x

jokowi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 24 Juni 2020 12:58 WIB

Mengingat Kata Bijak Bapak Jokowi Sebelum Menjadi Presiden; Kini Faktanya Bagaimana?

Sebab situasi dan kondisi rakyat Indonesia terkini, saya jadi teringat kata bijak Bapak Presiden Joko Widodo alias Jokowi sebelum menjadi Presiden. Semoga di periode kedua kepemimpinannya, kata bijak tersebut dapat diwujudkan. Sebab, menjelang usia ke-75 tahun, hingga kini Negara Republik Indonesia telah dipimpin oleh tujuh Presiden, ternyata masih "nyaring" terdengar jerit penderitaan rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat masih menjadi calon presiden, Bapak Joko Widodo menegaskan, republik ini harus memberikan kehidupan yang lebih baik untuk rakyat serta mensejahterakan rakyat. Bagi Jokowi, demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya.

"Harapan rakyat adalah ingin agar negara menjadi maju serta rakyat menjadi sejahtera," ujar Jokowi dalam Debat Capres-Cawapres di Balai Sarbini, Jakarta, Senin (9/6/2014) yang juga dilansir dan terpublikasi di berbagai media massa nasional.

"Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya." (Joko Widodo).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat saya kembali mengingat kata bijak enam tahun lalu tersebut, yang diungkap oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), kini sebagai Presiden ke-7 Indonesia, dan sekarang sedang menjabat di periode ke-2, maka saya langsung berpikir menyoal kondisi rakyat Indonesia sekarang. Menjelang usia ke-75 tahun, hingga kini Negara Republik Indonesia (NKRI) telah dipimpin oleh tujuh Presiden, ternyata masih "nyaring" jerit penderitaan rakyat.

Terlebih, saat dunia dan Indonesia diserang wabah pandemi corona. Rakyat Indonesia semakin nyata bergelimang kesusahan dan penderitaan. Tetapi, lagi-lagi, di tengah wabah pun, negara masih dirasakan belum hadir untuk rakyat. Karena pemimpin yang diharapkan membuat rakyat hidup sejahtera, malah asyik masyuk dalam program dan tujuannya sendiri, untuk kepentingan diri, kelompok, dan golongannya, bahkan demi mengabdi dan mengikuti kemauan para "cukong".

Lebih miris, berbagai bentuk kebijakannya pun malah membuat rakyat semakin tertekan dalam penderitaan yang tak berujung . Itu mengakibatkan berbagai ketimpangan di tengah rakyat pun seolah sudah menjadi orkestra yang lazim.

Siapa yang akan menyangkal bila kondisi rakyat Indonesia masih penuh ketimpangan? Sektor mana yang sudah dapat dikatakan duduk di tempatnya dan tak timpang?

Pendidikan timpang, sosial timpang, ekonomi timpang, kesehatan timpang, kesejahteraan timpang, tata kelola timpang, dan lain sebagainya hingga kekuasaan politik pun timpang. Semua ketimpangan ini terus terjadi karena apa? Karena pemerintah dan parlemen yang dari, oleh, dan untuk rakyat, namun praktiknya jauh dari amanah.

Ironisnya, berbagai ketimpangan yang terus didera rakyat, bukannya menjadi prioritas utama untuk diatasi, namun rakyat yang terutama masih jauh dari pendidikan dan literasi. Mereka malah terus disuguhi drama-drama kehidupan yang isinya hanya skenario bangunan cerita seputar kepentingan istana, pemerintahan, dan parlemen.

Akhirnya, karena keterbatasannya rakyat hanya mampu membaca dan memahami persoalan yang di permukaan, yang muncul, yang diberitakan, diviralkan, dan diapungkan. Mereka takmemahami skenario dibalik persoalan-persoalan tersebut tujuannya untuk apa.

Padahal semua permainan yang bersumber dari istana, pemerintah, dan parlemen, sudah dirancang sedemikian rupa demi mencapai suatu tujuan "mereka", bukan untuk rakyat. Pembangunan insfrastruktur, katanya untuk rakyat, tetapi yang menikmati siapa? Untuk kepentingan dan sarana siapa? Rakyat miskin tak memakai jalan tol. Memakai pun harus bayar.

Pendidikan Indonesia terus tertinggal. Ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menggunakan uang rakyat, tapi kepentingan BUMN untuk siapa? Listrik terus menjerat rakyat. Kesehatan menjadi masalah yang terus tak berujung dengan iuran semacam upeti untuk kerajaan.

Sementara Bahan Bakar Minyak (BBM) pun terus tak berpihak kepada kantong rakyat. Kekayaan alam Indonesia lainnya juga hanya menjadi milik siapa? Lapangan kerja semakin sulit. Dan, segala hal yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, kini sudah menjadi monopoli segelintir orang.

Yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah miskin. Orang-orang terdidik pun kini menjadi pengangguran. Sektor informal yang banyak mengadopsi rakyat berpendidikan rendah pun kini diserbu rakyat berpendidikan tinggi.

Perkembangan zaman yang mengalir deras pun sulit diimbangi oleh segenap rakyat Indonesia. Rakyat gagap teknologi dan dunia digital. Karena kurang terdidik, miskin kreativitas dan inovasi. Hanya menjadi bangsa pemakai produk bangsa lain. Tak mampu menyaring budaya asing, menirunya mentah-mentah tanpa melihat kondisi dan karakter bangsa ini.

Rakyat menjadi pengguna medsos tanpa syarat. Terjebak dalam berbagai masalah. Menjadi sok tahu padahal tak membaca dan tak paham. Memaksakan diri demi bersaing meski "tak mampu". Bergaya hedonis dan kebaratan, dll.

Inilah potret sebagian besar rakyat kita hingga sekarang. Penuh ketimpangan, penuh penderitaan, meski hidup di tanah merdeka dan negara yang melimpah kekayaan alam dan isinya.

Saya senang, Bapak Presiden Jokowi pernah menulis kata bijak itu. Semoga. Aamiin.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler