x

kesejahteraan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 5 Mei 2020 06:52 WIB

Gaji ASN di Tengah Penderitaan Rakyat Dipersoalkan, Ini Sebabnya

Di tengah masyarakat menderita karena pandemi corona, ASN masih enak saja dan mendapat gaji tetap meski WFH.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kehadiran wabah corona dengan berbagai kebijakan yang digelontorkan pemerintah, sebab corona terus bergulir, entah sampai kapan akan berakhir, maka situasi ini juga menjadi memontum seberapa realistis sila-sila dalam Pancasila teraplikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah kendali pemerintahan Kabinet Indonesia Maju (KIM). 

Pandemi corona menggerus seluruh sendi kehidupan terutama di sektor ekonomi, kesehatan, sosial, budaya, keamanan, olah raga dll, sehingga korban corona benar-benar merata di seluruh lapisan masyarakat. Namun, siapa yang paling terdampak? Jawabnya jelas masyarakat kecil, masyarakat miskin,  yang semakin merasakan penderitaan luar biasa. 

ASN gajinya tetap 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebab semua "kegiatan" belajar, bekerja, dan beribadah di rumah, maka masyarakat pun banyak yang berpikir, mengapa para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), masih tetap mendapat gaji bahkan Tunjangan Hari Raya (THR), padahal sebagian besar dari mereka tidak berangkat ke kantor atau ke tempat kerja. 

Apakah benar harus digaji tetap sesuai ketentuan, meski bekerja juga sudah tidak "normal"? Sementara uang yang untuk menggaji mereka adalah uang rakyat. 

Seharusnya, rakyat pun bisa mendapatkan gaji, meski tidak bekerja seperti ANS yang sedang diminta bekerja di rumah. Bila demikian, apakah hal ini sesuai dengan asas Pancasila? 

Uang rakyat dibagi-bagikan kepada rakyat yang tidak bekerja (baca: ANS) pula? Di mana letak kemanusiaan yang adil dan beradab-nya? Di mana persatuan Indonesia-nya? Ke mana kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan-nya? Dan, di mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,-nya? 

Tengok, pelaku sepak bola (pemain, pelatih, ofisial) di Liga 1 Indonesia, sebab klub tak ada pemasukan, gajinya dipotong 75 persen, alasannya mereka juga tidak dalam posisi bekerja, karena kompetisi diliburkan. 

Lihat betapa banyak perusahaan swasta yang meliburkan karyawan tanpa ada gaji, karena perusahaan juga tidak ada pemasukan. Tetapi mengapa ASN yang tak bekerja normal seperti para pelaku sepak bola nasional, gajinya tidak dipotong 75 persen? 

Padahal mereka dibayar dari uang rakyat, pajak yang dikeruk dari rakyat. Pantas saja, bila saya kutip dari JPNN.com, Kamis (30/4/2020), pengamat dan praktisi pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji menilai, saat ini banyak tenaga pendidik baik guru maupun dosen yang berstatus honorer terdampak pndemi virus corona COVID-19. Bahkan, banyak di antaranya yang terancam tidak gajian karena dana terfokus pada penanganan COVID-19. Sebaliknya, yang enak dosen dan guru PNS. 'Tidur-tiduran' saja tetap digaji. 

Terlebih, pemerintah pun memang sudah menjamin gaji dosen dan guru PNS tetap aman. Indra pun menambahkan, "Memang ada jaminan kalau semua guru dan dosen PNS mengajar? Wong saya dapat informasi sejak diberlakukan work from home (WFH) banyak PNS yang pada mudik sebelum 30 Maret. Ironisnya, yang mudik sebelum 30 Maret itu enggak disanksi," tutur Indra. 

Bila Indra menyoroti kinerja guru dan dosen PNS, maka hal ini akan setali tiga uang dengan ASN lain di luar bidang pendidikan yang sama-sama diberlakukan WFH. 

Kerja otak dan kerja fisik 

Dari permasalahan tersebut, agar tak gagal paham, perlu saya pertegas bahwa, paradigma persoalan mendapat gaji dan tidur-tiduran ini, karena berpatokan, pekerja itu ada kehadiran secara fisik, absen kedatangan, melakukan proses kerja, dan absen pulang. 

Sehingga, masyarakat ada yang tetap memandang bila para pekerja, terutama ASN yang sekarang WFH, padahal tidak ada kehadiran secara fisik, tidak ada absen kedatangan, tidak melakukan proses kerja di kantor, dan tidak ada absen pulang, tetap digaji sama dan normal, maka tidak layak digaji normal/100 persen. 

Hal ini sama dengan analogi para pelaku sepak bola, karena tidak ada kompetisi, maka tetap digaji 25 persen. Hal yang disamakan adalah menyoal kehadiran wujud/fisik pekerjanya di tempat kerja. 

Namun, demikian, masyarakat perlu memahami bahwa, sebelum datangnya corona, para profesional/ahli/konsultan (di berbagai bidang) malah bisa mendapatkan bayaran berkali lipat dari gaji bulanan sesorang atas hasil pemikirannya, kreativitas, serta inovasinya (baca: kerja otak) hanya dengan WFH.

Jadi, memang harus dipilah dan diidentifikasi, semisal pelaku sepak bola gajinya dipotong 75 persen, karena bekerja dengan fisik, sementara kompetisi sedang di liburkan. 

Berikutnya, apakah ada ASN (guru dan dosen) yang benar-benar tidur-tiduran karena sekolah dan kampus di liburkan? Mereka tidak hadir secara fisik sesuai aturan jam kerja ke sekolah dan kampus? Apakah mereka tidak melakukan pembelajaran on line/digital? Apakah mereka tetap tidak mengoreksi pekerjaan siswa/mahasiswa? Apakah tetap tidak membuat perencanaan dan program pembelajaran hingga analisisnya sesuai WFH? Apakah dosen tidak membuat riset, membimbing skripsi, menguji secara on line? 

Begitu pun dengan ASN di bidang lain, sama-sama tak hadir fisik, tak hadir bekerja sesuai waktu dan peraturan, namun tetap WFH dengan online. 

Dengan identifikasi tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa ASN, selama WFH, tetap ada yang bekerja dengan otak, meski tidak hadir secara fisik di kantor, pun tetap ada yang memang tidur-tiduran karena jenis pekerjaannya tidak seperti model guru dan dosen. 

Karenanya, menyangkut kelayakan gaji yang diberikan, memang harus dilihat dari proporsinya. Kondisi masyarakat yang kini sangat tertekan memang menjadi sensitif, ketika pemerintah kurang adil dan kurang obyektif dalam soal gaji ASN ini, yang tetap membayar normal. 

Sementara uangnya hanya mengambil dari uang rakyat, di saat rakyat menderita pula. Rakyat yang terkena PHK, yang bekerja di sektor informal, yang bekerja serabutan, semuanya kini tak ada pemasukan sama sekali, namun pajak, listrik, BPJS, dan iuran-iuran lain tetap wajib membayar, perut pun tetap harus ada asupan makan. 

Rakyat Indonesia masih sangat berharap kepada pemerintah agara kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, benar-benar terwujud. 

Tidak seperti sekarang, sebagian rakyat Indonesia masih tetap menderita, sementara siapa yang selama ini juga menikmati uang rakyat, menikmati gaji, dan yang sejahtera di tengah corona. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

8 jam lalu

Terpopuler