x

Warga menunjukkan kondisi tanah sawah yang kering akibat musim kemarau di Kecamatan Leuwigoong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. ANTARA/Feri Purnama

Iklan

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Agustus 2019

Kamis, 23 Juli 2020 10:51 WIB

Upaya Optimalisasi Neraca Air Indonesia

Neraca Air (NA) pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan / atau Wilayah Sungai (WS) adalah hubungan / keterkaitan antara “ketersediaan atau suplai air” dan / terhadap “permintaan (demand) atau kebutuhan air” dalam 1 tahun hidrologi (musim hujan dan musim kemarau). Rumusnya: Suplai – Permintaan = Saldo + atau -. Saldo positip (surplus) mengindikasikan neraca air yang baik / sehat, sebaliknya saldo negatif (deficit) mengindikasikan neraca air jelek / tidak sehat. Realitas kondisi yang ada sekarang sebagian besar dari 128 Wilayah Sungai yang berada pada pulau - pulau di Indonesia, NA-nya pada musim hujan memberi saldo positip besar (debit alliran tersedia > dari permintaan) sebaliknya NA pada musim kemarau memberi saldo negatif (karena debit andalan < dari permintaan). Itulah kenyataan, pada musim hujan datang air berlebih sehingga kita mengalami bencana banjir dan erosi & tanah longsor yang memicu banjir bandang, sebaliknya pada musim kemarau kita mengalami kekeringan dan defisit air. Bagaimana Solusinya? Untuk meyehatkan NA tiap DAS/WS, yang berarti mengoptimalkan saldo NA agar tetap positip, mau tidak mau kita harus melaksanakan / mengerahkan dua upaya berikut: (1) meningkatkan kehandalan (dependability) suplai atau produksi air; dan (2) mengelola permintaan air dan menghemat / mengurangi pemakaian / penggunaan air (improvement in efficiency).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Neraca Air (NA) pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan / atau Wilayah Sungai (WS) adalah hubungan / keterkaitan antara “ketersediaan atau suplai air” dan / terhadap “permintaan (demand) atau kebutuhan air” dalam 1 tahun hidrologi (musim hujan dan musim kemarau). Rumusnya: Suplai – Permintaan = Saldo + atau -. Saldo positip (surplus) mengindikasikan neraca air yang baik / sehat, sebaliknya saldo negatif (deficit) mengindikasikan neraca air jelek / tidak sehat.

Realitas kondisi yang ada sekarang sebagian besar dari 128 Wilayah Sungai yang berada pada pulau - pulau di Indonesia, NA-nya pada musim hujan memberi saldo positip besar (debit alliran tersedia > dari permintaan) sebaliknya NA pada musim kemarau memberi saldo negatif (karena debit andalan < dari permintaan). Itulah kenyataan, pada musim hujan datang air berlebih sehingga kita mengalami bencana banjir dan erosi & tanah longsor yang memicu banjir bandang, sebaliknya pada musim kemarau kita mengalami kekeringan dan defisit air.

Bagaimana Solusinya? Untuk meyehatkan NA tiap DAS/WS, yang berarti mengoptimalkan saldo NA agar tetap positip, mau tidak mau kita harus melaksanakan / mengerahkan dua upaya berikut: (1) meningkatkan kehandalan (dependability) suplai atau produksi air; dan (2) mengelola permintaan air dan menghemat / mengurangi pemakaian / penggunaan air (improvement in efficiency).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, meningkatkan kehandalan suplai air. Sumber dari segala sumber air adalah hujan yang turun/jatuh setiap musim hujan (sesuai siklus hidrologi) di permukaan tanah suatu Daerah Aliran Sungai (DAS - watershed – catchment area - DTA – Daerah Tangkapan Air) dengan tutupan lahan tertentu (hutan: produksi, konservasi, lindung; perkebunan sawit, karet, coklat; atau tanah terbuka siap alih fungsi). Hujan setelah sebagian kecil menguap, ter-evapotranpirasi oleh tanaman yang ada, lalu sebagian meresap dan berinfiltrasi (tertahan atau diretensi) masuk ke dalam tanah menjadi mata air dan ada yang perkolasi masuk cekungan air tanah CAT), sisanya melimpas sebagai aliran permukaan (suface runoff) sambil menggerus tanah, membentuk alur stream, berkumpul menjadi anak sungai (tributary), kemudian menjadi sungai utama mengalir ke hilir masuk di dataran rendah / delta (dimana biasanya air dibutuhkan untuk daerah irigasi, perkotaan dan industri) menuju muara dan masuk ke laut.

Uraian di atas menampakkan bahwa perubahan kondisi tutupan (tata guna) lahan DAS amat sensitif terhadap naik dan turunnya debit aliran (keseimbangan hidrologi DAS); sesuai fenomena alamiah sub sistem hubungan antara: Hujan, kondisi DAS, dan Aliran di suatu sungai yaitu Debit puncak banjir (DPB - Qmaks), dan debit kemarau (Qmin/andalan). Rumusnya Q DPB = C.I.A dimana A luas DAS, C koefisien debit tergantung kapasitas resapan/retensi yaitu kondisi lahan DAS, sedangkan I intensitas hujan per jam. Dengan A dan I yang sama, tetapi coefisien C berubah dari misalnya semula 0,16 (ruang terbuka hijau = resapan hujan) meningkat ke 0,80 (ruang terbangun = non resapan hujan) maka DPB akan naik dari awalnya Q menjadi 5 Q.

Terlihat adanya tiga dampak merugikan dari alih fungsi lahan resapan alami menjadi tutupan perkerasan non resapan yaitu: (i) terjadi peningkatan debit-debit puncak banjir yang berarti peningkatan risiko bencana di hilir; (ii) karena rendahnya resapan / retensi air hujan maka sebagian besar dari limpasan aliran permukaan yang berasal dari hujan langsung terbuang ke laut selama musim hujan sehingga di musim kemarau debit dasar / minimum (debit andalan = DA) menjadi kecil, berujung kekeringan dan kelangkaan air baku. (iii) meningkatnya suhu karena mengecilnya evapotranspirasi akibat berkurangnya tumbuhan sehingga memicu karhulla. Oleh karena itu pengelolaan risiko kekeringan harus terintegrasi dengan perencanaan dan pengelolaan risiko banjir.

Dari uraian tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa akar masalah “peningkatan DPB” dan “penurunan Debit Andalan (DA)”, di titik tertentu di hilir sungai, adalah kerusakan hutan DAS dan alih fungsi ruang terbuka hijau, yang memicu “peningkatan limpasan aliran permukaan” sekaligus “pengecilan resapan, infiltrasi dan perkolasi air hujan”. Kalau demikian maka, kunci solusinya terletak /ada pada kondisi tutupan lahan DAS yaitu: bagaimana meminimalkan limpasan (untuk mengurangi DPB) yang berarti harus menahan atau meretensi semaksimal mungkin hujan – hujan besar yang turun / jatuh di lahan DAS (yang sekaligus akan meningkatkan DA).

Dan hal itu bisa dilakukan dengan dua kegiatan yakni: (i) melakukan reforestasi (reboisasi dan penghijauan) dan rehabilitasi lahan (program Gerhan) guna memperbaiki tutupan lahan DAS hulu supaya infiltrasi/resapan/perkolasi air hujan ke dalam tanah dapat ditingkatkan; dan (ii) penerapan prinsip Zero Delta Q (pertambahan debit nol) yaitu dengan menahan /memanen dan menyimpan air hujan dalam tandon / tampungan, dengan kapasitas / volume tertentu sesuai luas DTA nya. Kedua kegiatan tersebut di atas lazim disebut upaya non struktural / non fisik adalah sbb.:

(i) Pelaksanaan program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) DAS, mencakup: Lahan pegunungan dan tanah terjal > 40 % mutlak dilakukan pemulihan hutan lindung dan hutan konservasi, disertai upaya pencegahan erosi dan longsor dengan bioengineering untuk stabilisasi lereng, perkuatan tebing dan jalan air, serta bangunan terjun pada alur drainase alami. Pengawasan yang ketat atas eksploitasi hutan produksi sesuai aturan yang digariskan dalam konsesi. Untuk daerah yang sudah kritis upaya di atas ditambah penghentian izin hutan produksi, dan semua jenis tambang mineral dan galian C. Lahan terjal pada areal hutan jati P. Jawa, perkebunan sawit P. Sumatera dan P. Kalimantan harus dijadikan hutan lindung permanen. Harus dijalankan penegakan hukum yang keras dan tegas untuk pembalakan liar, dan penambang emas di palung sungai. Program Gerhan sangat bermanfaat mengurangi DPB, dan memelihara imbuhan untuk hidupnya kembali mata air dan cekungan air tanah.

(ii) Penerapan prinsip Zero Delta Q, on top dari program Gerhan yang dampaknya terhadap pengurangan DPB perlu waktu > 5 tahun. Mengingat penting dan mendasarnya perubahan debit aliran akibat perubahan tata guna lahan terkait pembangunan sejak awal diterbitkannya UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang diikuti PP tata Ruang Nasional dan semua Rencana Detail Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kawasan Khusus telah tercantum persyaratan prinsip Zero Delta Q. Artinya setiap pemilik tanah (perorangan), perkantoran, kompleks pendidikan&pelatihan dan atau pengembang (badan hukum): perumahan, areal industri, pusat perdagangan, bandara, perkebunan, HTI, dan kawasan pertambangan harus betul-betul bertanggung jawab membuat / membangun sarana panen / penyimpanan / tandon / embung air hujan untuk menjaga agar debit aliran yang keluar dari kawasannya tetap sama seperti sebelum adanya alih fungsi lahannya (tidak memperbesar DPB).

Untuk semua lahan kawasan DAS hulu, tengah dan hilir terlebih kawasan pesisir / pantai, selama musim hujan para pemilik atau pengelola lahan DAS, wajib melakukan upaya panen hujan dan sekaligus menyimpannya dalam tandon-tandon / embung air, supaya di satu pihak kejadian banjir di bagian hilir dapat dicegah, tetapi di pihak lain air yang ditahan/ditandon dapat sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan air baku atau diresapkan ke dalam tanah melalui sumur resapan dan bio pori, atau dilepas secara lambat laun untuk aliran pemeliharaan kualitas air di hilir.

Terlihat bahwa prinsip panen hujan disertai penyimpanan dalam tandon / embung air adalah hampir sama dengan solusi masalah banjir dan kekeringan dengan pembangunan sarana waduk banjir atau waduk serbaguna (upaya struktural fisik), hanya saja pada program “Zero Delta Q” ini, dimensi waduk atau tandon / embung air akan relatif kecil namun jumlahnya akan banyak sekali (jutaan) dengan pembiayaan pemilik lahan atau subsidi pemerintah.

Lebih rinci untuk pelaksanaan prinsip Zero Delta Q tersebut di lapangan dengan melakukan panen hujan dan pembuatan tandon-tandon air, disarankan pengaturan sebagai berikut:

(i) Untuk berbagai kawasan terbangun oleh otoritas perkantoran, kompleks pendidikan, dan pengembang, wajib memanen hujan 100 mm/hari dengan membangun tandon air (embung) sesuai luasan kepemilikannya. Kalau luasnya 25 Ha harus membuat embung volume tampungan 25 ha x 100 mm/hari = 25.000 m3.

(ii) Untuk setiap kavling perumahan perkotaan wajib memanen hujan 50 mm/hari dengan tandonan sesuai luas tanahnya, misalnya 120 m2 perlu tandon = 6 m3. Provinsi DKI dan banyak Kabupate/Kota sudah mensyaratkan pembuatan sumur resapan untuk memanen air hujan, namun manfaatnya mengurangi banjir kurang efektif karena durasi waktu hujan relatif pendek padahal karena lambatnya peresapan perlu waktu lama.

(iii) Untuk kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit wajib membangun embung panen hujan rata-rata per 500 Ha dengan kapasitas dapat memanen hujan 50 mm/hari. Volume embungnya = 250.000 m3. Kalau menguasai konsessi 500.000 Ha, berarti perlu 1000 embung atau kurang kalau ada lokasi cekungan yang memberi kapasitas embung lebih besar.

(iv) Untuk kawasan konsesi HTI wajib membangun embung panen hujan rata-rata per 500 Ha dengan kapasitas dapat memanen hujan 100 mm/hari. Volume per embung 500.000 m3. Tersirat manfaat ganda adanya embung di perkebunan kelapa sawit dan HTI yaitu tersedianya air untuk cegah karhutla.

(v) Untuk kawasan pertambangan minerba wajib membangun embung panen hujan 100 mm/hari.

(vi) Untuk kawasan perdesaan membuat tendon / embung panen hujan perorangan atau per sub dusun/dusun/desa unuk memanen hujan 50 mm/hari; sudah masuk program Kementerian Desa, PDT dan T. Selain untuk air baku rumah tangga dan pertanian padi, hortikultur dan buah-buahan, dimungkinkan manfaat ganda adanya tandon/embung air di perdesaan yaitu berkembangnya aquakultur/budidaya perikanan, dan pternakan dll.

Upaya Rehabilitasi hutan dan lahan dapat disimbolkan dengan 1 R (replant) sedangkan upaya memanen dan menyimpan air hujan dalam tandon dapat disimbolkan juga dengan 1 R (rain harvest and storage), sehingga upaya meningkatkan kehandalan suplai air dengan upaya non sturuktural non fisik, dapat disimbolkan menjadi 2 R (replant, rain harvest and storage) Kedua.

Upaya mengelola permintaan air dan menghemat / mengurangi pemakaian / penggunaan air (peningkatan efisiensi). Meliputi penggunaan air: (i) untuk Rumah tangga, (ii) untuk Perkotaan, (iii) untuk Industri, (iv) untuk Pertanian beririgasi. Untuk rumah tangga dan perkotaan menggunakan air sesedikit mungkin untuk mencuci, bilas toilet, dan mandi (reduced); dan mulai menggunakan ulang (reuse) misalnya buangan mesin cuci. Untuk air industri menggunakan sesedikit mungkin air untuk suatu produk (reduced), menggunakan ulang (reuse) dan mendaur ulang (recycle). Untuk pertanian beririgasi yang menggunakan air 70 % - 80 % dari total kebutuhan (demand), andaikan efisiensi atau penghematan katakanlah 5 %, akan menghemat air 5 juta ha x 1 l / det/ha x 5 % = 250 m3/det. Volume air yang besar sekali dapat direalokasi ke pemenuhan kebutuhan rumah tangga, perkotaan dan industri. Dalam penerapan untuk mengurangi pemakaian / penggunaan air dapat dirangkum dengan praktek sehari-hari yaitu prinsip 3 R (reduce, reuse, dan recycle) yang sudah lama kita ketahui.

Saran: (1) Untuk mencapai Optimalisasi Neraca Air Indonesia, dan Pengendalian banjir, Erosi & Tanah longsor/Banjir bandang serta Pengendalian Pencemaran Air, disarankan agar para pemangku kepentingan sumber daya air dengan suka rela turut serta merealisasikan Revitalisasi (2014) “Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air” (GN-KPA) dicanangkan 2005, yang meliputi 6 (enam) komponen: (1) Penataan ruang, pembangunan fisik, pertanahan dan kependudukan (prinsip zero delta Q); (2) Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Konservasi sumber daya air (penerapan prinsip 2 R); (3) Pengendalian daya rusak air; (4) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran; (5) Penghematan penggunaan air dan pengelolaan permintaan air (penerapan prinsip 3R) (6) Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan berkelanjutan.

Tentu saja semua hal tersebut di atas, akan bisa direalisir apabila semua warga masyarakat, anak-anak usia sekolah, rumah tangga, dunia usaha, media, komunitas terkait air, masyarakat sipil dan akademisi memiliki pengetahuan terkait (i) prinsip 2 R untuk meningkatkan kehandalan suplai air, dan (ii) prinsip 3 R untuk mereduksi permintaan / penggunaan air (demand). Untuk itu penting dilaksanakan peningkatan pengetahuan dan kapasitas semua pemangku kepentingan melalui terus menerus ikut edukasi ulang (reeducation) yang dapat disimbolkan dengan 1 R. Apabila digabungkan menjadi 1 R + 2 R + 3 R = 6 R.

Saran: (2) Untuk kebersamaan dan keserentakan dalam kerjasama dan kerja bersama dari pemangku kepentingan terkait urusan air dan pengelolaan sumber daya air, disarankan Kabinet Indonesia Maju segera menginstruksikan pelaksanaan Prinsip 6 R (Reeducation, Replant, Rain harvest and storage, Reduce, Reuse, Recycle) untuk Indonesia Maju. SEKIAN

Ikuti tulisan menarik Napitupulu Na07 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu