x

mudik

Iklan

Sujana Donandi Sinuraya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2019

Senin, 11 Mei 2020 16:06 WIB

Dilema Sanksi Mudik: Antara Pertimbangan Hukum dan Sosial-Ekonomi

Artikel ini menjelaskan mengenai analisa hukum penerapan sanksi mudik di tengah Pandemi Covid-19. Pemerintah harus memikirkan lagi sistem terbaik guna mensinergikan pengaturan mudik dan upaya penanganan Covid-19. Pada prinsipnya, peraturan yang ada harus dilaksanakan secara tegas untuk menjaga wibawa hukum yang ada.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Sujana Donandi S, Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Presiden

 

Covir-19 telah membawa masyarakat pada pola kehidupan yang baru. Penerapan pembatasan jarak fisik (physical distancing) untuk berkomunikasi merupakan salah satu bukti nyata pengaruh Coviq-19. Beragam aktivitas kini juga mulai harus ditunda atau dibatalkan karena mengundang keramaian dalam pelaksanaannya. Pola pekerjaan, pendidikan, dan peribadatan yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka langsung pun kini mulai bergesar ke pola ‘dari rumah’ yang dikenal dengan kerja dari rumah (work from home) maupun belajar dari rumah (study from home).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hingga saat ini Covid-19 masih belum diketahui juga bagaimana akhir eksistensinya dan tidak terasa bulan suci Ramadhan pun terasa berjalan, hari ke hari menunju hari yang terakhir sebelum Idul Fitri. Situasi ini menghadirkan pula dinamika yang perlu diselesaikan yang berhubungan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia menyambut hari raya lebaran, yaitu mudik.

Masyarakat Indonesia sangat menantikan momen mudik lebaran di setiap tahunnya. Akan tetapi, tahun ini adalah tahun yang berbeda. Apabila masyarakat tetap melaksanakan mudik sebagaimana biasanya, maka potensi penyebaran mudik akan meningkat. Aktivitas mudik menggunakan angkutan transportasi masal dapat menimbulkan keramaian yang dapat menyebabkan masyarakat berdesak-desakan sehingga tidak ada jarak aman sebagaimana disarankan dalam pencegahan Covid-19.

Pemerintah pun tampaknya mengalami dilema. Di satu sisi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengatasi masalah Covid-19 semaksimal mungkin, namun, di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa tutup mata terhadap realitas sosial-budaya masyarakat Indonesia dalam menyikapi waktu mudik. Pertimbangan pemerintah juga tentunya sampai kepada pertimbangan ekonomi. Jika mudik jadi dilarang, maka akan ada banyak pelaku usaha, khususnya di bidang transportasi yang akan mengalami guncangan ekonomi karena tidak dapat beroperasi. Alhasil, akan makin banyak pula karyawan ataupun pekerja-pekerja harian yang harus menganggur di rumah dan kehilangan mata pencaharian.

Dilema adalah suatu kepastian yang harus diterima setiap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu, bagaimanapun keputusan harus diambil. Dalam permasalahan mudik dan Covid-19, pemerintah pun akhirnya memutuskan untuk melarang masyarakat untuk mudik. Adapun dasar hukum yang dapat di pemerintah untuk menghukum masyarakat yang memilih untuk mudik adalah Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan atau yang selanjutnya disebut UU Karantina berikut:

‘setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Perdebatan mengenai tepat atau tidaknya penggunaan pasal tersebut hingga perdebatan mengenai istilah mana yang tepat mengenai kondisi Indonesia saat ini, apakah dapat dianggap sebagai suatu karantina kesehatan masih mungkin terbuka untuk terjadi. Akan tetapi, secara de facto, pemerintah telah menggunakan ketentuan tersebut dan telah mencoba menjabarkannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 yang mengatur mengenai aktivitas transportasi di periode menjelang dan saat hingga paska Idul Fitri.

Secara teknis ketentuan yang ada membagi penerapan sanksi mudik dalam dua pola. Pertama, sanksi teguran dan memutar balik kendaraan yang diterapkan dari 24 April hingga 7 Mei dan kedua, setelah 7 Mei pemerintah akan menerapkan sanksi pidana sebagaimana ketentuan dalam UU Karantina. Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati sebagaimana penulis kutip dari cnnindonesia. Adita mengatakan sanksi tersebut merupakan hukuman maksimal yang bisa diberikan kepada pelanggar larangan mudik. Menurutnya, bisa saja sanksi yang dijatuhkan lebih kecil atau dalam bentuk lain.

Penulis melihat ada potensi masalah dari penerapan sanksi dalam Pasal 93 UU Karantina. Dalam Pasal 93, dinyatakan bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan adalah maksimal penjara satu tahun dan/atau denda 100 juta rupiah. Tampak dari ketentuan yang ada bahwa, hukuman yang bisa dijatuhkan sudah jelas dalam bentuk hukuman kurungan penjara dan atau denda. Maka, kalaupun diberikan kurang dari nilai ataupun durasi kurungan maksimal, tetap bentuk hukumannya sudah terlimitasi dalam bentuk denda dan/atau kurungan penjara.

Tampak bahwa dasar yang dijadikan rujukan tidak membuka kesempatan bagi diberikannya sanksi lain termasuk sanksi teguran maupun perintah untuk memutarbalik kendaraan. Secara teori peraturan perundang-undangan, sanksi yang dimuat dalam Permenhub tidak sejalan dengan ide dalam undang-undang kekarantinaan. Padahal, posisi undang-undang lebih tinggi dari permenhub sehingga ide dalam suatu permenhub harusnya sejalan dengan undang-undang dan semata pelaksana ataupun penjabaran lebih detail dari ketentuan undang-undang semata, bukan justru menghasilkan norma yang memiliki nilai yang baru.

Sinkronisasi ini sudah seharusnya mengingat dalam pertimbangannya, Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 menjadikan UU Karantina Kesehatan sebagai salah satu undang-undang yang dicantumkan dalam bagian 'mengingat'.

Pandangan secara normatif dapat menunjukkan bahwa penerapan di lapangan mengenai sanksi mudik belum sejalan dengan maksud yang terkandung dalam ketentuan Pasal 93. Penulis juga melihat bahwa kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah sedang menghadapi dilema dalam menegakkan sanksi tegas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan bagi pelanggar larangan mudik. Pertimbangan yang menyebabkan ketentuan yang ada tidak dapat murni ditegakkan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya paling tidak berasal dari pertimbangan sosial-ekonomi masyarakat yang ada saat ini.

Covid-19 telah mengakibatkan goncangan ekonomi yang tinggi. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan sebagai solusi terhadap situasi yang dialami, banyak diantara masyarakat hendak kembali ke kampong halaman. Hal ini di satu sisi dapat mengakibatkan banyak masyarakat keluar masuk dari suatu wilayah, khususnya ibukota yang dapat mengakibatkan meningkatnya potensi penyebaran Covid-19.

Akan tetapi, di sisi lain pemerintah juga nampaknya belum memiliki solusi terbaik untuk menahan orang-orang tersebut untuk tidak mudik. Jika tetap memaksakan diri di Ibukota, banyak masyarakat yang tidak tahu harus berbuat apa untuk memenuhi kebutuhan hidup karena ekonomi telah terganggu, khususnya bagi pekerja harian seperti pengendara ojek online yang penghasilannya tergurus akibat Covid-19.

Pemerintah memang telah membuat program bantuan bagi masyarakat baik dalam bentuk bantuan tunai maupun pemberian kebutuhan pokok, hingga keringanan maupun relaksasi tertentu dalam berbagai sektor ekonomi. Akan tetapi, khususnya dalam berbagai wawancara terhadap masyarakat di media televisi yang penulis lihat, bantuan-bantuan tersebut masih belum dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat. Alhasil, banyak yang tidak punya pilihan lagi dan tidak bisa hanya berdiam di rumah saja di ibukota.

Dalam salah satu wawancara dengan masyarakat di acara Mata Najwa, salah seorang warga masyarakat mengatakan bahwa mereka tidak punya apa-apa lagi dan harus pulang kampung. Minimal di kampung orang tersebut masih bisa makan bersama keluarganya dengan melakukan aktivitas bercocok-tanam. Saat disinggung mengenai adanya sanksi kurungan penjara maupun denda, orang tersebut menjawab bahwa jangankan uang 100 juta, uang seribu rupiah pun mereka tidak punya.

Dinamika inilah yang tampaknya sedang dihadapi oleh pemerintah. Regulasi yang ada sudah secara jelas menunjuk bentuk sanksi terhadap pelanggar larangan mudik. Di sisi lain, pemerintah tampaknya sadar bahwa mengenakan sanksi denda tersebut secara tegas juga tidak realistis mengingat pelaku pelanggaran mudik bisa jadi adalah mereka yang memang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk bertahan di tanah rantau sehingga mereka mau tidak mau harus pulang.

Menjatuhkan sanksi penjara juga tampaknya bukanlah tindakan yang produktif namun justru dapat menambah beban pemerintah dan dapat meningkatkan potensi penyebaran virus Covid-19. Hal ini setidnya bisa kita simpulkan dari adanya pelepasan narapidana dengan pertimbangan situasi pandemic Covid-19.

Kondisi ini juga semakin menjadi dengan adanya budaya mudik yang nampaknya memang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang sudah bekerja keras di rantau selama satu tahun dan menantikan momen lebaran untuk bersama-sama merayakan hari raya sekaligus berbagi apa yang sudah didapatkan selama bekerja keras di tanah rantau. Jika tidak mudik, rasanya ada yang kurang pas bagi banyak kalangan masyarakat.

Tampak bahwa ada pertimbangan sosial-ekonomi dalam ‘bimbing’nya penegakan hukum pelanggaran mudik. Di satu sisi, peraturannya sudah menunjuk secara jelas bentuk pelanggarannya, namun di sisi lain, menerapkan secara tegas juga sepertinya bukan tindakan yang cukup efektif. Situasi ini membuat pemerintah saat ini ibarat buah simalakama. Mau melakukan yang manapun dari opsi yang ada, terasa serba salah.

Pemerintah harus memikirkan lagi sistem terbaik guna mensinergikan pengaturan mudik dan upaya penanganan Covid-19. Pada prinsipnya, peraturan yang ada harus dilaksanakan secara tegas untuk menjaga wibawa hukum yang ada. Untuk itu, ada baiknya pemerintah segera membuat peraturan terkait penanganan Covid-19 yang bersinergi secara hierarki hukum dengan peraturan perundang-undangan yang ada juga dengan kondisi menjelang lebaran yang berpotensi menyebabkan masyarakat untuk mudik.

Tiap tindakan penegakan termasuk penjatuhan sanksi oleh pemerintah terhadap pelaku mudik harus didasarkan pada ketentuan hukum yang ada dan dilaksanakan secara tegas demi tegaknya prinsip negara hukum.

Ikuti tulisan menarik Sujana Donandi Sinuraya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler