x

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Selasa, 12 Januari 2021 16:45 WIB Judul Artikel

Bencana Banjir, Kekeringan, dan Pencemaran, Karena Abai Perlindungan Lingkungan Hidup

Laporan kinerja RPJM 2015-2019 Kementerian LHK menunjukkan trend Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Nasional yang membaik dari 63,42 % th. 2014 menjadi 66,46 % th. 2017 dan 66,55 % th. 2019. Rumusnya, IKLH = Indeks Kualitas Udara (IKU) + Indeks Kualitas Air (IKA) + Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL). Khusus Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) yang berkaitan dengan banjir dan kekeringan juga membaik dari 58,3 % th. 2015, 56,88 % th. 2017 ke 62 % th. 2019. Walau IKLH membaik, realitas lapangan di setiap DAS / WS di Indonesia kita menyaksikan: (i) setiap musim hujan terus bertambah kejadian banjir dan tanah longsor yang dipicu oleh rendahnya IKTL, diikuti (ii) kejadian kekeringan dan deficit air yang lebih parah pada musim kemarau karena hampir semua hujan sudah terbuang ke laut sewaktu banjir. Dan (iii) Sepanjang tahun terjadi air kotor / tercemar oleh limbah cair dan padat yang berasal dari rumah tangga, kota, industri, peternakan, dan pertanian kering, yang sudah mengancam kesehatan warga. Setelah lebih dahulu menguraikan teori tentang Pengaturan Debit Banjir / Air Tinggi dan Air Rendah / Kekeringan serta Dampak Pasang Laut / Rob, yaitu perlunya memahami 7 (tujuh) prinsip yang saling terkait, tentang ekosistem Sumber Daya Alam dan / atau Sumber Daya Air (SDA); Penulis menguraikan usulan solusi mitigasi banjir, kekeringan dan pencemaran baik Upaya Struktural Fisik, maupun Upaya Non Struktural Non Fisik. Setelah itu ditutup dengan lima butir saran bagi semua pemangku kepentingan perlindungan lingkungan hidup dan SDA di Indonesia.

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Kamis, 15 Oktober 2020 22:03 WIB Judul Artikel

Sepuluh Aturan Emas Pengelolaan Risiko Banjir (10 Golden Rules of Flood Risk Management)

Dalam Undang Undang No 17 tahun 2017 tentang Sumber Daya Air (SDA), pada Bagian Keempat Pasal 35, pengertian “Pengelolaan Banjir” adalah “Pengendalian Daya Rusak Air”. Pasal 35 ayat (1) Pencegahan Daya Rusak Air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan; Ayat (3) Pencegahan Daya Rusak Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mencegah terjadinya bencana yang diakibatkan Daya Rusak Air. Penjelasan Pasal 35 ayat (3) Yang dimaksud Daya Rusak Air antara lain, berupa: a. banjir (banjir adalah peristiwa meluapnya air melebihi palung sungai atau genangan air yang terjadi pada daerah yang rendah dan tidak bisa terdrainasikan – SNI 2415-2016); b. erosi dan sedimentasi; c. tanah longsor; d. banjir lahar dingin; e. perubahan sifat dan kandungan kimiawi, biologi, dan fisika Air; g. terancam punahnya jenis tumbuhan dan/atau satwa; h. wabah penyakit; i. tanah ambles; j. intrusi, dan/atau; k. perembesan. Beberapa kecenderungan (trend) “Pengelolaan Risiko Banjir” yang berkembang di Eropa, China dan Australia ditulis oleh Sayer et.al 2012 sebagai 10 Golden Rules of Flood Risk Management. Saudara Ir. Slamet Budi Santoso Dipl. HE (Pengamat: persungaian terkait banjir, kekeringan dan pencemaran) telah menyadur tulisan Sayer et.al 2012 tersebut, dan sekaligus mengaitkannya dengan kondisi dan praktek penanganan Banjir di Indonesia. Melihat tantangan permasalahan Banjir ke depan yang semakin berat dan meluas akibat masifnya alih fungsi tutupan lahan dan hutan DAS hulu, ditambah perubahan iklim; Penulis menilai pemahaman Aturan Emas terkait Risiko Banjir ini penting sebagai referensi bagi para akademisi, tenaga ahli dan pengamat banjir di Indonesiana.

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Rabu, 30 September 2020 11:52 WIB Judul Artikel

Undang-Undang tentang Sumber Daya Air Sudah Dijiwai Keadilan Sosial, Efisiensi Ekonomi, dan Keberkelanjutan Lingkungan Hidup?

Baru-baru ini Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) (kembali) digugat ke Makamah Konstitusi (MK), kali ini oleh Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) dan Serikat Pekerja Pembangkit Jawa Barat (SP PJB), dua anak perusahaan di bawah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN - Persero). Gugatan diajukan karena mereka menilai klausula Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) telah dinyatakan inkonstitusional dengan dibatalkannya UU No 7 tahun 2004 tentang SDA, dan diberlakukannya kembali UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan, pada sidang Makamah Konstitusi tanggal 15 Februari 2015 yang silam. Tulisan ini setelah menjelaskan sejarah pungutan BJPSDA dengan dasar hukum UU N0 11 tahun 1974 di WS Citarum oleh Perum Otorita Jatiluhur tahun 1970; di WS Brantas oleh Perum Jasa Tirta tahun 1990. Kemudian penjelasan konsep dasar nilai atau harga air yaitu: (i) Bahwa air adalah unsur kunci pada lingkungan hidup yang sehat, artinya air adalah darah kehidupan dari lingkungan yang harus dirawat dan dilindungi. Dan (ii) Air adalah komoditi yang mempunyai nilai nyata yang harus dihargai dan digunakan dengan bijaksana dan hemat; yang sudah dianut di negara-negara lain. Akhirnya disimpulkan bahwa: Gugatan agar BJPSDA pemanfataan Air dan SDA untuk PLTA yang bersifat usaha komersial, dibebaskan dan disamakan dengan Pengguna SDA tidak dibebani BJPSDA dalam Pasal 58 ayat (1) adalah tidak adil secara sosial bagi rakyat Indonesia yang sudah membayar pajak sebagai sumber APBN yang digunakan untuk membiayi pembangunan sarana dan prasarana Pengelolaan SDA.

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Sabtu, 22 Agustus 2020 06:32 WIB Judul Artikel

Wujudkan Penyelamatan Air dengan Upaya Non Struktural - Praktik Prinsip 10 R oleh Pemangku Kepentingan Sumber Daya Air

Merespon timbulnya bencana banjir, kekeringan dan pencemaran di Indonesia pada tahun 2015 dalam rangka Hari Air Dunia ke 13, Presiden SBY (KIB SBY-YK) mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air GN-KPA)meliputi enam komponen kegiatan: (1) Penataan ruang,pembangunan fisik,pertanahan dan kependudukan, (2) Rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi sumber daya air, (3) Pengendalian daya rusak air, (4) Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran, (5) Penghematan penggunaan dan pengelolaan permintan air, (6) Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien, dan berkelanjutan. Untuk alasan perlunya penyelamatan air, tulisan ini menguraikan proses deforestasi sejak awal kemerdekaan, masuk ke era orde baru sampai era reformasi 2017 sisa hutan Indonesia 93,9 juta ha tetapi dengan deforestasi netto 0,48 juta ha setiap tahun, padahal luas hutan tahun 1950 besarnya 162 juta ha. Akibat deforestasi adalah lahan sangat kritis di Indonesia luasnya 48 juta ha. Berikutnya diuraikan tentang pentingnya jenis dan kerapatan hutan tutupan lahan DAS yang dapat meresapkan / infiltrasi air hujan ke dalam tanah sehingga limpasan / aliran permukaan menjadi kecil resultannya adalah debit banjir yang tidak tinggi diikuti debit andalan yang baik (Qmaks/Qmin kecil). Juga diuraian dampak negatip degradasi atau kerusakan lahan DAS yaitu Qmaks/Qmin besar sekali serta terbuangnya air ke laut waktu banjir. Diikuti uraian peluang mengubah keadaan lahan mikro DTA yang kritis dengan program rehabilitasi hutan dan lahan, dan upaya memanen hujan serta menyimpan air dalam tandon/kolam. Setelah menguraikan pengalaman manca negara tentang keberhasilan panen air hujan (rainwater harvest) dikaitkan pertanian konservasi; diuraikan simpulan solusi struktural dan non struktural mengatasi banjir, kekeringan dan pencemaran. Rangkuman tulisan adalah Penyelamatan air dengan upaya non struktural pelaksanaan 6 komponen GN-KPA yaitu dengan praktik prinsip 10 R yang terdiri dari: 1 R = Re-education untuk peningkatan kapasitas; 2 R = Replant dan Rainwater harvest and storage untuk menambah pasok air; 3 R = Reduce, Reuse, Recycle untuk nenghemat penggunaan air; 4 R = Reduce, Reuse, Recycle, Recovery untuk mengurangi pencemaran.

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Jumat, 17 Juli 2020 09:30 WIB Judul Artikel

Solusi Mengatasi, Banjir, Tanah longsor, Rob dan Kekeringan

Pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, bersama dengan pertambahan penduduk, urbanisasi dan migrasi, berakibat alih fungsi hutan dan RTH secara massif, menjadi perkotaan, daerah industri, sarana transportasi, perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, perladangan berpindah, tanah gundul dan areal pertambangan minerba & galian C. Kewajiban melestarikan fungsi lingkungan hidup dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam, menjadi tertinggal. Dampak negatif alih fungsi tutupan DAS adalah peningkatan limpasan aliran permukaan, erosi dan tanah longsor di hulu sungai sementara di di hilir sungai terjadi banjir yang menggerus tebing sungai, meluapi dataran banjir yang dihuni rakyat marginal, ditambah banjir pasang laut (Rob) karena pendangkalan muara sungai. Ada 5 prinsip sebagai elemen dasar yang saling terkait dari suatu sistem lingkungan / ekosistem Sumber Daya Alam dan / atau Sumber Daya Air, yang harus kita pahami lebih dahulu, kalau kita ingin mendapatkan solusi yang tepat dan berkelanjutan atas masalah banjir, tanah longsor dan dampak Rob serta kekeringan di Indonesia. Prinsip kesatu, terkait proses siklus hidrologi sebagai sumber air, yaitu hujan yang jatuh di DAS. Prisip kedua terkait dampak geologi, topografi dan tutupan lahan DAS terhadap proses tanah longsor, banjir bandang dan tingginya erosi dan sedimentasi. Prinsip ketiga terkait meningkatnya debit puncak banjir (DPB) 2 sampai 5 kali akibat alih fungsi tutupan DAS dari resapan menjadi non resapan. Prinsip keempat terkait probabilitas banjir dan "debit banjir rencana" pada suatu sungai. Prinsip kelima terkait banjir daerah pesisir yang diperparah oleh Rob karena penurunan tanah akiabat ekstraksi air tanah. Solusi umum, setelah memahami prinsip pertama, sampai kelima dan keterkaitannya ssl., dengan mudah kita bisa memahami dua “inti ” penanganan mitigasi risiko bahaya banjir (MRBB) dan kekeringan yakni: (a) upaya menahan atau meretensi semaksimal mungkin hujan ekstrim tertentu yang turun / jatuh di lahan DAS dengan reboisasi dan penghijauan untuk memperbesar infiltrasi/resapan/perkolasi air ke dalam tanah, lazim disebut upaya non struktural; dan (b) upaya mengatur agar sisa air hujan ekstrim yang menjadi limpasan / aliran permukaan , jelas alur perjalanannya mulai dari hulu elevasi tinggi tertentu mengalir he hilir elevasi lebih rendah sampai muara masuk ke laut secara ‘gravitasi’ atau ‘pompanisasi’ tanpa membanjiri daerah hilir, lazim disebut upaya struktural fisik. Solusi dengan Upaya Struktural Fisik; mengacu pada asal mula atau tempat turun / jatuhnya hujan dan perjalanan air yang akan menyebabkan banjir atau genangan, kita akan mudah memahami bahwa solusi MRBB secara struktural fisik di tiap DAS/Wilayah Sungai (WS), pada umumnya akan terdiri dari 4 (empat) skema penanganan yang terpisah atau berbeda satu sama lain. Dalam tulisan ini diuraikan 4 (empat) skema dimaksud dengan penerapannya untuk Penanganan Banjir Jakarta DAS Ciliwung, DAS Citarum, dll. Solusi Non Struktural. Kunci solusi mengurani DPB di hilir adalah bagaimana meminimalkan limpasan melalui upaya menahan atau meretensi semaksimal mungkin hujan ekstrim tertentu yang turun / jatuh di lahan DAS. Dan hal itu bisa dilakukan dengan dua cara yakni: (i) memperbesar infiltrasi/resapan/perkolasi air ke dalam tanah melalui peningkatan tutupan lahan DAS dengan melakukan reforestasi (reboisasi dan penghijauan) dan rehabilitasi lahan (program Gerhan); dan (ii) menahan /memanen air hujan dalam tandon / tampungan volume tertentu sesuai luas DTA nya, upayanya adalah penerapan prinsip Zero Delta Q. (Bangun Jutaan Tandon Air Hujan - Padat Karya Tunai, untuk Menambah cadangan air kemarau dan Mengurangi banjir, serta Dampak Covid 19 oleh Napitupulu Na07)

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Minggu, 5 Juli 2020 06:48 WIB Judul Artikel

Keadilan Agraria dan Peningkatan Produksi Pangan Melalui Konsesi Lahan Pertanian Luasan 10 –80 ha, kepada Badan Usaha Perorangan.

Salah satu dari 9 masalah fundamental multi dimensi bangsa Indonesia adalah “masih rendah, terbatas dan timpang pembangunan dan kesejahteraan baik antar lapisan / strata masyarakat maupun antar daerah dan pulau”. Perwujudan sila ke 5 dari Pancasila yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” masih jauh dari harapan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9, bertajuk ‘Apa kabar Reforma Perhutanan Sosial’ Selasa 3/4/2018, Dalam paparan berjudul ‘Evolusi Kawasan Hutan, Tora dan Perhutanan Sosial, mengungkapkan: Ketimpangan pemberian lahan dan akses dari sektor kehutanan ini terdata sampai tahun 2017. Perbandingan ketimpangannya? Luas lahan di Indonesia yang yang sudah keluar ijin pengelolaanya adalah 42.253234 ha dari total 125.922.474 KH Indonesia. Dari 42.253.234 ha lahan yang diberikan ke swasta-masyarakat-kepentingan umum, 95,76 %-nya dilelola oleh swasta luas totalnya 40.463.103 ha. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit, dari data peta RePPProT, pada tahun 1990 luasnya 7.662.100 ha, dari data baru tahun 2015 menjadi 11.260.277 ha, berarti kenaikan rata-rata 142.000 ha/tahun. Tahun 2016 menurun sedikit menjadi 11.201.465 ha. Tahun 2017 terhadap angka 2016 meningkat drastis 25 % lebih, menjadi sebesar 14.048.722 ha. Tahun 2018 naik menjadi 14.327.093 ha, Tahun 2019 naik menjadi 14.677.560 ha. Areal usaha perkebunan kelapa sawit tersebut didominasi oleh hanya puluhan pengusaha besar swasta. Ke depan apa yang bisa dilakukan? untuk mengurangi ketimpangan penguasaan / hak kelola Pengusaha Besar Swasta (PBS) atas tanah kawasan hutan (40.463.103 ha) dan Perkebunan kelapa sawit (14.677.560 ha), totalnya 55.140.663 ha setara 29,5 % luas daratan Idonesia 187.000.000 ha. Penulis menyarankan Solusi pengurangan ketimpangan secara bertahap, namun sekaligus bisa menangani permasalahan besar lain yaitu kemandirian pangan Indonesia yang sangat lemah / rapuh karena terkendala terbatasnya ketersediaan lahan garapan. Pada kesempatan ini diusulkan untuk Ekstensifikasi Pertanian pangan dengan membuka daerah irigasi (DI) Baru dengan Pola Pertanian Pangan UKM. Strateginya membangun Lima Pilar Pertanian Beririgasi Modern di luar P. Jawa meliputi: P1: Penyediaan air irigasi; P2: Pembangunan infrastruktur irigasi baru; P3: Pencetakan sawah baru petakan besar yang sesuai mekanisasi pertanian untuk para UKM dengan konsesi lahan 30-80 ha; P4: Mempersiapkan sistem pengelolaan irigasi; P5: Membangun sistem konsesi UKM pertanian mekanisasi padi komersial terpadu, mulai tanam, panen, sampai siap dipasarkan. Untuk keadilan agraria dan sekaligus penyediaan lahan garapan daerah irigasi baru, juga untuk lahan peternakan dan perikanan terlihat 2 kemungkinan yakni: (i) Mengatur pemberian puluhan ribu konsesi lahan luasan kecil 10 ha untuk peternakan, perikanan, hortikultur (mix farming), serta luas 30 - 80 ha untuk irigasi baru. Sebagai tahap pertama memanfaatkan cadangan areal untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 4,1 juta ha, diberikan konsesi 30 tahun kepada badan usaha perorangan; dan (ii) Mengubah konsesi sawit lama yang habis masa konsesinya menjadi konsesi 30 tahun UKM sawah beririgasi 30 ha - 80 ha.

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Kamis, 25 Juni 2020 08:15 WIB Judul Artikel

Neraca Pangan Provinsi dan Nasional Perlu untuk Merumuskan Strategi Peningkatan Produksi Pangan Jangka Panjang

Salah satu dari 9 masalah fundamental bangsa Indonesia adalah kerapuhan kemandirian pangan, dengan impor gandum, beras, kedel, jagung, susu dsb, menelan devisa besar US$ 8,33 miliar setara Rp 100 triliun/tahun.Untuk menjembatani kondisi pangan nasional yang tertera di Neraca Pembayaran Indonesia dengan kondisi ketersediaan pangan per provinsi guna optimasi logistik pangan, sangatlah tepat apabila dapat disusun Neraca Pangan tiap provinsi yakni, “laporan atau catatan sistematik tentang keseimbangan antara produksi komoditi pangan terhadap konsumsi (kebutuhan) dalam kurun waktu satu tahun”. Catatan Neraca Pangan yang menerus, bermanfaat memberi gambaran ketersediaan pangan apakah surplus atau deficit secara periodik dari tahun ke tahun. Struktur Neraca Pangan (komoditi tertentu): Produksi – Konsumsi (Kebutuhan) = Ketersediaan (surpus atau defisit) = Ekspor atau Impor.adanya Neraca Pangan tiap provinsi yaitu untuk membantu Pemerintah Pusat dan tiap Pemda Provinsi guna mengambil keputusan dalam penyusunan program pembangunan pertanian pangan yang lebih tepat pada masa mendatang. Tulisan ini memberi contoh penyusunan RPJP 20 tahun infrastruktur irigasi untuk Provinsi Maluku. Di akhir tulisan disarankan Bappenas dan K/L terkait menyusun perumusan Pengembangan Irigasi RPJP 2024-2045 dengan sasaran surplus produksi beras untuk ekspor dan substitusi impor gandum pakan ternak. Sebagai referensi dapat digunakan studi serupa yang pernah dilakukann di Indonesia.

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Sabtu, 30 Mei 2020 16:45 WIB Judul Artikel

Bangun Jutaan Tandon Air Hujan-Padat Karya Tunai, untuk Menambah Cadangan Air Kemarau dan Mengurangi Banjir, serta Dampak Covid 19

Pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi berakibat terjadinya alih fungsi hutan dan ruang terbuka hijau secara masif menjadi: perkotaan, permukiman, areal industri, perkebunan sawit, kawasan pertambangan minerba dan galian C, berbagai sarana transportasi, perladangan berpindah dan lahan gundul kritis terlantar; telah berujung terjadinya banjir-banjir besar di musim hujan,diikuti kekeringan dan kelangkaan air di musim kemarau, serta air kotor / tercemar oleh limbah cair dan sampah yang menyumbat sungai dan drainase sepanjang tahun. Mengatasi masalah ini sekarang pemerintah sedang giat-giatnya membangun banyak bendungan/waduk banjir dan serbaguna bersamaan dengan merehabilitasi hutan dan konservasi lahan (gerhan). Namun upaya gerhan dan bangun waduk-waduk tersebut belum optimal menurunkan debit puncak banjir DPB) yang membesar/meningkat menjadi 5 (lima) kali debit (Q) sebelum alih fungsi tata guna tanah. Untuk mengantisipasi dampak alih fungsi tata guna lahan ini peraturan perundang-undangan terkait Penataan Ruang telah memuat persyaratan prinsip Zero Delta Q (Pertambahan Debit Nol). Tulisan ini menguraikan pentingya menerapkan prinsip Pertambahan Debit Nol ini dengan membuat/membangun jutaan tandon-tandon air hujan di seluruh nusantara; untuk melengkapi dan mengoptilakan upaya yang sedang berjalan tersebut di atas, namun sekaligus dapat menyerap tenaga kerja secara padat karya bagi penduduk yang terdampak pandemi Covid 19.

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

Rabu, 20 Mei 2020 17:17 WIB Judul Artikel

Sembilan Masalah Fundamental Multidimensi NKRI

Visi 2045 Pemerintahan Jkowi-Ma'ruf Amin adalah "Indonesia akan masuk Negara maju berpenghasilan cukup tinggi Rp 320 juta/orang/tahun dengan kemiskinan mendekati nol". Banyak kalangan menilai visi itu baik, yang menjadi kekhawatiran adalah kejelasan gambaran keadaan yang diimpikan itu dan bagaimana mencapainya, mengingat realitas banyaknya masalah mendasar yang mendera NKRI sekarang. Tersimpulkan bahwa kemerosotan moral dan watak atau karakter warga bangsa yang abai aturan, dibarengi kesalahan arah, prioritas dan fokus pembangunan serta tata kelola pemerintahan yang berubah setiap ganti pemerintahan dalam 20 tahun terakhir, telah berdampak negatif terjadinya sembilan masalah fundamental multidimensi bangsa (MFMB). Sembilan MFMB meliputi: (i) Penegakan hukum yang lemah, (ii) Kemerosotan kehidupan moral dan sosial warga masyarakat dan anak-anak usia sekolah; (iii)Ancaman teroris dari para pengikut paham radikalisme; (iv) Sistem tata kelola pemerintahan dan demokrasi politik pemilu yang rumit, lambat dan korup. (v) Masih rendah, terbatas dan timpang pembangunan dan kesejahteraan baik antar lapisan/strata masyarakat maupun antar daerah dan pulau; (vi) Lemah fundamental dan daya saing ekonomi Indonesia karena praktek ekonomi yang padat ekstraksi dan eksploitasi SDAlam dengan dijual mentah; (vii) SOS tingkat kerusakan dan pengrusakan ekosistem fisik lingkungan nusantara dan/atau SDAlam berakibat Ketahanan Air Nasional Indonesia sangat rapuh. (viii) Sangat lemah Ketahanan Pangan Nasional; dan(ix) Sangat rapuh ketahanan Energi Nasional