x

Foto ketika wawancara bersama Drs. KH. Ahmad Rifa'i

Iklan

Tatang Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 17 Juni 2020 06:18 WIB

Mutiara Terpendam dari Bandung, Catatan Kebersamaan dengan Drs. KH. Ahmad Rifa'i

Beliau adalah Drs. KH. Ahmad Rifa’i, biasa dipanggil Abah, begitulah sebagian kami santri-santrinya memanggil beliau. Abah lahir di Bandung pada 9 Juli 1942 dan wafat di Bandung hari Kamis, 11 Juni 2020. Abah merupakan salah seorang kyai sepuh yang masih ada di Kota Bandung. Abah bagi saya merupakan seorang sosok ulama, kyai, guru yang memainkan peranan sebagai mu’allim, murobby, muzakki, mu’addib, mudarris, mursyid dan mujahid. Bagi saya, Abah juga merupakan seorang sosok orang tua, sahabat, cendekiawan, pemikir ekonomi, sastrawan, aktivis, bahkan seorang organisator yang handal dan sangat langka dijumpai di dalam kehidupan bermasyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Tatang Hidayat (Wakil Rois PPM Miftahul Khoir Bandung Periode 2014/2015)

Aku tuangkan perasaan sukmaku, dalam keadaan sedih yang ditikam rindu, disusun untuk menghibur hasrat jiwaku,  di kota Bandung-lah penulisannya tanpa disaksikan siapapun hanya karena kasih sayang Allah Yang Maha Agung.

Banyak nian yang terasa di hati, tentang berbagai kejadian di masa lalu bersama guruku. Makanya sekarang hatiku berketetapan. Duhai akan jadi apa segala perbuatanku, sekiranya tiada ampunan dari Allah Yang Maha Agung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Telah kualami berbagai peristiwa bersama guruku, tetapi aku senantiasa memohon, agar dapat ridha atas segala yang telah terjadi. Dan sungguh-sungguh kuwasiatkan, agar keluargaku benar-benar memegah teguh agama Nabi, hingga beroleh pertolongan-Nya.

Sebelum memulai tulisan ini, saya merasakan suasana lahir dan batin yang begitu berat untuk menuangkan kalimat pertamanya. Saya bingung harus mengawalinya dari mana, apalagi saya harus kembali mengingat-ngingat lembaran sejarah beberapa tahun ke belakang. Namun, saya sedikit tertolong ketika teringat saat membaca Muqaddimah Babad Diponegoro yang ditulis Sang Pangeran di Manado dengan menggunakan irama mijil yang gundah. Maka untuk meringankan beban saya, 3 paragraf pertama tulisan ini pun saya coba awali dengan sedikit mengikuti pola Muqaddimah Babad Diponegoro.

Awalnya saya ragu bahkan tidak yakin untuk menuliskan tentang ini, jujur begitu berat saya mengawali tulisan tentang seseorang yang dimulaikan oleh Yang Maha Mulia, yang mana jika dituangkan dalam tulisan tentunya tidak akan mewakili akan kemuliaan orang tersebut, apalagi ditulis oleh seseorang yang baru belajar menulis dan masih dalam suasana sedih ditikam rindu serta tangis.

Sosok yang akan dikisahkan dalam tulisan ini merupakan salah seorang guru saya, bahkan lebih dari itu beliau sudah bagaikan sosok orang tua dan sahabat. Saya diberikan kesempatan beberapa tahun terakhir menemani beliau, dan lewat mata serta hati ini, saya menyaksikan kisah beliau, kelak akan saya kisahkan kembali kepada anak cucuku bahwa perjuangannya tidak akan dilupakan.

Beliau adalah Drs. KH. Ahmad Rifa’i, biasa dipanggil Abah, begitulah sebagian kami santri-santrinya memanggil beliau. Abah lahir di Bandung pada 9 Juli 1942 dan wafat di Bandung hari Kamis, 11 Juni 2020. Abah merupakan salah seorang kyai sepuh yang masih ada di Kota Bandung. Abah bagi saya merupakan seorang sosok ulama, kyai, guru yang memainkan peranan sebagai mu’allim, murobby, muzakki, mu’addib, mudarris, mursyid dan mujahid. Bagi saya, Abah juga merupakan seorang sosok orang tua, sahabat, cendekiawan, pemikir ekonomi, sastrawan, bahkan seorang organisator yang handal dan sangat langka dijumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. 

Beliau adalah mutiara terpendam dari Bandung, sebuah kekayaan yang tak ternilai namun tak banyak dikenal. Seorang ulama ahli Al-Qur’an yang sangat tawadhu, selama hidupnya beliau pernah menjadi Ketua Dewan Hakim MTQ Mahasiswa Nasional 2003 di Universitas Padjadjaran dan Dewan Hakim MTQ Tingkat Kota Bandung Periode 1987 – 2014,  beliau bagaikan pelita yang menerangi gelapnya dunia. 

Abah merupakan sosok ulama yang pernah bertemu dan sezaman dengan ulama ulama besar seperti alm. KH. Choer Affandi (Ulama Legendaris PP Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya), alm. KH. Ateng ‘Izzudin (Pendiri PP Pulosari Limbangan), alm. KH. Hasan Amirudin (Cicalengka), alm. KH. Idi Saefudin (Pendiri PP Al Falah Dago Bandung), alm. KH. AF Ghazali (Ketua MUI Jawa Barat), alm. KH. Totoh Abdul Fattah (Ketua DMI Jawa Barat), alm. KH. Hasbulloh Hafidzi (Tokoh Syarikat Islam), alm. KH. Abdurrahman Wahid (Tokoh Nahdlatul ‘Ulama), alm. Ajengan Endin Effendi (Pengasuh PP Miftahul Khoir Bandung Periode 1991), Drs. KH. Muchtar Adam (Pimpinan PP Babussalam Dago Bandung), KH. Jumaeli (Pimpinan PP Miftahul Jannah Dago Bandung) dan sederet ulama besar lainnya.

Pendidikan formal Abah ditempuh melalui jalur SD, SMEP, SMEA dan FE UNPAD. Adapun pembelajaran non formalnya, Abah mengaji khusus kepada alm. KH. Idi Saefudin, KH. Hasbullah Hafidzi belajar di madrasah yang sekarang menjadi Darul Hikam, alm. Mama Ajengan Ahmad Qusyaery, alm. KH. Tatang Ismail, belajar Qiro’at kepada alm. KH. Muchtar Ghazali, alm. Ajengan Romli, Muallim Qosim dan abah sempat juga belajar Qiro’at kepada KH. Tubagus Mansyur Makmun putra dari Syaikh Ma’mun ulama ahli Qiro’at dan ulama ulama besar lainnya.

Sebagai seorang ulama, pendidik, cendekiawan muslim, aktivis dan organisatoris, semasa hidup Abah berpofesi sebagai seorang dosen PAI di Universitas Padjadjaran dan Universitas Sangga Buana YPKP. Abah juga pernah menjabat berbagai amanah organisasi diantaranya : Ketua Dewan Hakim MTQ Mahasiswa Nasional 2003 di Universitas Padjadjaran, Dewan Hakim MTQ Tingkat Kota Bandung Periode 1987 – 2014, Ketua BAZNAS Kecematan Coblong Bandung, Ketua MUI Kelurahan Dago Bandung, Ketua Dewan Nadzir PPM Miftahul Khoir Bandung, Ketua DKM Al-‘Urwatul Wutsqo Bandung, dan masih banyak jabatan lainnya. 

Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2013

Kyai Yang Tidak Pilih-Pilih Dalam Mendidik

Saya mulai mengenal Abah sekitar tahun 2013 ketika saya masuk menjadi santri di Pondok Pesantren Mahasiswa Miftahul Khoir Dago Bandung. Setiap hari sabtu saat itu, santri-santri yang dipimpin oleh Kang Deding (Rois PPM Miftahul Khoir Periode 2013/2014) selalu berkunjung ke rumah Abah untuk belajar Al-Quran atau yang dikenal dengan talaqqi. Perjumpaan pertama saya dengan Abah saat itu, Abah sedang duduk di dekat lapang rumahnya, kemudian kami menyatakan maksud untuk belajar membaca Al-Quran. Tanpa keberatan, Abah pun mempersilahkan, padahal saat itu kami hanya berdua namun Abah tetap melayani kami tanpa memandang jumlah santrinya. Abah dalam mendidik santri-santrinya tidak memandang jumlah bahkan di beberapa kesempatan kadang saya seorang diri belajar kepada Abah.

Kesan pertama saya berjumpa dengan Abah, masya Allah nampak karakter wibawa kyai ada dalam diri Abah, lisannya selalu basah dengan bacaan Al-Quran dan dzikir. Nampak dalam wajahnya terpancar ketenangan, keteduhan dan kewibawaan bagi yang memandang, sehingga saya tidak berani untuk berlama-lama menatap wajah beliau.

Setiap kami talaqqi di rumah beliau, bukan hanya ilmu saja yang Abah berikan, lebih dari itu, Abah memberikan hidangan lahir dan batin kepada santri santrinya. Abah selalu menyediakan makanan dan minuman untuk kami sebagai santri-santrinya. Bahkan tidak segan-segan Abah menyuruh kami membawa pulang makanan yang masih ada di meja, tidak jarang Abah sendiri yang membungkusnya untuk kami.

Salah satu kenangan talaqqi dengan Abah, mungkin ini salah satu kenangan dari sekian banyak kenangan-kenangan indah bersama Abah, yaitu ketika saya sendiri ke rumah Abah untuk belajar, tanpa keberatan Abah mempersilahkan saya untuk masuk, meskipun saya hanya sendiri namun Abah tidak keberatan untuk melayani. Setelah setoran hafalan, Abah selalu mempersilahkan saya untuk memakan apa saja makanan yang ada di meja, bahkan tidak jarang jika di meja tidak ada makanan, Abah sendiri yang pergi ke luar untuk membeli makanan atau mewakilkan kepada yang lain, dan tentunya saya pun tidak berani menolak kebaikan Abah.

Setelah selesai setoran hafalan, Abah biasanya sering meminta pendapat kepada saya terhadap berbagai persoalan baik itu masalah keluarga, kuliah, pesantren, kehidupan hingga dunia Islam dan tentunya saya menganggap sebenarnya Abah sudah tahu jawabannya, tetapi saya menganggap Abah ingin mendidik saya untuk bermusyawarah dan berdiskusi dengan siapapun meskipun usianya lebih muda. Maka tidak heran, atas sikap Abah yang seperti itu saya memandang bahwa Abah itu seorang kyai yang sangat tawadhu.

Abah juga selalu bercerita tentang guru-gurunya saat itu bagaimana mendidik beliau, salah satunya dikisahkan ada seorang kyai sepuh yang selalu datang ke rumah beliau saat kecil yakni Kyai Muallim Qosim. Guru Abah ini dengan berjalan kaki disertai tongkat sebagai pengiring jalan, meskipun muridnya hanya Abah tetapi kyai tersebut istiqomah rutin mengajarkan Al-Quran ke rumah Abah.

Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2014

Kyai Yang Tahu Kebutuhan Santrinya

Kedekatan saya dengan Abah kembali berlanjut pada tahun 2014, ketika itu saya dipercaya dan diangkat menjadi wakil rois PPM Miftahul Khoir Bandung. Angkatan kami waktu itu memiliki satu program yang menurut saya sangat berat untuk diwujudkan, yakni kami harus menyukseskan Reuni Akbar Santri Alumni PPM Miftahul Khoir Bandung lintas generasi mulai dari 1985 -2014 yang belum pernah dilaksanakan oleh kepengurusan sebelum-sebelumnya. Otomatis tugas berat ini harus dipikul oleh kepengurusan kami, saat itu saya masih ingat ketika pertama rapat perencanaan reuni akbar yang dilaksanakan ba’da Isya, Abah hadir ikut rapat duduk dekat tiang sebelah kanan masjid Khoiru Ummah PPM Miftahul Khoir. Padahal sebetulnya bisa saja Abah mewakilkan kepada yang lain, namun asbab kehadiran Abah itu memberikan motivasi psikologis kepada panitia untuk menyukseskan acara tersebut, terutama saya yang diamanahi selaku ketua pelaksana.

Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2015

Kyai Bijaksana

Singkat cerita dengan segala proses dan dinamika perjuangannya, Reuni Akbar Santri Alumni PPM Miftahul Khoir bisa terselenggara pada 7-8 Maret 2015 terlepas dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Nampak saya bahagia melihat Abah hadir dalam acara reuni tersebut karena Abah bisa bertemu dengan teman-teman seperjuangannya, saat itu ada Drs. KH. Djalaluddin Asy Syatibi (Pengasuh PPM Miftahul Khoir Periode 1994-2004) dan Dr. H. Fahmy Lukman, M.Hum (Atdikbud KBRI Cairo Mesir) salah satu yang ikut membangun PPM Miftahul Khoir, Dr. Ahmad Juwaini (Presiden Direktur Dompet Dhuafa), dan alumni-alumni lainnya.

Namun pasca agenda Reuni Akbar Santri Alumni PPM Miftahul Khoir karena ada beberapa hal yang mesti saya selesaikan berhubung tugas kuliah dan tuntutan menghafal Al-Quran sebagai salah satu syarat kelulusan kuliah di Prodi IPAI UPI, maka dengan berat hati saya memutuskan sementara untuk pindah pondok pesantren terlebih dahulu. Betapa beratnya saat itu saya harus pamit kepada Abah, dengan berat hati saya menyampaikan maksud pamit dari PPM Miftahul Khoir, namun tetap saya meminta izin untuk bisa mengikuti talaqqi setiap hari Sabtu, karena saat itu yang biasa talaqqi sudah sedikit kisaran 3-5 santri, dan Abah pun mempersilahkan.

Dikarenakan saat itu yang ikut talaqqi hari Sabtu sudah berkurang dan tidak istiqomah karena berbagai hal, akhirnya talaqqi pun tidak berlanjut. Selama 4 bulan saya mengikuti program Tahfizh Al Quran di Mahad Usyaqil Quran Bandung pimpinan Ustadz Muhammad Suhud al-Hafizh. Karena target hafalan saya sudah selesai untuk syarat sidang, dan ada kebijakan baru dari Ma’had bagi santri untuk tetap di pesantren hingga masa 2 tahun serta ada beberapa pertimbangan lain, saya pun tidak melanjutkan program tersebut dan memutuskan untuk kembali. Namun disini saya melakukan istikharah dan musyawarah dengan orang tua baiknya saya kemana, apakah kembali ke PPM Miftahul Khoir atau tinggal di kos.

Setelah beberapa pertimbangan termasuk dengan sudut pandang literasi terutama literasi sejarah, akhirnya saya memutuskan untuk bisa tinggal di tempat kos Abah, karena memang Abah memiliki kosan. Dalam hati saya berharap mudah-mudahan masih ada tempat yang masih kosong, sehingga saya memberanikan diri untuk datang ke kosan Abah. Setelah saya cek langsung ke tempat kosan tersebut dan bertemu dengan Abah sore itu, dalam pengamatan awal saya ternyata kosannya sudah penuh semua, namun Abah menyampaikan pesan kepada saya beberapa hari ke depan untuk kembali lagi. Selang beberapa hari akhirnya saya kembali ke tempat Abah, tidak disangka ternyata selama beberapa hari Abah membersihkan ruangan tamu yang selama ini dipakai talaqqi oleh para santri untuk ditempati oleh saya.

Agustus 2015 untuk pertama kalinya saya bisa tinggal di salah satu ruangan rumah Abah. Mulai saat itulah saya mulai bisa lebih dekat dengan Abah, karena memang niat awalnya saya ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi santri khidmat, yakni saya ingin berkhidmat kepada salah satu ulama sepuh yang masih ada di Bandung, salah satunya Abah. Sejak saat itu pula saya mulai terlibat berbagai aktivitas di DKM Al-‘Urwatul Wutsqo yang Abah pimpin, dari mulai shalat berjama’ah, adzan, ikut belajar dan membaca Al-Quran dengan Abah, mengadakan Ta’lim di Masjid, mulai dilibatkan sebagai sekretaris, dipersilahkan menjadi imam masjid hingga diberi kesempatan untuk ngisi khutbah Jum’at.

Kebiasaan Abah Selama di Tempat Tinggal

Istiqomah Dalam Shalat Berjama’ah, Membaca Al-Qur’an dan Dzikir

Kebiasaan Abah selama di tempat tinggal yang saya tahu, sejak sebelum shubuh Abah sudah bangun dan segera pergi ke masjid, itu nampak dari suara khas terompah Abah, bahkan saya malu sama diri sendiri terkadang ketika Abah lewat saya belum bangun. Kemudian Abah masuk masjid melalui pintu mihrob sebelah kanan karena di sana ada salah satu ruangan khusus untuk Abah shalat, membaca Alquran, dan dzikir. Terkadang Abah juga mengeraskan bacaan Al-Qurannya melalui speaker masjid, sehingga sebelum shubuh langit Dago akan berkah dengan lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakan Abah. .

Jika sedang sehat atau tidak bepergian, Abah selalu memimpin shalat shubuh berjama’ah, dengan suara yang khas dan bacaan yang sangat fasih baik dari segi makhorijul huruf dan shifatul hurufnya, semakin menambah suasana kekhusuan shalat shubuh ketika dipimpin oleh Abah. Padahal perlu diketahui sebenarnya usia Abah sudah sepuh di atas 70 tahun. Kadang saya malu dan menangisi diri dengan bacaan Al-Quran saya yang masih terbata-bata.

Setelah selesai shalat Shubuh, biasanya Abah tidak langsung pulang, tetapi duduk di tempat imam dan melanjutkan tilawah Al-Quran hingga waktu isyraq tiba, kadang saya dan beberapa jamaah lain pun menemani dibelakang beliau karena biasanya nanti Abah mempersilahkan kami satu persatu untuk melanjutkan dan mencek bacaan tilawah masing-masing. Abah sangat jeli dalam mengoreksi bacaan Al Quran santri-santrinya, baik dari segi makhorijul huruf, shifatul huruf, panjang pendeknya bacaan, konsistensi gunnah dan yang lainnya.

Telinga Abah bahkan sangat peka ketika sedang membaca Al Quran bersama-sama kemudian terdengar ada jamaah lain yang membaca sendiri, biasanya Abah akan memanggil orang tersebut untuk membacakannya dihadapan Abah. Mungkin orang akan menganggap Abah marah, tetapi saya memandang justru Abah sedang mengajarkan adab kepada orang tersebut dan jamaah lainnya, jika ada jamaah yang sedang membaca Alquran dan saling mengoreksi satu sama lain itu keutamaannya lebih baik daripada membaca sendiri-sendiri, hal tersebut sebagaimana tercantum dalam hadis Baginda Nabi Muhammad SAW.

Setelah isyraq atau tilawahnya selesai, Abah baru pulang. Yang saya tahu dalam sebulan Abah bisa mengkhatamkan 3-5 kali Alquran bahkan lebih, terutama dalam bulan Ramadhan bisa lebih banyak lagi. Dengan usia yang tidak muda lagi, mengkhatamkan Alquran 3-5 kali dalam sebulan itu merupakan hal yang sangat langka, kadang saya malu yang masih muda, dalam waktu 1 bulan kadang saya belum bisa mengkhatamkan Al-Quran.

Abah biasa keluar lewat pintu mihrob sebelah kanan masjid, jika ada sesuatu yang ingin saya sampaikan, biasanya saya menunggu di pintu keluar kanan masjid dekat lorong tempat Abah keluar, kemudian saya mengucapkan salam dan mencium tangan kanan beliau. Abah selalu menanyakan kabar dan sering saya belum menyampaikan maksud apapun biasanya langsung diajak ke rumah, dan itu pun yang sering dilakukan Abah jika ada tamu yang baru datang, atau ada alumni santri dan alumni mahasiswa yang sempat kos di rumah Abah, biasanya suka langsung di ajak ke rumah.

Tidak Pilih – Pilih Dalam Takziyah

Adapun jika ada warga yang meninggal, biasanya Abah takziyah langsung ba’da Shubuh. Saat itu saya masih ingat, ketika ada warga di salah satu RT lain yang meninggal, Abah langsung berangkat untuk takziyah bersama saya, padahal dari masjid tempatnya cukup jauh dan jalannya cukup tajam menurun ke bawah, saat itu saya menemani Abah menuruni setiap anak tangga dan jalan yang licin, saya pegang tangan Abah khawati jatuh, tibanya di tempat lokasi Abah langsung menghibur keluarga yang ditinggalkan dan langsung menyolatkan jenazah. Dalam urusan takziyah pun Abah tidak pilih-pilih, padahal saat itu yang wafatnya bukan warga asli Cisitu karena jenazahnya akan dimakamkan di daerah lain.

Setelah selesai takziyah, saya biasanya berjalan di belakang Abah, karena tidak berani jika berjalan berdampingan apalagi di depan beliau, kemudian saya bukakan pintu gerbang yang mau masuk ke rumah beliau, dan Abah mempersilahkan saya masuk. Ketika saya silaturahim ke rumah beliau, istri kedua Abah yakni ibu Hj. Neneng Rifa’i (Istri pertama Abah bernama Ibu Hj. Siti Komariah sudah wafat terlebih dahulu) selalu membuatkan saya kopi bahkan lengkap dengan makanannya berupa roti, kue dan lain-lain. Sering juga saya dikasih nasi lengkap dengan lauk pauknya bahkan tidak jarang saya sering diajak makan bareng bersama abah. Pada suasana pagi itu, biasanya Abah sering bercerita bahkan meminta pendapat tentang berbagai persoalan kepada saya, terutama berkaitan dengan perkembangan dakwah umat Islam dalam perjuangan mempersatukan umat dan melanjutkan kembali kehidupan Islam, tentu lagi dan lagi ini merupakan sesuatu yang sangat berat untuk menjawabnya.

Abah selalu mempersilahkan saya untuk memakan apa saja makanan yang ada di meja, bahkan beliau sendiri yang sering memberikan kepada saya melalui tangannya. Setelah urusan selesai biasanya saya pamit pulang. Aktivitas pagi Abah setelah shalat duha, saya sering melihat beliau bersih-bersih di lapang, menyiram tanaman, membuang sampah, mencat lapang, bermain badminton dan kegiatan lainnya. Ini menandakan bahwa Abah orang yang sangat rajin, rutin olahraga dan cinta kebersihan. Kadang saya juga sering ketawa ketawa sendiri ketika mendengar Abah sedang bercanda dengan istrinya, yang intinya Abah itu sosok yang humoris dan romantis serta perhatian juga kepada istrinya.

Rajin Menghadiri Pengajian

Sebelum dzuhur tiba biasanya Abah tidur, kecuali pada hari Sabtu dan Ahad biasanya pada pagi hari Abah sering menghadiri berbagai kegiatan pengajian jika ada undangan, terutama pengajian yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al Falah Dago, Pondok Pesantren Babussalam Dago, Pondok Pesantren Mahasiswa Mitahul Khoir Bandung, bahkan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pergerakan Islam dan Ormas Islam.

Waktu shalat dzuhur, imam biasanya diserahkan kepada Pak Aep, ya beliau bendahara DKM Al-‘Urwatul Wutsqo. Setelah selesai shalat, biasanya Abah mundur ke belakang dan dzikir di dekat pintu kanan masjid, kadang kalau saya mau keluar dan melewati Abah sangat segan, oleh karena itu saya biasanya salam dan mencium tangan Abah terlebih dahulu. Setelah shalat dzuhur Abah pulang ke rumah, dan nanti berangkat lagi ke masjid ketika waktu ashar tiba. Untuk urusan shalat berjamaah, masya Allah Abah sangat luar biasa dan sulit diikuti, bahkan ketika hujan deras pun saya melihat sendiri Abah tetap berangkat ke masjid.

Setelah shalat ashar biasanya Abah tidak langsung pulang, tetapi dzikir terlebih dahulu, kecuali jika ada tamu baru beliau pulang. Biasanya tamu yang datang dari berbagai kalangan, ada dari tokoh masyarakat, pejabat, tokoh ormas Islam, masyarakat, mahasiswa, santri dan yang lainnya. Kadang waktu itu Abah juga sering mengadakan diskusi di rumah beliau dengan melibatkan teman-teman seperjuangan Abah, tokoh masyarakat dan tokoh ormas Islam membahas tentang berbagai hal dunia Islam, saya juga sering diajak dalam diskusi tersebut.

Istiqomah i’tikaf Diantara Maghrib dan Isya

Saat Maghrib tiba, Abah kembali berangkat ke masjid dan Abah yang menjadi imam utama. Namun ada hal yang menarik, setiap hari Sabtu karena ada santri dari PPM Miftahul Khoir talaqqi kepada beliau, biasanya jika ada santri yang bagus bacaannya akan Abah persilahkan santri tersebut menjadi imam, diantaranya dulu saya melihat Kang Deding Rois PPM Miftahul Khoir Periode 2013/2014 maju ke depan, ada juga santri yang namanya Rifqi yang suaranya bagus Abah persilahkan maju juga. Bahkan saat itu karena Rifqi ini tidak pakai peci dan bingung ketika maju, Abah membuka pecinya sendiri dan diberikan kepada Rifqi.

Setelah shalat Maghrib selesai, jika tidak ada tamu biasanya Abah berdiam diri di masjid, bisa di tempat imam shalat atau tempat beliau di ruangan mihrob sebelah kanan. Abah habiskan waktunya untuk membaca Alquran, kadang sendiri dan tidak jarang juga Abah membaca Al-Quran melibatkan jamaah yang ada di masjid untuk menunggu waktu Isya. Adapun untuk malam Jum’at, dikarenakan di masjid ada program dalam rangka menghidupkan malam Jum’at dengan bacaan Al-Quran, surat yang dibacanya pun tidak hanya Yasin, tetapi kadang surat Ar Rahman, Al Waqiah, dan Al Mulk. Kemudian ditambah dzikir, istighfar, shalawat, tahlil dan bacaan lainnya. Biasanya Abah sendiri yang memimpin, tidak jarang Abah pun menjelaskan tentang berbagai makna yang ada dalam Al-Quran dengan menggunakan kitab Tafsir, saya masih ingat waktu itu abah memberikan foto copyan Tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. Buya Hamka, itu merupakan salah satu kitab tafsir yang jadi rujukan abah diantara kitab tafsir yang lainnya.  

Setelah adzan Isya berkumandang, iqomah langsung dikumandangkan dan Abah memimpin shalat berjamaah serta jika sudah selesai Abah dzikir dahulu kemudian pulang ke rumah. Begitulah rutinitas Abah sehari hari yang saya lihat, mungkin masih banyak rutinitas beliau yang istimewa lainnya yang tidak terlihat oleh saya karena keterbatasan waktu saya bersama abah, bisa jadi pandangan dari istri, putra putri beliau, keluarga, dan murid-murid lainnya bisa lebih istimewa lagi.

Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2016

Toleransi Dalam Perbedaan Pendapat Ibadah

Kebersamaan saya bersama Abah pada tahun 2016 berlanjut, namun saat bulan Ramadhan 1437 H saya sedikit berkurang waktunya bersama Abah. Saat itu waktu sayat tidak banyak dihabiskan di kosan Abah, karena saat itu saya ada pasaran kitab di Pesantren Miftahul Jannah Dago Bandung, maka saya bolak balik dari Miftahul Jannah ke Kosan. Biasanya dalam pelaksanaan shalat tarawih setiap Ramadhan, Abah yang pertama menjadi imam dan kultum tarawih, waktu itu Abah menyampaikan tentang keutamaan shaum di bulan Ramadhan. Tarawih di masjid Al-‘Urwatul Wutsqo dilaksanakan sebanyak 8 rakaat tarawih dan 3 witir, namun untuk teknis pelaksanaan rakaatnya diserahkan kepada imam masing-masing, bisa 4-4-3 atau 2-2-2-2-3 dan 2-2-2-2-2-2-1. Selain shalat Tarawih, Abah juga biasanya menjadi imam jika ada shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, saat itu saya masih ingat ikut melaksanakan shalat gerhana matahari dan bulan yang dipimpin oleh Abah.

Setelah bulan syawal, biasanya kami mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di kosan Abah suka diundang ke rumah beliau untuk silaturahim dengan keluarga sekaligus makan-makan, dan kesininya silaturahim tersebut dilaksanakan di rumah Ibu Nena salah seorang putri Abah.

Ghirah Dalam Membela Al-Qur’an

Tahun 2016 merupakan salah satu tahun yang tidak akan dilupakan oleh umat Islam, ya saat itu ada salah satu peristiwa yang opininya bukan hanya tingkat nasional tetapi bahkan tingkat internasional, yakni adanya kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ketika melecehkan kitab suci umat Islam yakni Al-Quran. Saat itu Abah juga ikut marah dan menyikapi terkait peristiwa tersebut, memang sebetulnya Abah itu orangnya penuh kasih sayang, tetapi ketika prinsip dan agama dihina maka muka Abah akan berubah menunjukkan kemarahannya. Saat itu masih ingat pada 20 Oktober 2016, Abah diundang untuk mengikuti majelis Buhuts Al-Islamiyyah yang juga dihadiri oleh beberapa ulama dari Bandung dan Jawa Barat. Setiap diundang acara oleh siapapun selama Abah sehat dan tidak ada acara lain, Abah pasti menyempatkan hadir.

Saat itu saya masih ingat agenda tersebut diselenggarakan di salah satu gedung yang beralamat di Jalan Jakarta No 41 Kota Bandung, siang itu jalan di Kota Bandung sangat panas dan macet, namun Abah tetap duduk santai sambil terus berdzikir, padahal suasana di dalam mobil sangat panas. Selama saya menemani Abah beberapa kali naik mobil, saya menjadi saksi lisan Abah selalu basah dengan dzikir baik itu tahlil, istighfar, shalawat dan dzikir lainnya. Akhirnya setelah beberapa pertimbangan, Abah dijemput oleh panitia menggunakan motor melewati gang sempit supaya bisa sampai di lokasi. Setelah sampai di lokasi acara, nampak ketawadhuan Abah, panitia mempersilahkan Abah untuk duduk di kursi depan, namun Abah tidak memperkenankannya malah duduk di kursi belakang. Ini merupakan salah satu sikap Abah diantara sikap sikap lainnya yang menunjukkan ketawadhuan beliau.

Majelis Al-Buhuts Al-Islamiyyah saat itu mengangkat tema Hukum Bagi Penghina Al-Quran. Setelah selesai acara semua ulama yang hadir mewakili daerah masing masing membumbuhkan tandangan sebagai bentuk bahwa yang dilakukan oleh Ahok itu adalah penistaan agama, dan Abah pun ikut menandatanginya. Ini merupakan salah satu bentuk sikap yang dicontohkan beliau, meskipun usia sudah sepuh tetapi semangat dalam membela Al-Quran dan agama seolah tidak surut dan reda, ini menjadi cambuk sendiri bagi saya.

Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2017

Selalu Mendo’akan dan Mendukung Santrinya

Memasuki tahun 2017, tidak terasa kuliah saya sudah memasuki semester 8 dan sedang mengerjakan tugas akhir dalam bentuk skripsi yang mana saat itu saya mengangkat judul Pola Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Mahasiswa Miftahul Khoir Bandung Dalam Membentuk Kepribadian Islami. Saat itu Abah bertindak sebagai ketua Dewan Nadzir PPM Miftahul Khoir Bandung. Otomatis saya tentu harus meminta izin dan doa restu kepada Abah untuk mengangkat judul tersebut, seperti biasa dengan nada yang lembut Abah mempersilahkan dan mendukung judul yang saya angkat.

Pada 5 April 2017 sore itu menuju senja saya masih ingat, bersama teman saya bernama Uum Zakariya dari Pendidikan Sosiologi UPI 2013 yang sama juga sedang penelitian lapangan di PPM Miftahul Khoir, kami silaturahim ke rumah Abah untuk melakukan wawancara terkait sejarah PPM Miftahul Khoir Bandung. Melalui lisan beliaulah saya baru tahu, bahwa KH. Ahmad Umar pendiri PPM Miftahul Khoir dari segi politik bersama KH. Idi Saefudin pendiri Pondok Pesantren Al Falah Dago sama sama berada dibawah naungan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Dengan intonasi bahasa yang pelan, santai dan penuh penghayatan, dan memang seperti itu gaya Abah dalam berbicara tidak terburu buru, tetapi penuh penghayatan sebelum kata itu terucap. Abah menyampaikan berbagai peristiwa yang terjadi, nampak jika saya melihat cara bicara Abah yang santai itu menunjukkan bahwa beliau sangat hati hati dalam bicara dikhawatirkan yang keluar itu informasi yang salah dan sia-sia. Itu sangat berbanding terbalik dengan saya yang selalu kebanyakan bicara, terkadang kalau boleh jujur sebenarnya saya sangat malu ada dihadapan beliau.

Abah Seorang Sastrawan

Pada tahun 2017 keterlibatan saya di  DKM Al-Urwatul Wutsqo semakin banyak terutama dalam kegiatan surat menyurat. Salah satu kegiatan yang sering dilaksanakan adalah pengajian 3 bulanan dengan tema dan narasumber yang berbeda beda. Rangkaian kegiatan tersebut langsung dibina oleh Abah dan istrinya sebagai ketua pelaksana. Bisa dikatakan Abah sangat mencintai seni, itu terlihat ketika kegiatan pengajian 3 bulanan bukan hanya diisi oleh ceramah saja, tetapi sebelumnya biasanya ditampilkan berbagai kreasi seni dari MDT Al Urwatul Wutsqo, Shalawat yang dibacakan oleh ibu-ibu, bahkan Abah pun pernah menyusun berbagai macam syair, puisi perjuangan, hingga ke drama. Dapat dikatakan juga Abah sebenarnya seorang sastrawan, karena saya pernah mendengarkan sendiri syair karya Abah yang dilantunkan oleh ibu-ibu dalam acara pengajian.

Peduli Terhadap Perjuangan Ormas Islam Manapun

Sebelum bulan Ramadhan 1438 H tahun 2017, tepatnya tanggal 15 Mei 2017 kembali saya diberikan kesempatan untuk menemani Abah untuk menghadiri salah satu acara bersama para ulama di daerah pasir koja kota Bandung untuk membahas tentang upaya pembubaran ormas Islam adalah makar terhadap Islam. Karena tempat acaranya di masjid lantai 2, dan untuk sampai kesana mesti melewati tangga, saya sangat terharu dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri karena tubuh Abah cukup besar, sehingga ketika naik tangga cukup kesulitan, Abah naik tangganya dengan merangkak dengan menggunakan kedua tangan dan kedua kaki, Yaa Allah jika waktu bisa berputar saya ingin memaksanya untuk saya pegang tangannya supaya dipapah, tetapi Abah tidak berkenan dan Abah bisa naik sendiri, dan saya menyaksikan panitia yang lain pun terharu atas kedatangan dan perjuangan Abah untuk sampai di lantai 2 masjid.

Atensi Kepada Santri

Pada Ramadhan 1438 H / 2017 saya mulai lebih banyak waktu bisa ikut kegiatan di DKM Al-‘Urwatul Wutsqo. Sebelum mulai masuk Ramadhan biasanya Abah memanggil saya untuk menuliskan jadwal imam tarawih dan kultum tarawih, setelah selesai baru surat tersebut disebarkan oleh Mang Udeb selaku muadzin masjid. Biasanya Abah menjadi imam dan kultum pertama. Semarak Ramadhan di DKM Al-‘Urwatul Wutsqo pada tahun 2017 cukup semarak, kegiatannya selain ada tilawah Quran bada shubuh yang dilakukan oleh ibu-ibu, ada juga tilawah Al-Quran sebelum buka shaum yang dipimpin langsung oleh Abah, buka bersama ta’jil, tarawih berjamaah, dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemuda Masjid Al-‘Urwatul Wutsqo berupa lomba anak-anak dan kegiatan lainnya.

Selama bulan Ramadhan 1438 H, biasanya setelah Shubuh ada program dari Pesantren Sulamaniyah Bandung mengirimkan santrinya ke masjid masjid sekitar pesantren, termasuk masjid Al-‘Urwatul Wutsqo untuk program tilawah, dan kebetulan saat itu ada 2 santri yang kebagian di Masjid al-Urwatul Wutsqo. Dengan senang hati, Abah selalu mempersilahkan santri tersebut untuk melantunkan Al-Quran dengan speaker bahkan Abah tidak jarang menghentikan dulu tilawahnya dan untuk sementara meminta ibu ibu yang sedang tilawah bareng di lantai 2 untuk turun ke lantai utama masjid ikut menyimak bacaan kedua santri tersebut.

20 juni 2017 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1438 H, merupakan salah satu hari yang bersejarah juga bagi saya. Pada saat itu saya dijadwalkan akan melaksanakan sidang skripsi. Sebagaimana biasa, sebelum melaksanakan berbagai kegiatan yang penting dalam hidup saya, saya biasanya meminta do’a restu kepada orang tua, dan guru guru, salah satunya saya menyampaikan maksud juga kepada Abah dan dengan senang hati saya didoakan oleh Abah serta semakin meyakinkan diri saya bahwa saya pasti bisa melewati sidang tersebut dengan lancar. Benar saja, proses sidang skripsi tersebut bisa dilaksanakan dengan lancar tanpa kesulitan apapun.

Kebiasaan baik lainnya yang selalu dilakukan Abah yaitu ketika bulan syawal tiba, ketika mahasiswa mahasiswa yang tinggal di kosan Abah balik lagi ke Bandung biasanya kami melakukan silaturahim di rumah Abah bersama keluarga, biasanya kami mempekenalkan diri masing masing dan ditanya kesibukannaya sembari ada nasihat dari Abah kepada kami setelah itu makan makan deh. Nampak masih terasa diingatanku nasihat nasihat dari Abah yang sangat berharga tentang arti kehidupan sesungguhnya.

Abah Seorang Organisatoris

Kemudian setiap malam 17 Agustus biasanya Abah berinisiatif melaksanakan agenda malam tasyakuran atas kemerdekaan Indonesia yang biasanya acara tersebut diisi dengan pengajian di masjid yang dihadiri oleh masyarakat sekitar. Dalam pandangan saya, sikap Abah ini merupakan salah satu bentuk sikap cinta tanah air yang autentik dan mensyukuri kemerdekaan dengan tepat, yakni dengan mengenang perjuangan dan mendoakan para pahlawan dengan menghidupkan syiar di masjid bukan sebaliknya diisi dengan kegiatan kegiatan yang tidak bermanfaat.

Mulai tahun 2017, kebetulan Kampung Cisitu Lama Dago kedatangan santri yang sedang khidmat dari Pesantren Sirojul Mukhlasin Magelang, yakni ada Ust Eza Maulana Sabri dan Ust Luthfurrahman. Dikarenakan masjid saat itu mulai sepi tidak ada kajian bada Maghrib sebagaimana biasa diisi oleh Ust Deni Heriansyah, namun saat itu Ust Deni pindah tugas memimpin pesantren di daerah Cileunyi. Oleh karena itu, saya musyawarah dengan Abah untuk mengadakan kegiatan yang dinamakan studi Al Quran yang akan diisi oleh Asatidz dari Pesantren Sirojul Mukhlasin dan pesantren lainnya. Sebagaimana dugaan saya diawal, Abah pasti merestui dan benar saja Abah mendukung kegiatan tersebut dan mensuport segalanya.

Saat itu yang mengisi kegiatan studi Al-Quran ada Ustadz Misbahuddin, Lc (Pondok Pesantren Madinatul Ulum Bandung), Ust. Fadhil al-Makky (Alumnus Madrasah Shaulutiyyah Makkah), dan dari Santri Khidmat PP Sirojul Mukhlasin. Adapun pesertanya terdiri dari beberapa kalangan diantaranya siswa, mahasiswa, mahasiswi, orang tua, guru yang berasal dari beberapa daerah bahkan ada yang dari Ranca Ekek dan Majalengka. Bahkan di form pendaftaran awalnya ada yang dari luar daerah juga salah satunya Surabaya. Inilah salah satu kesan saya selama mengadakan berbagai kegiatan dengan Abah, Abah tidak pernah menolak setiap usulan dari saya, Abah selalu mengiyakan, terkadang saya malu khawatir usulan yang saya sampaikan itu memberatkan Abah. Bahkan saking tawadhunya Abah, ketika mengadakan acara pengajian kadang Abah selalu mempercayakan kepada saya berkaitan dengan tema acara, bentuk acara dan yang lainnya. Padahal dari segi pengalaman tentunya Abah sudah sangat pengalaman, karena menurut saya Abah merupakan organisator yang handal, itu bisa terlihat selama hidup Abah mengemban berbagai amanah dalam memimpin organisasi.

Kegiatan studi Al-Quran dan santri khidmat dari Pesantren Sirojul Mukhlasin saat ini sudah sampai ke generasi ke 3, generasi kedua ada Ust Taupan Naisaburi dan Ust Zainuddin Mukhtar. Generasi ketiga ada Ust Ishaq Romadon dan Ust Cahyo. Ya masa santri khidmat di kampung Cisitu Lama selesai setiap satu tahun sekali.

Abah Selalu Menghadiri Undangan Tanpa Pilih-Pilih

Abah juga sangat peduli kepada santri dan murid-muridnya, jika diundang ke suatu acara, jika sehat Abah pasti mendatanginya. Pada tanggal 20 Januari 2018, saat itu salah satu mahasiswa yang tinggal di kos Abah yang bernama Izzudin melangsungkan resepsi pernikahan di Hotel Grand Tjokro yang beralamat di jalan Cihampelas Bandung. Kebetulan acaranya dimulai ba’da Isya dan Abah saat itu berangkat bersama istrinya. Kebetulan saya biasanya dipanggil oleh ibu untuk memesankan Go Car baik pulang dan pergi, padahal kita tahu bahwa saat itu waktunya sudah malam dan Abah usianya tidak seperti muda lagi pasti beda dengan kita yang malam malam sering keluyuran. Ini merupakan salah satu momen dari sekian banyak momen lainnya yang dimana Abah jika diundang oleh murid muridnya meskipun jauh, asal Abah sedang sehat pasti mendatanginya.

 

Abah Tokoh Pemersatu Umat

Untuk urusan persatuan umat Islam, tidak ada yang menafikan lagi bagi orang orang yang pernah berinteraksi dengan Abah dan sering bertemu, Abah merupakan sosok sang pemersatu umat, wawasannya sangat terbuka sehingga jika ada dari pergerakan Islam manapun yang mau melaksanakan kegiatan di masjid, Abah selalu mempersilahkan. Itu bisa dilihat di masjid Al-Urwatul Wutsqo, masjid tersebut terbuka untuk semua golongan. Misalnya jamaah tabligh sering mabit di DKM Al-Urwatul Wutsqo, bahkan sudah dari tahun 80 an, bahkan jamaah tabligh yang pernah mabit di DKM Al-Urwatul Wutsqo terdiri dari berbagai negara dan suku bangsa, ada yang dari India, Pakistan, Bangladesh, Mesir, Australia dan beberapa daerah di Indonesia.   

Dari pengamalan ibadah sehari hari pun, masjid Al-Urwatul Wutsqo terdiri dari berbagai macam pengamalan ibadah yang diadopsi oleh berbagai ormas Islam. Bisa kita lihat kalender masjid yang dipakai adalah dari Persatuan Islam, sedangkan dari segi pengamalan ibadah ada dari tradisi Nahdlatul Ulama seperti setiap malam Jum’at Abah memimpin pembacaan surat Yasin, Ar Rahmah, al Waqiah, Al Mulk dan dzikir dzikir lainnya. Bahkan kalau ada warga yang meninggal kadang Abah sendiri yang memimpin tahlilnya. Namun dalam pelaksanaan shalat shubuh, Abah tidak memakai qunut. Inilah hal yang menarik dari sikap terbuka Abah yang tentunya dilandasi dengan wawasan yang luas.

Sementara itu, teringat saat itu sedang ramainya dikeluarkannya Perppu Ormas yang mengakibatkan dicabutnya Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia. Saat itu Abah mengumpulkan beberapa teman Abah dan asatidz di sekitar Dago untuk mengkaji dan membahas perppu ormas tersebut. Bahkan sebelum dicabut badan hukumnya, pada tahun 2013, 2014, 2015 dan 2016 Abah selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan besar yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia seperti Konferensi Islam dan Peradaban, Rapat dan Pawai Akbar, Muktamar Tokoh Umat, Masirah Panji Rasulullah SAW dan agenda lainnya.

Selain itu, Abah juga sering menghadiri agenda Ijtima Ulama yang sering diselenggarakan Jama’ah Tabligh di Bandung. Begitupun Abah sering menghadiri kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Ormas Islam lainnya seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam dan yang lainnya. Sementara itu, Abah juga merupakan seorang pembaca yang baik. Saya sering melihat abah membaca berbagai kitab, buku, majalah, koran, buletin dakwah dan media dakwah dari berbagai ormas Islam lainnya tanpa pilih-pilih bacaan.

Kemudian pada 10 februari 2019 ketika Pengajian 3 bulanan kembali diselenggarakan dalam rangka memanfaatkan momen Maulid Baginda Nabi Muhammad SAW dengan mengangkat tema Pilar Membentuk Masyarakat Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur, saat itu yang bertindak sebagai mubaligh adalah Ustadz Tatan Ahmad Santana. Dan kegiatan pengajian diisi dengar berbagai kreasi seni baik dari anak anak maupun ibu ibu. Ada hal yang menarik dalam pengajian kali ini, sebagaimana kita ketahui Ust Tatan Ahmad Santana backgroundnya dari Persatuan Islam. Namun sebelum acara inti dimulai, ibu ibu pengajian Al-Urwatul Wutsqo yang dipimpin mas Ikhyari saat ibu membacakan Barzanji yang mana hal tersebut tidak diamalkan dalam ormas Persatuan Islam. Inilah salah satu sosok Abah yang terbuka dan toleransi terhadap semua ormas Islam, sehingga bisa dikatakan Masjid Al Urwatul Wutsqo adalah masjid terbuka untuk semua golongan dan simpul persatuan umat di Dago Bandung.

Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2018

Rindu Hidup Di Bawah Naungan Syariah Islam

18 Februari 2018, saya masih ingat saat itu dilaksanakan pengajian 3 bulanan, yang mana sebelum diagendakan Abah biasanya meminta pendapat kepada saya apa tema yang akan diangkat, sebagaimana biasanya ketika saya menyampaikan suatu tema Abah tidak pernah menolak bahkan mengoreksi sekalipun, saat itu tema yang diangkat adalah “Mari memperkokoh Ukhuwah Islamiyyah dengan mempersiapkan generasi yang cinta terhadap Islam, cinta terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya”, karena memang saat itu Umat Islam Indonesia sedang diuji akan persatuan umat. Di sisi lain, Abah pun bercita cita ingin kehidupan ini diatur oleh syariah Islam secara kaffah. Itu bisa dilihat dari pengajian 3 bulanan sebelum Ramadhan 1439 H pada tanggal 12 Mei 2018 tema yang diangkat adalah Dengan Mengamalkan Ibadah Shaum Atas Dasar Iimaanan Wa ihtisaban Kita Wujudkan Syariah Islam Yang Kaffah. Narasumber yang diundang dalam pengajian 3 bulanan itu bukan hanya dari satu ormas saja, kadang yang menjadi narasumbernya ada yang background Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persatuan Umat Islam dan pergerakan Islam lainnya.

Sementara itu, pernah suatu waktu saya dipanggil Abah dan menanyakan terkait salah satu buletin yang disimpan di masjid tanpa izin yang isinya ternyata sangat tendensius dan menyudutkan serta memfitnah tanpa didasari data terhadap perjuangan menerapkan Islam dalam seluruh kehidupan. Kemudian, pernah ketika Abah baru pulang pengajian di salah satu pondok pesantren, yang pendiri pesantren tersebut adalah guru Abah yang sama-sama merindukan hidup diatur dalam tatanan Syariah. Ternyata pihak panitia pesantren tersebut mengundang salah satu mubaligh, yang ternyata isinya justru menyudutkan kepada orang-orang yang memperjuangkan Islam supaya hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Saat itu Abah kemudian menegur panitianya, dan menyampaikan bahwa pendiri pesantren tersebut adalah guru Abah dan secara ideologi menginginkan Islam sebagai aturan hidupnya.

Setelah mendengar cerita ini, saya memandang pentingnya kita mengetahui dan belajar sejarah akan para pendiri pesantren, jangan sampai karena kurangnya kita belajar sejarah yang ada akan menimbulkan kurang adab terhadap para ulama-ulama terdahulu yang dalam perjuangannya justru istiqomah dalam memperjuangkan Islam. Setelah peristiwa tersebut, akhirnya Abah berencana mengumpulkan keluarganya dan putra-putri KH. Ahmad Umar (Pendiri PPM Miftahul Khoir Bandung) supaya mengetahui sejarah secara politik dan arah perjuangan pendiri pesantren PPM Miftahul Khoir supaya kejadian yang dialami Abah di salah satu pesantren guru Abah tidak terulang di PPM Miftahul Khoir.

Senang Jika Ada Qori dan Penghafal Al-Quran

Saya masih ingat ketika thaun 2018, saat itu Abah diundang oleh panitia Seminar International Al-Quran di Sabuga ITB yang diselenggarakan oleh Indonesia Al-Quran Community binaan Syaikh Khanova Maulana, Lc. Kegiatannya terdiri dari seminar, wisuda akbar 3 program Mahir Bil Quran, Parade Tasmi’ 30 juz, Bazzar dan kegiatan-kegiatan lainnya. Mendengar acara tersebut Abah sangat senang dan hadir bersama ibu. Saat itu saya coba kontak pantianya untuk memberikan penghormatan kepada Abah supaya duduk di depan bersama tamu undangan dan tokoh, karena memang Abah merupakan Dewan Hakim MTQ di Kota Bandung. Setelah selesai acara, saya bertanya kepada ibu, bagaimana dengan acaranya, ternyata ibu menyampaikan ketika sambutan yang diisi oleh perwakilan pejabat di Kota Bandung, ternyata pejabat tersebut adalah murid Abah dahulunya.

Pada waktu lain, Ramadhan 1439 H tahun 2018, Ramadhan di Al-Urwatul Wutsqo semakin semarak, karena mahasiswa mahasiswa yang tinggal di kos Abah yang dinamakan kosan al-Ukhuwah ikut membantu kegiatan di masjid dan kerjasama dengan Pemuda Masjid Al–‘Urwatul Wutsqo. Diantara kegiatannya selain kegiatan yang biasa rutin dilaksanakan, saat itu ada tambahan seperti kajian Islam yang diisi oleh asatidz dari luar. Saat itu ada Ust. Ir. Eri Taufiq Abd Karim (Pimpinan Majelis Inspiring Al Quran Bandung), Ust. Cecep Hermawan (Pengisi Maghrib Mengaji MQ TV), dan Kang Aga (Yuk Ngaji Bandung) yang mengisi kajian Islam. Saat itu saya masih ingat, setiap kajian Abah selalu ikut mendengarkan dan Abah duduknya di belakang anak-anak. Masya Allah meskipun dari segi bacaan Al-Quran sebenarnya Abah merupakan gurunya, tetapi Abah tidak segan ikut bermajelis untuk mendengarkan bacaan Al-Quran dari Ust Cecep Hermawan, dan meminta Ust Cecep Hermawan untuk membacakan beberapa ayat yang ada perbedaan cara bacanya dan membacakan beberapa huruf yang memiliki perbedaan bacanya.

Memang kebiasaan Abah sangat senang jika ada seseorang yang bacaan Al-Qurannya bagus, Abah ingin mendengarkan bacaannya dan membandingkan dengan bacaan yang Abah terima dari guru guru Abah, terutama ketika ada beberapa perbedaan membacanya seperti bagaimana membaca mim mati bertemu ba, nun mati atau tanwin  bertemu ba, apakah bibirnya dirapatkan atau samar. Kemudian dalam pengucapan makhorijul huruf dan shifatul huruf pun Abah biasanya ingin mendengarkan dari qori lain seperti pembacaan ta, tsa, tho dan yang lainnya.

Pada tahun 2018, Alhamdulillah saya bisa sampai akhir melaksanakan shaum Ramadhan di Bandung, terutama di Masjid Al-Urwatul Wutsqo, entah mengapa tidak biasanya saya saat itu ingin full merasakan Ramadhan di Al Urwatul Wutsqo, mungkin ini sebuah isyarat bagi saya untuk memaksimalkan khidmat di hari hari terakhir Abah. Karena tahun selanjutnya pada 2019 saya tidak bisa melaksanakan secara full, karena saat itu saya sedang disibukkan dengan penulisan tesis, dan tahun 2020 nya tidak terbayangkan oleh kita semua dengan adanya covid 19 semarak kegiatan Ramadhan tidak seperti tahun tahun sebelumnya, bahkan ibadah shalat pun baik shalat berjamaah 5 waktu, shalat Jum’at dan shalat tarawih di beberapa kota dilaksanakan di rumah, termasuk di Kampung Cisitu Kota Bandung.

Sementara itu, pada tahun 2018 juga saya bisa melaksanakan shalat Idul Fitri di PPM Miftahul Khoir karena memang saya sudah berniat untuk menyempurnakan khidmat untuk guru dan almamater saya harus merasakan minimal 1 kali berlebaran di PPM Miftahul Khoir. Ketika itu saya pamit kepada Abah akan berlebaran di PPM Miftahul Khoir, entah mengapa di tahun 2018 ini perasaan saya mudah menerima untuk menghabiskan ramadhan bersama Abah dan di PPM Miftahul Khoir, berbeda dengan tahun tahun sebelunya biasanya saya selalu mudik sebelum shalat ‘Idul Fitri ke Tasikmalaya.

Sangat Peduli Kepada Sesama

Sementara itu, Abah juga sangat peduli dengan keadaan orang orang yang sedang dilanda musibah, saat itu saya masih ingat Abah memanggil saya dan menanyakan bahwa Abah mewakili DKM mau menginfakkan hartanya untuk ikut membantu saudara saudara yang ada di Palu, kebetulan bulan September 2019 negeri ini sedang berduka dengan adanya musibah gempa dan tsunami di Palu. Kemudian saya kontak Direktur Badan Wakaf Al Quran Bandung yang kebetulan saat itu juga sedang membuka donasi untuk Palu, kemudian direkturnya datang dan menghadap Abah, kemudian dana dari DKM itu diserahkan via BWA. Yaa Allah sebenarnya saya tidak sanggup lagi untuk meneruskan tulisan ini, karena begitu banyak kepedulian Abah kepada orang orang yang sedang ditimpa musibah meskipun orang tersebut jauh bahkan mungkin tidak ada hubungan darah dengan Abah, tetapi itu semua dilakukan Abah atas dasar keimanan dan ukhuwah Islamiyyah.

Peduli Terhadap Perjuangan Umat Islam di Palestina

Saya masih ingat pada tahun 2018 awal, tepatnya 29 April 2018. Saya izin pamit ke Abah, karena memang jika saya bepergian jauh biasanya saya memberitahukan kepada Abah khawatir ada kegiatan DKM yang mesti saya selesaikan, saat itu masih ingat setelah shalat Ashar, saya pamit ke Abah untuk menghadiri undangan Konferensi Pemuda Muslim Internasioal yang diikuti oleh perwakilan berbagai organisasi pemuda dan mahasiswa untuk Pembebasan Palestina dan Al Aqsha di Bandar Lampung. Saya masih ingat saat itu Abah bilang kepada saya untuk tunggu dulu jangan dulu pergi, dan saat  itu saya juga masih ingat hujan rintik rintik sore itu mulai turun, Abah pergi ke rumah Pak Aep bendahara DKM, kemudian Abah kembali lagi kepada saya dan memberikan uang untuk perjalanan saya, Yaa Allah Abah, kata Abah ini untuk bekal di jalan.

Tetiba ketika menulis ini hujan saat itu seakan tumpah ke hatiku, tidak teras bulir bulir bening pun mengalir di pipiku, Yaa Allah saya menjadi saksi akan keberpihakan Abah terhadap perjuangan untuk membebaskan Al Aqsha dan Palestina, mudah mudahan ini menjadi bukti dan saya menjadi saksi ketika Engkau bertanya kepada Abah nanti akan sikapnya terhadap kiblat suci pertama umat Islam yang sedang dijajah oleh Zionisme Israel bisa meringankan beban Abah di hari kiamat.

Bangga Mendengar Santrinya Sukses Dan Sedih Jika Ada Yang Kesusahan

Sebelum itu, pada 26 Maret 2018. Saya pun izin pamit kepada Abah, saat itu kebetulan saya ada kegiatan Student Backpakker berupa International Claas, Market Research dan Studi Budaya yang diselenggarakan di Singapura, Malaysia dan Thailand. Saat itu saya izin kepada Abah selama sepekan tidak ada di Bandung, Abah pun sangat senang mendengar kabar bahwa saya akan melakukan perjalanan internasional. Sebagaimana biasanya Abah akan ikut senang dan mendoakan jika ada murid muridnya yang sukses dalam beberapa bidang, tetapi tidak jarang Abah pun akan ikut menangis jika mendengar ada muridnya yang sedang mengalami kesusahan.

Hal ini pun disampaikan oleh Ust. Bambang Triyono, M.Ag. (Dewan Asatidz PPM Miftahul Khoir) dalam status facebooknya. Beliau seorang guru yang sangat tegas, tetapi sangat sayang kepada santri-santrinya, tidak jarang beliau menangis kalau mendengar kisah santrinya yang sukses karena beliau ikut bangga dan beliau pun tak jarang menangis kalau mendengar kabar santrinya kurang beruntung. Beliau sangat ketat kalau mengajar makhorijul huruf, sangat disiplin soal akhlak, tak jarang beliau terlihat seperti marah kalau melihat santri duduk kurang sopan, tetapi sesungguhnya beliau sangat sayang kepada santri-santrinya, pesan beliau yang terus terngiang-ngiang “Titip Islam Titip Islam”.

Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2019

Sangat Berbaik Sangka Kepada Siapapun

Kebaikan Abah kepada semua orang bahkan tidak mengenal suku dan bangsa, meskipun Abah sudah sepuh tetapi semangat Abah tidak kurang sebagaimana Abah masih muda. Pada 9 Februari 2019, Abah kedatangan salah seorang tamu yang mengatakan dari Kashmir, tamu tersebut sedang mencari dana di Indonesia untuk penyediaan Al-Quran bagi tunanetra, kebetulan saat itu saya menjadi penerjemah antara Abah dengan orang Kashmir tersebut. Abah sangat baik kepada semua orang bahkan sangat berbaik sangka, ditambah saat itu orang Kashmir tersebut dilengkapi dengan surat pengantar dari Yayasan di Kashmir dan surat dari PP DMI. Akhirnya saya pun ikut percaya, meskipun saya agak sedikit ragu.

Ya orang itu awalnya meminta dana untuk pencetakan Al Quran Braile 5 buah per masjid yang satu cetakannya kisaran harga 3 - 4.5 juta kalau tidak salah. Setelah saya berembuk dengan Abah, awalnya saya mengusulkan satu aja, karena masih banyak dari masjid lain yang bisa membantu, tetapi orang itu tetap bilang ingin 5, akhirnya Abah menyanggupi uang untuk cetak tiga Al-Quran braile yang diambil dari uang DKM. Ketika sudah disampaikan hanya mampu menyanggupi 3, ternyata orang tersebut melobi kembali Abah, karena memang Abah itu orangnya sangat baik kepada semua orang, akhirnya saya berinisiatif menghubungi pak Aep selaku bendahara DKM untuk datang menemui orang itu dan mencukupkan DKM Al-Urwatul Wutsqo bisa membantu 3 Al Quran saja. Akhirnya sepakat lah DKM memberikan 3 Al-Quran braile yang akan dicetak di Bandung katanya. Inilah salah satu momen dari sekian banyak momen kebaikan Abah kepada semua orang.

Semangat Dalam Menghadiri Pengajian

17 Maret 2019, sebagai seorang mubaligh rakyat, siapapun dan dari manapun datangnya undangan untuk ceramah, ngisi khutbah atau undangan untuk menghadiri acara yang diadakan oleh berbagai ormas Islam, sepanjang waktu dan kondisi kesehatannya masih memungkinkan tidak pernah ditolaknya oleh beliau, dengan segala suka dukanya. Suatu ketika Abah diundang untuk hadir dalam Agenda Tabligh Akbar yang diselenggarakan Yayasan Muslim Bandung dalam memperingati Isra Mi’raj di Pesantren Baiturrohman Cicaheum Pimpinan Prof. Dr. KH. Buya Salimudin. Meskipun usia Abah sudah sepuh dan kesehatannya sudah berkurang, nampu beliau tetap ingin menghadiri acara tersebut dan saya pun menemani Abah, nampak Abah sangat tawadhu ketika diminta panitia untuk menyampaikan sepatah dua patah kata dari seorang tokoh, namun Abah tidak menyanggupinya dikarenakan katanya sudah banyak asatidz lain yang mampu menjelaskan dan Abah sebagai peserta aja dan ini bukan terjadi satu dua kali saja, tetapi dalam beberapa kegiatan yang penulis menyertai Abah, beliau selalu memberikan kesempatan kepada yang lain untuk maju kedepan. Sekali lagi ini menunjukkan sikap sangat tawadhunya Abah, padahal beliau itu dalam pandangan penulis merupakan seorang ulama, kyai sepuh dan biasa dikatakan ayahnya kota Bandung.

Di tengah kegiatan, Abah berdiri dari tempat duduknya, dan saya kaget beliau berjalan sendirian serta tidak ingin merepotkan yang lain, kemudian saya menghampiri dan menemani beliau, ternyata Abah ingin buang air kecil, kemudian saya temani beliau namun ternyata untuk menuju ke kamar mandinya lumayan jauh, Abah mesti naik dan turun tangga. Yaa Allah saat itu saya yang menyaksikannya sangat terharu dengan perjuangan Abah, padahal sebenarnya Abah tidak usah hadir pun tidak apa apa, mengingat kesehatan dan usia Abah tidak seperti dulu lagi. Setelah buang air kecil, awalnya Abah ingin kembali hadir ke tempat acara, namun saya berinisiatif untuk segera pulang aja karena acaranya sudah mau selesai, akhirnya saya pun memesan go car untuk kepulangan beliau.

Sangat Tawadhu

Pada kesempatan lain, masih di tahun yang sama saat itu ada agenda Liqo Syawal Ulama yang diselenggarakan Yayasan Muslim Bandung di salah satu hotel di Kota Bandung. Saat itu saya diberikan kesempatan menemani Abah. Sebagaimana kebiasaan Abah, saat itu panitia mempersilahkan abah untuk duduk di depan, namun untuk kesekian kalinya abah tidak memperkenankan. Dalam agenda tersebut Abah juga bisa bertemu dengan murid lamanya di UNPAD ada Dr. H. Fahmy Lukman, M. Hum dan teman abah Dr. KH. Djadja Djahari, M. Pd. (Ketua MUI Kec. Coblong). Ketawadhuan Abah dibenarkan juga oleh Ustadz Yuana Ryan Tresna, M.Ag. (Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung) dalam status facebooknya ketika mendengar Abah wafat.

Tidak Pilih-Pilih Ngisi Khutbah

Sementara itu, saya juga pernah menemani Abah ketika ada jadwal khatib di luar. Saat itu saya masih ingat Abah ada jadwal khatib di masjid Al-Ishlah depan STKS Bandung, namun dikarenakan belum ada pemberitahuan dari DKM, Abah ragu untuk berangkat. Tetapi saat itu Abah memberanikan diri untuk berangkat, dan saya membonceng Abah pakai motor, tetiba sampainya di masjid ternyata hari tersebut merupakan jadwal khatib lain, akhirnya kami pun kembali pulang. Di sisi lain, saya juga pernah di panggil ibu untuk menemani Abah ngisi khutbah di Masjid daerah Cigadung komplek perumahan dosen Universitas Padjadjaran, saat itu saya menemani Abah menggunakan go car. Tetibanya sampai di masjid, Abah langsung menuju shaf pertama. Gaya khas khutbah Abah sangat tenang dalam penyampaiannya dan isi khutbahnya pun ringan sehingga bisa dicerna oleh jamaah. Setelah selesai, Abah tidak langsung pulang, tetapi menunggu dulu ibu yang jemput, saat itu saya menemani Abah ngobrol dengan KH. Dimyati, salah seorang sesepuh DKM dan teman Abah ketika di UNPAD.

Kemudian pada momen yang lain, saya juga diberikan kesempatan menemani Abah untuk ngisi khutbah di masjid al-Jamil di dekat Universitas Padjadjaran Dago, ketua DKM nya Dr. Harun Djuned. Saat itu kami berangkat menggunakan go car, setelah selesai shalat Jum’at pulangnya kami diantarkan oleh Dr. Harun Djuned menggunakan mobil beliau. Sesampainya di rumah, Abah mengajak saya masuk dulu dan ngobrol dengan Abah dan ibu. Ada hal yang menarik saat itu, kebetulan istri Pak Harun Djuned memberikan seikat buah buahan untuk Abah, kemudian istri Abah bertanya ini dari siapa, kemudian Abah menjawab dari istrinya Pak Harun Djuned, dari sanalah saya sedikit tertawa dengan bercandaan Abah dan ibu masalah asmara hehe. Memang Abah dan ibu sering bercanda, sesekali saya sering mendengarnya ketika berada di kamar, Abah dan ibu memang orangnya humoris tidak selalu serius, tetapi itu semua menandakan bahwa Abah dan ibu merupakan keluarga harmonis. 

Sangat Peduli Keadaan Keluarga Santrinya

April 2019, 3 tahun terakhir dari mulai tahun 2017 hingga 2019 merupakan tahun tahun dimana keluarga saya banyak diuji, salah satunya ibu saya sering masuk rumah sakit karena sakit kurang darah yang dideritanya, begitupun adik saya masuk rumah sakit karena penyakit typus. Biasanya jika ibu saya masuk rumah sakit, saya selalu bilang kepada guru guru saya untuk meminta didoakan, termasuk kepada Abah, dan Abah selalu mendoakan dan selalu minta maaf belum bisa membesuk. Namun saat itu, entah mengapa ketika adik saya masuk rumah sakit tahun 2019, Abah berangkat untuk membesuk di Rumah Sakit Immanuel Bandung bersama istrinya, padahal sudah saya sampaikan tidak membesuk pun tidak apa apa mengingat Abah kesehatannya sudah terganggu, tetapi tetap saja Abah datang bersama istrinya dan saat itu saya yang memesankan go carnya, padahal sebenarnya Abah juga mungkin bisa memakai mobil anak anaknya, namun mungkin Abah tidak mau merepotkan anak anaknya yang sedang sibuk.

Juli 2019, tidak hanya itu, selang beberapa bulan ujian kembali melanda keluarga saya, saat itu ibu saya harus dioperasi, ternyata baru ketahuan salah satu penyebab ibu saya kurang darah adalah karena wasir yang dideritanya, dan saya baru tahu salah satu penyebab wasir adalah pasca melahirkan. Yaa Allah memang benar jasa seorang ibu tidak akan tergantikan oleh apapun, oleh karena itu saya sangat berhutang budi kepada seorang perempuan yang rela pertama kali tumpah darah untuk saya, dan saya akan terus berjanji tidak akan mengecewakan beliau untuk selamanya. Saya pun menyampaikan kepada Abah minta didoakan sebelum ibu dioperasi dan Abah bilang minta maaf karena belum bisa besuk. Kemudian saya sampaikan lagi bahwa ibu sudah ada di rumah, dan saya begitu kaget ternyata Abah ingin menjenguk ibu di rumah, sekali lagi saya pun menyarankan tidak apa apa seandainya tidak menjenguk juga karena Abah mesti banyak istirahat di rumah. Tetapi ternyata tetap saja Abah berangkat bersama dengan istrinya, anak, menantu dan cucu-cucunya. Abah sampai di rumah saya sekitar Ashar, masya Allah dari tempat parkir mobil di depan dekat jalan menuju rumah saya cukup jauh, Abah mesti jalan kaki dulu sekitar 100 meter. Sore itu menuju senja saya sekeluarga sangat bahagia rumah kami bisa kedatangan ulama tawadhu seperti Abah, dan entah mengapa saat itu ibu saya meminta kepada Abah untuk berdoa dan kami pun mengaminkannya secara bersama sama.

Suatu yang tidak terpikirkan sebelumnya ketika saya masuk PPM Miftahul Khoir tahun 2013, bahwa rumah saya akan disinggahi oleh Abah bahkan didoakan sekeluarga, saat itu karena waktu sudah sore bahkan tidak terasa hujan pun mulai turun, akhirnya Abah kembali pulang dan saya pun menemani sampai samping jalan. Suasana hujan saat itu masih terasa hingga saat ini, seolah hujan sore itu tumpah ke hatiku, bagaimana kebaikan Abah jauh jauh dari dago silaturahim ke rumah saya dengan menempuh perjalanan 1 – 1.5 jam.

Tidak terasa ketika memasuki bulan Agustus 2019, saya akan menyelesaikan sidang Strata 2 dan mempertahankan tesis saya, saat itu saya bilang ke Abah dan meminta doa mudah mudahan ujian saya dimudahkan, dan Abah pun sangat bahagia dan senang mendengar saya akan sidang. Abah pun mendoakan sehingga Alhamdulillah saya bisa dimudahkan menyelesaikan ujian tersebut. Setelah sidang, 21 Agustus 2019 saya izin kepada Abah dan ini menjadi sesuatu yang berat, karena kuliah saya sudah selesai dan kedepan banyak kegiatan di luar yang mesti saya ikut seperti saya akan melanjutkan rihlah keliling beberapa daerah di Indonesia dan dengan beberapa pertimbangan lain, saya meminta izin kepada Abah untuk tidak tinggal di kos Abah, berat memang keputusan ini, tetapi entah mengapa saya berani menyampaikan dan yang luar biasanya ternyata Abah tidak menahan keputusan saya dan Abah paham dengan alasan yang saya berikan, oleh karena itu sebagai bentuk khidmat saya ke Abah dan dkm, saya sudah berjanji saya tidak akan meninggalkan kampung Abah selama Abah masih ada.

29 Septermber 2019, saat itu Ustadz Ajil Yumna Al Qurthuby akan membangun Pesantren Ashabul Yumna di daerah Bandung Barat, tempatnya cukup jauh dari Bandung, bahkan sudah mendekati Purwakarta. Ketika sampai lokasi, saya sangat kaget ternyata Abah sudah ada di lokasi bahkan dengan ibu dan jamaah pengajiannya serta Abah ikut meletakkan batu pertama pembangunan pesantren. Yaa Allah saya tidak tega membayangkan bagaimana Abah di jalan yang harus menempuh perjalanan kisaran 2 – 2.5 jam dengan menggunakan mobil, saya pun cukup kesulitan dengan menggunakan motor dengan jalan yang berkelok dan naik turun. Memang inilah kasih sayang Abah kepada murid muridnya, Abah akan datang jika diundang acara oleh murid muridnya.

Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2020

Lanjutkan S3

26 Februari 2020 Wisuda S2 UPI. Pada wisuda S1 bulan Agustus 2017, saat itu Alhamdulillah saya sekeluarga bisa silaturahim ke rumah Abah, dan Abah sangat senang mendengar muridnya menjadi sarjana. Namun saat wisuda S2 saya tidak sempat silaturahim ke Abah, dan saya sampaikan permintaan maaf dikarenakan saat itu baru selesai acara pelepasan di prodi sampai ashar dan hujan turun, sehingga kami memutuskan untuk segara pulang. Menyesal emang waktu itu saya tidak menyempatkan untuk silaturahim ke rumah Abah, namun mau bagaimana lagi waktu tidak bersahabat saat itu. Kemudian ketika saya bertemu Abah kembali di Bandung, saya menyampaikan bahwa saya telah selesai wisuda dan Abah pun senyum bahagia mendengar muridnya selesai menjadi magister, dan Abah pun langsung spontan menyampaikan kepada saya untuk melanjutkan S3 serta mendoakan.

Ketika awal tahun 2020 kedekatan saya dengan Abah semakin berkurang dikarenakan saat itu saya sudah jarang ada di Bandung dan sering bolak bolak ke beberapa daerah dalam rangka menyelesaikan beberapa tugas penelitian, meskipun begitu jika ada di Bandung saya selalu menyempatkan untuk bertemu dengan Abah. Saat itu saya dipanggil oleh ibu ke rumah untuk meyelesaikan surat berkaitan dengan jadwal pemberian konsumsi pengajian dan jadwal penulisan imam tarawih, sebagaimana biasa pagi itu saya masuk ke rumah Abah dan disediakan secangkir kopi lengkap dengan makanannya oleh ibu. Sebagaimana saya dan Abah bincang bincang terkait kesibukan saya sekarang, dan saya pun menyampaikan kepada Abah dan Abah mendoakan, dimanapun saya berada yang penting sehat.

Bincang - Bincang Terakhir Sebelum Sakit

Saya sudah berniat dari jauh hari, jika saya nanti sudah waktunya menyempurnakan agama dan akan mengucapkan janji suci dihadapan ayah seorang gadis pilihan saya, maka saya ingin yang menyampaikan khutbah nikahnya adalah Abah. Abah juga orang yang sangat paham akan asmara santrinya, saat itu Abah tidak pernah sekalipun menjodohkan saya dengan santri lainya sebagaimana biasa yang ada dalam tradisi pesantren, Abah memberikan keleluasaan kepada saya untuk memilihi pasangan. Dapat dibayangkan seandainya saat itu Abah menawarkan salah satu saudara atau santrinya, tentunya saya akan sangat berat jika menolak tawaran Abah tersebut, karena saya sangat banyak berhutang budi dengan Abah.

Ada hal yang menarik ketika bincang bincang dengan Abah saat itu, tidak biasanya setelah Abah masuk ke dalam, ada ibu ke ruang tamu tempat saya duduk dan bincang bincang lagi, biasanya ibu sering bercerita, saat itu entah kenapa saya bertanya kepada ibu terkait dengan budaya dan adat pernikahan dari beberapa daerah yang berbeda-beda, saat itu ibu bercerita tentang pernikahan saudaranya yang ada di Minangkabau, dan ibu pun bercerita dengan adat disana seperti apa, termasuk kalau disana itu justru dari pihak perempuan yang mencari laki-laki, karena ceritanya jadi kepanjangan, biasanya Abah suka negur ibu hehe saya kadang ikut ketawa juga sebenarnya jika Abah dan ibu suka bercanda hehe. Tapi tanpa disangka, mungkin itu merupakan momen terakhir saya dan Abah bisa bincang bincang lama sebelum Abah sakit.

Awal Mula Abah Masuk Rumah Sakit

Ya pada hari Kamis 12 Maret 2020 pukul 10 malam Abah masuk rumah sakit, saya baru tahu Abah masuk eumah sakit ketika mas Khomisan (salah seorang pelayan masjid) mengumumkan hari Jum’at 13 Maret 2020, Abah saat itu dirujuk ke rumah sakit Advent Bandung. Sore hari saya bersama Ust Haqi (Ketua DKM Khoiru Umma PPM Miftahul Khoir Bandung) segera berangkat besuk ke rumah sakit. Ketika saya masuk nampak Abah sedang terbaring lemah dan saya masih sempat mencium tangannya, namun saat itu Abah kesulitan untuk berbicara. Sore itu menuju senja ketika matahari mulai turun di ufuk barat seolah menemani saya menanyakan kabar Abah kepada ibu, ternyata Abah terkena struk ringan dan saat ini keadaannya belum bisa bergerak, tetapi kedepannya Abah akan dirawat dirumah saja. Tidak terasa ketika saya bincang bincang dengan ibu, nampak sinar matahari sudah tidak kelihatan, yang ada merah jingga mewarnai Bandung kala itu, ya senja sore itu seakan menambah kesakralan suasana di rumah sakit Advent antara saya, Abah dan ibu.

Namun nampaknya, tidak pernah terbayangkan sebelumnya dikarenakan covid 19 sudah menyerang Indonesia, setelah saya dari rumah sakit, hari hari selanjutnya ternyata beberapa sekolah, kampus dan perkantoran meliburkan kegiatannya dan difokuskan semuanya di rumah. Begitu cepat suasana itu berubah, sehingga saya pun harus mengambil keputusan untuk segera pulang, karena situasi kota Bandung saat itu belum tentu kebijakan apa yang akan diambil, apakah akan menerapkan lock down atau bagaimana. Sebelum pulang saya sempat menjenguk Abah di rumah, saat itu nampak Abah sedang berbaring di ranjang dan sedang tidur, saya pun sempat masuk menengok Abah dan mendoakan untuk kesembuhan Abah, pagi itu Abah sedang tidur. Saya tidak berani menatap Abah berlama lama, karena saya sangat berat menyaksikan Abah terbaring kesakitan di tempat tidur, akhirnya saya segera kembali keluar.  

Wasiat Terakhir

Selanjutnya ketika Ramadhan 1441 H mau tiba, tepatnya 1 April 2020 saya berangkat lagi ke kota Bandung, nampak suasana Bandung saat itu beda dengan Bandung yang selama ini saya kenal. Jalan-jalan protokol di Bandung saat itu yang biasanya macet menjadi sepi, beberapa toko yang biasanya ramai saat itu mendadak tutup. Setelah Szuhur saya masuk ke rumah Abah, nampak Abah sedang terbaring kaku dan ditemani oleh Pak Lukman (anak pertama Abah), ada juga ibu. Saat itu saya tidak bisa mencium tangan Abah untuk mengantisipasi dan melaksanakan protokol kesehatan. Saat itu kondisi Abah sedikit membaik, Abah sedikit mulai bisa bicara meskipun masih berat. Ketika itu, saya pun berbincang dengan pak Lukman, karena Pak Lukman menanyakan sesuatu terutama berkaitan dengan sejarah, namun di tengah perbincangan saya bercerita tentang perkembangan penelitian sejarah kesultanan di Indonesia, pak Lukman bertanya kepada Abah, siapa pelanjut ketua DKM selanjutnya. Setelah itu baru Abah berbicara, yaa Allah dengan suara yang  berat Abah memberanikan diri untuk berbicara, terutama yang membuat saya terharu saat itu Abah berbicara sambil menangis, nggak tau apa yang menyebabkan Abah menangis, yang jelas Abah saat itu menyampaikan beberapa pesan namun mohon maaf pesannya belum bisa saya publikasikan. Dan kesininya baru terbuka, ternyata bincang bincang Abah saat itu sambil menangis merupakan isyarat pesan perpisahan terakhir Abah, karena setelah itu saya belum sempat bertemu dan ngobrol lagi dengan Abah.

Setelah segala tugas dan urusan selesai, saya pun mendoakan Abah dan pamit pulang, karena saya harus segera kembali pulang ke rumah khawatir Kota Bandung menerapkan lock down. Selama bulan ramadhan saya terus menanyakan kabar tentang Abah kepada ibu, begitupun setelah bulan syawal saya masih bisa komunikasi dengan dengan ibu menanyakan kabar tentang Abah. Rabu 10 Juni 2020 saya sempat menanyakan kabar Abah kepada ibu via whatsapp dan saya sudah berniat pada hari Jumat 12 Juni 2020 untuk pergi ke Bandung, karena situasi Bandung saat itu udah agak lengang.

Detik – Detik Terakhir Sang Pelita Kembali ke Rahmatullah

Kamis, 11 Juni 2020 pagi itu saya mau berangkat ke daerah Ciwidey, namun entah mengapa pagi harinya mata saya merah tanpa sebab, tetapi saya cuek aja. Kemudian saya pun berangkat ke daerah Ciwidey karena ada suatu hal yang mesti saya pelajari di sana, ketika pukul 11.00 WIB saya buka whatsapp dari Ust Haqi, beliau menanyakan keberadaan saya apakah sedang di Cisitu, dan beliau menyampaikan bahwa Abah sedang repot, sontak saja saya seolah tidak percaya dengan informasi yang didapatkan, kemudian saya sampaikan info tersebut kepada grup alumni PPM Miftahul Khoir dan minta doanya untuk kesembuhan Abah. Ketika itu saya sudah berniat akan menjenguk Abah besok Shubuh sekalian mengajak kedua orang tua.

Namun ketika baru saja saya melaksanakan Shalat dzuhur di salah satu masjid yang ada di Ciwidey, baru saja saya membuka whatsapp begitu banyak pesan masuk baik japri maupun di grup dan telpon yang tidak keangkat, ketika saya buka pesan tersebut, Yaa Allah saya terkejut seolah dada sangat terhentak begitu sesak, seolah ada palu godam yang menghantam tepat di ulu hati, sesuatu yang hangat dan dingin mencuat dalam perut, membuat detak jantung berpacu lebih cepat serta membuat rasa sedih meluap. Innalillahi wa Inna Ilaihi Roji’uun ternyata Sang Pelita itu telah kembali ke rahmatullah pukul 11.45 WIB.

Sontak saja tanpa berpikir panjang dengan perasaan tidak karuan, saya segera berangkat ke kota Bandung. Saya segera mengejar untuk ikut berbakti untuk terakhir kalinya kepada beliau, baik ikut menyalatkan dan mengantarkan ke tempat peristirahatan yang terakhir. Ketika sedang di perjalanan, saya sempatkan untuk membuka whatsapp, ternyata beliau sudah di shalatkan, dan saya bertanya kepada salah seorang yang ada di sana ternyata 10 menit lagi beliau akan segera dimakamkan, dengan tanpa pikir panjang lagi saya segera menarik gas motor sekuat kuatnya khawatir saya tidak kebagian dan tidak bisa menshalatkan Abah.

Khidmat Terakhir

Ketika tiba di lokasi, saya segera ke masjid dan sudah banyak orang berkerumun di masjid, kemudian saya bertemu Pak Lukman putra  pertama Abah, Dr. Wildan Hanif, M.Sr. (Putra Abah), KH. Hafidzin, KH. Anwar Nuryamin, H. Iwan dan beberapa sanak keluarga Abah lainnya. Tanpa pikir panjang saya segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat jenazah, ketika saya baru selesai wudhu, benar saja untung saya tidak telat sepersekian detik ternyata shalat jenazah terakhir bagi yang belum segera didirikan, dan saat itu yang menshalatkan ada 5 orang yang dibuat 3 shaf, dan Drs. KH. Muchtar Adam (Pimpinan Pondok Pesantren Babussalam Bandung) bertindak sebagai imam.

Baru saja takbir pertama dikumandangkan, tidak terasa bulir bulir bening akan jatuh dari kelopak mata, tetapi saya tahan sekuat tenaga, bibir saya bergetar ketika membacakan surat al-Fatihah, begitu pun ketika takbir kedua ketika membaca shalawat untuk kanjeng Nabi, hingga takbir ketiga dan keempat seolah saya belum bisa menerima kenyataan bahwa saya sedang menyalatkan abah. Setelah selesai salam, saya pun mendoakan Abah dan ternyata itu adalah shalat jenazah yang terakhir, karena setelah itu jenazah segera diangkat. Saat itu saya pun sempat ikut menggotong jenazah Abah dari masjid hingga ke mobil ambulance di dekat jalan. Saya sangat bahagia bisa diberikan kesempatan untuk terakhir kalinya untuk berbakti kepada Abah.

Namun di sisi lain, saya pun sangat menyesal, ya penyesalan terbesar untuk saya adalah karena saya berada jauh dari Abah, karena saya begitu tidak berdaya terpisah puluhan kilometer dari rumah Abah yang sudah menjadi sosok guru, ayah, dan sahabat selama ini di Bandung. Sungguh saya sangat menyesal karena tidak bisa menemani saat terakhir beliau menghembuskan nafas terakhir, untuk itulah saya menangis.

Iring-iringan mobil jenazah dan para pelayat segera menuju tempat peristirahatan terakhir Abah yakni di Pemakaman Kampung Padi Cisitu. Saat itu saya berjalan kaki bersama beberapa santri alumni PPM Miftahul Khoir, ada Kang Choerudin, Kang Furqon, dan Kang Rizal. Tetibatnya di tempat pemakaman, karena saya jalan kaki, ternyata jenazah Abah sudah ada di liang lahat, segera saya merengsek masuk ke depan untuk melihat langsung pemakaman Abah, begitu mudahnya dan tidak ada kesulitan ketika prosesi pemakaman Abah, setelah papan pintu ditutup satu persatu, mulai tanah diturunkan perlahan-lahan hingga semuanya tertutup.

Dalam prosesi pemakaman, banyak juga para tokoh yang hadir ikut mengiringi diantaranya KH. Hafidzin (Pengasuh PPM Miftahul Khoir Bandung), Dewan Asatidz PP Al Falah Dago, Drs. KH. Muchtar Adam (Pimpinan PP Babussalam Bandung), Drs. KH. Anwar Nuryamin (Ketua MUI Kelurahan Dago Bandung), Dr. Sodiq Mujahid, M. Sc. (Anggota DPR RI Periode 2019-2024), Prof. Dr. Ganjar Kurnia (Rektor UNPAD Periode 2007 – 2015), Camat Coblong, Lurah Dago, tokoh-tokoh dari berbagai ormas Islam dan beberapa tokoh masyarakat lainnnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Adapun beberapa tokoh yang belum sempat takziyah, tamu terus berdatangan hingga ba’da Isya, salah satunya KH. Athon Sulthoniyyah (Pimpinan PP Manarul Huda Bandung) takziyah ke keluarga Abah ba’da Maghrib. Sementara itu, banyak juga karangan bunga yang mewakili beberapa instansi berjejer di depan rumah Abah. Seandainya bukan dalam situasi pandemic covid 19, tentu akan lebih banyak lagi tokoh ulama, tokoh masyarakat, dan jamaah lainnya yang ikut takziyah dan mengantarakan jenazah Abah ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Kesaksian Drs. KH. Muchtar Adam 

Sebelum pulang, Drs. KH. Muchtar Adam diminta oleh pihak keluarga untuk menyampaikan sedikit pesan pesan dan nasihat kepada pelayat. Adapun yang pertama disampaikan yakni terkait masalah hutang piutang, jika Abah memiliki hutang silahkan bisa disampaikan kepada putra putri beliau. Namun seingat saya, justru Abah itu orangnya sering ngasih uang kepada siapapun, saya kira Abah pasti tidak punya hutang. Kemudian sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat hadis Nabi SAW, jika ada orang yang meninggal maka sampaikanlah kebaikan-kebaikannya. 

Menurut kesaksian Drs. KH. Muchtar Adam, Abah itu merupakan seorang cendekiawan dan ulama, dan Drs. KH. Muchtar Adam menjadi saksi utama bahwa Abah merupakan sosok ulama. Setelah selesai doa, saya tidak segera pulang, tetapi saya duduk di dekat pusara istri pertama Abah yang bernama Ibu Hj. Siti Komariah yang wafat terlebih dahulu, saya doakan beliau, teringat beberapa tahun ke belakang kenangan saya bersama istri pertama Abah, istri pertama Abah kelahiran limbangan Garut, menurut saya istri pertama Abah merupakan ahli Al-Quran juga, kemana mana ibu selalu membawa Al-Quran, dan ibu sering menghadiri pengajian juga.

Sore itu sebagaimana biasa hari Sabtu, saya berangkat ke rumah Abah untuk talaqqi, namun sore itu hujan lebat membasahi langit Dago, tetapi saya tetap berangkat khawatir Abah sudah menunggu, namun ketika sudah sampai di lokasi Abahnya sedang istirahat. Kemudian saat itu saya di tahan dulu sama ibu jangan dulu pulang, ternyata ibu memberikan banyak makanan yang ada di meja kepada saya, ini merupakan salah satu momen kebaikan ibu diantara banyaknya kebaikan yang ibu selalu berikan kepada santri santrinya.

Bahkan sikap yang sangat perlu ditiru oleh perempuan lainnya dari sosok istri pertama abah ini merupakan sosok yang romantis dan cinta tulus kepada Abah, sebelum ibu wafat ibu berpesan jika nanti ibu wafat, maka Abah harus menikah lagi supaya ada yang mengurus bahkan orangnya sudah ibu tunjuk, dan istri Abah yang kedua yang sekarang ibu Hj. Neneng Rifai merupakan hasil amanat dari istri pertama Abah. Masya Allah inilah yang dinamakan cinta di atas cinta, ibu sangat tulus dan ikhlas mencintai Abah, sehingga karena cinta yang dilandasi oleh yang Maha Cinta tersebut, ibu tidak sakit hati jika Abah menikah lagi setelah kepergiannya.

Setelah dari ibu, saya pun bersimpuh dekat pusara Abah, sejenak saya usap pusaranya dan memanjatkan doa doa terbaik untuk Abah, insya Allah saya menjadi saksi bahwa Abah merupakan seorang ulama dan ahlul Al-Quran, setiap hari lisannya tidak lepas dari lantunan ayat suci Al-Quran dan dzikir, setiap ucapan dan sikapnya selalu berhati-hati supaya tidak ada yang sia-sia serta keberpihakan Abah terhadap dakwah umat tidak dipungkiri lagi, apalagi cita cita Abah ingin terwujudnya persatuan umat Islam dan lanjutnya kehidupan Islam menjadi bekal untuk generasi selanjutnya melanjutkan perjuangan dan modal kelak bagi generasi di masa depan untuk memimpin peradaban.

Sunyi Dalam Kesendirian

Setelah itu saya kembali pulang, dan melaksanakan shalat Ashar berjamaah di masjid Al-Urwatul Wutsqo, nampak ada suanan haru dan hening, seolah masjid ini kehilangan sosok ayahnya, apalagi ketika waktu Maghrib dan Isya tiba. Seolah hari itu sangat berat saya lalui, imam shalat Maghrib yang biasanya dipimpin Abah saat itu saya tidak lagi mendengar suara fasihnya bacaan Al-Quran Abah. Ba’da Maghrib saya tidak langsung pulang tetapi duduk hingga menunggu waktu Isya, ya saat itu tepat malam Jum’at, malam dimana biasanya Abah memimpin jamaah untuk membaca Al-Quran, tahlil, istighfar, shalawat dan dzikir yang lainnya, namun hari itu masjid sepi dan lengang, untuk menghibur hati saya, saya baca Al-Quran seorang diri untuk mengobati kesendirian diri ini yang ditinggalkan oleh gurunya, tidak lupa saya panjatkan doa tahlil untuk Abah. Tidak terasa adzan Isya berkumandang, shalat pun segera didirikan. Ba’da shalat saya tidak langsung pulang, saya lanjutkan dengan shalat sunnah lainnya sembari menunggu jamaah lain pulang dan saya keluar terakhir bersama mas ubed sebagai marbot masjid.

Ketika sampai di kosan, saya kembali membacakan beberapa surat Al-Quran, doa tahlil untuk Abah, ya malam Jum’at saat itu adalah malam pertama Abah di alam kubur. Ketika saya memanjatkan doa doa terbaik untuk Abah, tidak terasa bulir bulir bening tumpah dari kelopak mata membasahi pipi, saya pun tidak mampu menahan lagi kedustaan betapa beratnya ditinggalkan Abah, bagaimana tidak saya sangat banyak berhutang budi kepada Abah selama studi di Bandung ini, Abah bagi saya sudah bagaikan sosok seorang guru, ayah dan sahabat.

Mimpi Bertemu Abah

Malam itu saya berdoa kepada Yang Maha Kuasa, supaya saya bisa bertemu Abah walaupun hanya dalam mimpi, karena perjumpaan saya dengan Abah sebelum ramadhan seolah membuat diri ini menyesal ketika bulan syawal saya belum sempat sowan kepada Abah, ketika dalam heningnya malam saat itu, tidak terasa saya pun tertidur. Sebelum bangun, benar saja tanpa disangka sebelumnya, Allah SWT mengabulkan doa saya, saya bermimpi bertemua Abah, memang mimpi tersebut tidak begitu lama, tetapi sangat bermakna dan berkesan bagi saya. Dalam mimpi tersebut Abah menyampaikan 3 pesan kepada saya, salah satu pesannya yang ketiga adalah teruskan menulisnya, ya akhir akhir ini saya sedang belajar menulis, terutama menulis biografi para ulama ulama sholeh.

Oleh karena itu, yang memberanikan diri saya menulis tentang kebersamaan dengan Abah, salah satunya lewat mimpi tersebut, karena Abah itu orangnya sangat tawadhu, tidak ingin diketahui biografinya, dan itu yang dilakukan kebanyakan ulama lainnya, tidak ingin dirinya dipublikasikan kepada khalayak ramai, begitupun dengan tulisan ini, sebenarnya pasti Abah tidak mau dipublikasikan, namun karena saya ingin mengikuti apa yang tercantum dalam hadis Baginda Nabi Muhammad SAW bahwa jika seseorang sudah meninggal dunia, maka sampaikanlah kebaikan kebaikannya, maka tidak ada alasan lagi bagi saya untuk tidak mempublikasikan kebaikan-kebaikan Abah selama ini.

Hari – Hari Berat Kulalui

Selang beberapa hari pasca kepergian abah, setiap saya shalat di masjid Al-Urwatul Wutsqo dan melalui lorong lorong jalan sekitar Cisitu yang biasanya dulu dilalui bersama Abah, tidak terasa saya sangat berat melaluinya seolah kenangan-kenangan indah bersama Abah teringat kembali, seolang Abah masih hadir di tengah tengah kita. Begitupun ketika saya shalat di Masjid Al-Urwatul Wutsqo, saya masih membayangkan ketika shalat akan dilaksanakan biasanya saya melihat Abah membuka pintu mihrob, begitu pun ketika abah keluar melewati lorong masjid sebelah kanan,abah membuka pintu gerbang dan suara terompah abah, yaa Allah begitu beratnya saya lalui hari hari tanpa Abah di Cisitu, karena pengalaman memang tidak akan hilang, setiap saya melalui tempat tempat yang dulu dilalui bersama Abah, disana juga seolah lembaran lembaran kenangan indah bersama Abah kembali teringat.  Apalagi setelah selesai shalat Maghrib menuju Isya, pikiran saya menggembung khayali seolah masih menyaksikan Abah sedang duduk di tempat shalat imam sambil membaca Al-Quran dan berdzikir, lengkap dengan peci, sorban, gamis putih dan sarungnya. Sesekali Abah terdiam dan menghadap ke tempat jama’ah sebagaimana biasanya, kemudian memanggil nama saya dan saya mencium tangan Abah, masih teringat dibenak saya Abah biasanya bertanya kabar dan peristiwa terbaru yang terjadi di dunia Islam. Seolah obrolan bersama Abah sambil menunggu waktu Isya masih terasa dibenakku. Yaa Allah

Maaf tulisan ini tidak sanggup saya lanjutkan, jujur sebenarnya ketika proses menulis dari paragraph awal hingga akhir, hati saya begitu sangat berat ketika mengingat-ingat kembali lembaran sejarah ke belakang kebersamaan bersama Abah. Ketika lanjut dari paragraph satu ke paragraph dua sebenarnya saya tidak kuat lagi untuk melanjutkan tulisan ini, karena semakin saya lanjutkan tulisan ini, semakin nyata bahwa saya memang belum siap kehilangan Abah. Saya belum banyak belajar kepada Abah, saya belum banyak mendapatkan informasi pesan peradaban yang akan saya sampaikan kepada generasi berikutnya.

Inilah beberapa kenangan dari sekian banyak kenangan saya bersama Abah, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima dan melipatgandakan nilai pahala amal kebaikan beliau dan mengampunkan segala dosa dan kekhilafannya serta ditempatkan di tempat yang mulia di sisi-Nya. Amiin Yaa Rabbal ‘alamiin.

Selamat jalan semoga keselamatan menyertaimu wahai guruku

Yaa Allah wahai Tuhanku rahmatilah pendidik jiwa kami

 

Sudah menjadi ketetapan dan kehendak Yang Maha Kuasa

Engkau dipanggil terlebih dahulu oleh yang lebih mencintainya daripada kita.

Kelak kita akan menyusul dan bertemu kembali di tujuan yang sama.

Maktub

 

Bandung, 17 Juni 2020 (Hari ke 7 setelah kepergian Abah)

 

Ikuti tulisan menarik Tatang Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler