x

Iklan

Asep Ruhyani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Juni 2020

Kamis, 11 Juni 2020 05:37 WIB

Tiga Tokoh Utama Perang Pajajaran Melawan Cirebon


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sangat menarik mencermati pergulatan politik kerajaan Pajajaran yang melibatkan pertarungan tiga tokoh pentingnya di awal perseteruan panjang antara Pajajaran versus Cirebon. Tiga tokoh itu adalah Cakrabuana, Sunan Gunung Jati dan Surawisesa. Mereka hidup sejaman dan terlibat satu sama lain dalam sebuah pertarungan yang mempengaruhi sejarah Sunda secara radikal. 

Kita mulai dulu dengan Pangeran Cakrabuana. Menurut cerita rakyat, Cakrabuana memiliki hak suci untuk menjadi penguasa Kerajaan Pajajaran. Cakrabuana adalah anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang.

Dahulu, ketika ayahnya menikahi ibunya di Pasantren Syeh Quro Karawang, konon ada “kontrak politik” bahwa salah satu anak mereka harus ada yang menjadi raja kerajaan Pajajaran. Dan klausul itu nampaknya jatuh pada Cakrabuana sebagai anak paling tua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tidak tahu kebenaran klaim tahta itu, tapi yang kemudian menjadi narasi sejarah dan diyakini oleh masyarakat bahwa Cakrabuana tidak menjadi raja. Dia malah pergi meninggalkan istana untuk menemukan jalan hidupnya sendiri. Sejarah Cirebon menceritakan bahwa Cakrabuana bertemu dengan seorang pemimpin kampung bernama Ki Gedeng Alang-Alang di pinggiran bekas wilayah Indraprahasta. Di kampung tersebut, sebagaimana umumnya kisah tradisional, Cakrabuana menikah dengan anak Ki Gedeng Alang-Alang.

Selanjutnya Cakrabuana menjadi pemimpin kampung menggantikan mertuanya. Cakrabuana berhasil mewujudkan resolusi kemandirian ekonomi di wilayahnya dengan olah produk rebonnya yang terkenal. Kampung Cakrabuana yang bernama Lemah Wungkuk bertambah ramai. Akhirnya kampung Lemah Wungkuk menjadi sebuah zona kekuasaan lokal yang seksi. Kampung itu akan menjadi cikal bakal berdirinya Cirebon. Di masa depan, Cirebonlah yang akan menjadi pioner dalam upaya penghancuran kekuasaan Pajajaran. 

Prabu Siliwangi mengakui entitas politik yang dibentuk oleh Cakrabuana. Prabu Siliwangi bahkan memberi gelar Sri Mangana kepada Cakrabuana. Pada fase ini, perjalanan politik Cakrabuana mulai solid. Dia tidak hanya mewarisi darah Siliwangi, tapi juga punya sumber daya ekonomi bernilai tinggi serta potensi menjadi kekuatan politik baru karena pada saat itu dia dan rakyatnya memeluk agama Islam.

Cakrabuana memiliki jaringan trans internasional yang potensial melalui para pedagang muslim. Dalam persfektif politik modern, Cakrabuana adalah politikus darah biru yang punya sumber daya ekonomi dan sokongan politik yang tak bisa dianggap remeh, meski kekuatan militer masih kecil. Hanya saja sepertinya Cakrabuana memiliki visi politik yang terbatas. Cakrabuana hanya merasa cukup dengan berkuasa di Pesisir Cirebon saja dan mentransformasikan pandangan Islam kultural-nya.

Lalu, datanglah orang yang tepat yang bukan hanya memperluas visi politik Cakrabuana tapi juga muncul di saat yang pas. Dialah Sunan Gunung Jati yang berasal dari Mesir.

Sunan Gunung Jati tidak lain keponakan Cakrabuana. Sunan Gunung Jati adalah putera dari Rarasantang, kakak Cakrabuana. Dengan demikian Sunan Gunung Jati adalah cucu dari Prabu Siliwangi. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarief Hidayatullah.

Kita akan menyaksikan bahwa Sunan Gunung Jati akan menjadi sosok penting gerakan Islam di dunia politik tanah Sunda. Sunan Gunung Jati atau Syarief Hidayatullah adalah sosok militan yang datang dari Mesir (baca : Timur Tengah) dengan membawa semangat politik “Pan Islamisme” (Persekutuan Islam di konteks politik). Sunan Gunung Jati punya jaringan internasional dan visi politik yang tegas dan luas.

Cakrabuana kemudian menyerahkan tahta Cirebon pada Sunan Gunung Jati yang segera saja mengubah visi Islam kultural Cakrabuana menjadi Islam politik penuh gelora. Tidak lama setelah menjadi penguasa Cirebon, dan setelah waktunya tepat dengan meninggalnya Prabu Siliwangi, Sunan Gunung Jati kemudian menggerakan militernya ke wilayah Banten. Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Pelabuhan Banten dan menjadikan anaknya yang bernama Pangeran Saba Kingkin sebagai penguasa. Banten dipersiapkan untuk menjadi poros barat gerakan Islam di wilayah Pajajaran sementara Cirebon merangsek dari timur. 

Tapi begitulah jaman yang memiliki kecerdasannya sendiri. Seperti halnya jaman tidak hanya menghadirkan Adolf Hitler di Perang Dunia II, tapi juga memunculkan Chrucill, Stalin dan pemimpin berbobot lainnya. Maka di Tanah Sunda abad 15, bukan hanya muncul sosok bervisi luas, militan, Islamis dan cenderung agresif seperti Sunan Gunung Jati. Di pihah Kerajaan Pajajaran ada juga sosok Surawisesa. Yah, inilah sosok penguasa Kerajaan Pajajaran yang seolah hadir untuk melayani agresifitas anak-anak Cirebon polesan Jaringan Islam Internasional seperti Sunan Gunung Jati. 

Dalam tradisi Pantun Sunda, Surawisesa dipersepsikan sebagai sosok nasionalis-religius dengan kecenderungan militeristik yang kuat seperti ditampilkan dalam fragmen Kalapitung. Dia juga punya visi politik yang luas seperti lawan tandingnya dari Cirebon.

Jika Sunan Gunung Jati membangun gerakan politiknya atas nama Poros Islam bersama Demak dan Banten, maka Surawisesa membangun aliansi dengan Patege (Portugis) dengan konsep Bilateral. Dalam tinjauan geopolitik, inilah dua tokoh trah Pajajaran keturunan Prabu Siliwangi yang sama-sama memiliki pemikiran global, bisa berpikir strategis dan tentunya sama-sama berani. 

Pada akhirnya kita melihat bahwa dua politikus cadas Sunda abad 15 ini sama-sama kuat dan tangguh sebagaimana dinarasikan dalam Carita Parahyangan. Perang antara Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati di dua front barat dan timur berakhir imbang. Sunan Gunung Jati dengan Poros Islamnya meskipun mampu mempreteli banyak wilayah Pajajaran, tapi tak pernah berhasil menyentuh Pakuan. Sementara Surawisesa dengan keperkasaannya yang dipuji para prepantun sebagai perwira perkasa juga tak pernah mampu merebut lagi wilayahnya dari Cirebon.

Dua politikus digdaya Sunda itu akhirnya berdamai tahun 1530. Dan dengan sedih, Surawisesa kemudian membangun Prasasti Batu Tulis untuk mengenang kejayaan ayahnya, Siliwangi. 

Jika Cakrabana menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai awal gerakan politiknya, dan Sunan Gunung Jati menjadikan kekuasaan sebagai instrumen politiknya, maka Surawisesa, dengan terpaksa, menjadikan militer sebagai pilihan politiknya. “Lama hidup di medan perang, begitu pulang tak lama kemudian mati”, demikian tertulis dalam naskah Carita Parahyangan.

Ikuti tulisan menarik Asep Ruhyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler