalah bukti bahwa Chairil keranjingan belajar. Ia miskin. Tapi supaya bisa belajar, tak jarang ia mencuri buku atau menyobek begitu saja halaman buku yang ingin dipelajarinya.

Chairil Anwar adalah seorang yang percaya dirinya luar biasa besar. Meski miskin ia tak kalah gaya. Ia berani mengejek Idrus yang saat itu posisinya adalah seorang kepala kantor. Ia juga seenaknya masuk ke ruang kerja para pelukis dan begitu saja membaca pusi yang baru diciptakannya. Sambil berlagak ia meminta, lebih tepatnya memaksa mereka yang mendengarkan untuk memberi pengakuan betapa bagusnya puisinya itu.

Meski hidup dengan cara seenaknya, tetapi Chairil adalah orang yang mincintai keluarganya. Setidaknya ia punya cita-cita untuk menikahi kembali istrinya jika honorarium bukunya keluar. Ia ingin mengajak istrinya untuk honeymoon ke Bali. Sayang sekali apa yang dicita-citakannya untuk kembali menyatukan keluarganya itu tak pernah kesampaian karena ia keburu meninggal karena sakit.

Kemiskinan bagi Chairil adalah bagian dari proses untuk berkarya. Karya-karya besarnya baru diterbitkan setelah kematiannya. Bahkan ia tidak menikmati honor hasil karya besarnya itu. Mungkin ia memang memilih untuk tidak menikmati maha karyanya itu dari sisi kenikmatan harta.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler