x

cover buku Mencari Ilmu di Tiga Jaman Tiga Benua

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 5 Juni 2020 19:29 WIB

Selamat Jalan Prof. DR. Sediono M.P. Tjondronegoro

Buku ini adalah otobiografi yang terbit tepat pada ulang tahun ke 80 dari Prof. DR. Sediono M.P. Tjondronegoro yang kemarin berpulang. Ide penulisan buku ini adalah dari Prof. Sayogyo. Prof Sayogyo merasa bahwa pengalaman Prof Sediono sangat penting bagi Indonesia, khususnya perkembangan perguruan tinggi dan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Oleh sebab itu Prof. Sayogyo memohon supaya Sediyono menuangkan pengalaman hidupnya dalam sebuah buku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Mencari Ilmu di Tiga Jaman Tiga Benua – Otobiografi Sediono Prof. Dr. M.P. Tjondronegoro

Penulis: Sediono M.P Tjondronegoro

Tahun Terbit: 2008

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit SAINS                                                                                       

Tebal: xxii + 188

ISBN: 978-979-17795-0-0

 

Buku ini adalah otobiografi Prof. Dr. Sediono Tjondronegoro (ST) yang terbit tepat pada hari ulang tahun ke-80 beliau. Ide penulisan buku ini adalah dari Prof. Sayogyo. Prof Sayogyo merasa bahwa pengalaman ST sangat penting bagi Indonesia, khususnya perkembangan perguruan tinggi dan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Oleh sebab itu Prof. Sayogyo memohon supaya ST menuangkan pengalaman hidupnya dalam sebuah buku.

ST memilih untuk mengungkapkan pengalamannya mencari ilmu di tiga benua di tiga jaman. Pada jaman Belanda, ST mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda (ELS dan HBS). ST bisa mendapatkan pendidikan bersama dengan anak-anak Belanda karena orangtuanya adalah seorang pagreh praja (pegawai negeri di jaman Belanda) dengan pangkat asisten wedono, kemudian menjadi wedono. Pada Jaman Jepang ST sempat meneruskan sekolahnya di tingkat menengah. Demikian juga saat awal kemerdekaan. Pada jaman agresi Belanda ST sempat ikut berperang. ST menjadi bagian dari Tentara Pelajar.

Paska Konferensi Meja Bundar, ST termasuk pemuda yang mendapatkan kesempatan belajar di Belanda karena mendapat beasiswa. Ia belajar ilmu politik dan sosial di Universitas Kotamadya Amsterdam. Setelah lulus Sarjana Muda, ST menjadi asisten dari Prof Wertheim. Sempat tak jadi pulang ke Indonesia karena dikehendaki oleh negara untuk mengumpulkan informasi tentang Papua di Belanda, ST akhirnya kembali ke tanah air pada tahun 1963.

ST langsung bekerja sebagai dosen di IPB. Tak lama mengajar di IPB, ST kemudian diberi kesempatan untuk studi lanjut ke Amerika. ST belajar di Departemen of Rural Sociology Universitas Wisconsin. Di Amerika ST mempelajari topik land tenure bukan hanya dari kampus, tetapi juga dari rekan-rekannya yang berasal dari berbagai negara, termasuk dari Amerika Latin.

Dalam buku ini ST membandingkan studi di Belanda dengan di Amerika. Ia merasakan bahwa study di Amerika lebih ketat dan kurang mendalam dalam scientific comprehension dan lebih menekankan keterampilan profesi. Hal ini sangat berbeda dengan sistem belajar di universitas-universitas di Eropa. ST menyampaikan bahwa pengajaran model Amerika lebih banyak diikuti oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

ST selesai dari studi di Amerika Serikat pada tahun 1968 dan kembali mengajar di IPB. Namun ST tidak hanya sibuk mengajar. Ia juga sibuk dengan pekerjaan di PBB (ST bergabung di lembaga ECAFE di bawah PBB) dan survai-survai pedesaan pesanan dari Pemerintah Orde Baru yang sedang giat membangun pertanian. Selanjutnya ST banyak membantu Pemerintah, khususnya Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi serta lembaga-lembaga penelitian yang saat itu berada dalam koordinasi Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie.

ST dikenal sebagai seorang ilmuwan sosiologi pedesaan, khususnya tentang pembangunan pedesaan dan reformasi agraria.

Tentang IPB, dibagian renungan, ST menyesalkan hilangnya kewajiban praktik bagi mahasiswa sosiologi, sehingga lulusan IPB tidak lagi cukup mengenal desa. Para lulusan tersebut tidak memahami pedesaan dari pengalaman langsung, sehingga mereka tidak bisa menghayati keluhan orang desa. Secara berkelakar ST mengganti singkatan IPB menjadi “Instutute Pertanian Bukan.”

Di bagian akhir buku ini, ST menjelaskan perannya sebagai Tentara Pelajar di Surabaya. ST sempat terkena pecahan mortar dan harus dirawat.

ST juga menyinggung serba sedikit pernikahannya dengan salah satu mahasiswinya. Puspa Dewi Natalia yang menjadi pilihan ST untuk menjadi pendamping hidupnya adalah mahasiswinya. Puspa Dewi Natalia adalah seorang keturunan Tionghoa dab beragama Protestan. Namun pernikahan beda suku beda agama ini tidak menjadi penghalang cinta mereka berdua.

Di tengah-tengah kesibukannya mengajar dan melakukan penelitian, ST juga tetap mengembangkan keilmuannya. Pria yang suka melukis ini bergabung dengan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI). Ia juga menyelesaikan disertasinya untuk mendapatkan gelar P.hD di Institute of Southeast Asian Study (ISEAS) di Singapura. ST lulus dengan predikat cumlaude pada Bulan Desember 1977. Sejak selesai S3, ST banyak membantu Pemerintah Pusat, khususnya dalam pembangunan pedesaan dan pertanian.

Pada tahun 1992 – 1997, ST diangkat menjadi anggota MPR dari utusan golongan bersama dengan Prof. Dr Sayogyo. ST berprinsip bahwa ilmuwan tidak boleh bergabung dengan partai politik, supaya bisa tetap memberikan pandangan yang jernih. Saat menjadi anggota MPR, beliau pernah mengusulkan supaya MPR melakukan sidang setiap dua setengah tahun untuk mengevaluasi kinerja Pemerintah. Namun usulan ini tidak pernah diterima. Dibahas pun tidak. Beliau menilai karena selama 30 tahun tidak pernah mengalami pergantian presiden maka peran MPR menjadi minimal.

ST juga mengungkapkan pengalamannya sebagai seorang aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat. Pada tahun 1992, ST menjadi Ketua Badan Pengurus AKATIGA, sebuah LSM yang berada di Bandung. Yayasan AKATIGA adalah penerus dari kegiatan penelitian tiga lembaga, yaitu Pusat Studi Lingkungan ITB, Jurusan Sosiologi IPB dan Institute Social Studies yang pusatnya ada di Den Haag. Selain menekuni penelitian tentang reformasi agrarian, AKATIBA juga melakukan penelitian di bidang pembangunan pedesaan, perburuhan dan peran perempuan dalam pembangunan. Selain di AKATIGA, ST juga ikut serta di Yayasan Padi Indonesia (YAPADI).

Selain dilengkapi dengan Riwayat hidup singkat Sediono Tjondronegoro, buku ini juga dilengkapi dengan judul karya ilmiah beliau yang jumlahnya 458, foto-foto keluarganya serta beberapa sketsa yang dihasilkan dari hobinya melukis.

Selamat jalan Prof. Dr. Sediono Tjondronegoro yang kemarin berpulang. Istirahatlah dalam tenang di alam kelanggengan. Ilmu dan kegelisahan yang Bapak tinggalkan akan terus menjadi bekal bagi kami untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler