x

perjuangan kaum perempuan

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 18 Agustus 2020 15:04 WIB

Pilkada dan Kebangkitan Istri-istri Petahana

Elite partai-partai politik tampaknya merasa senang bahwa mereka tidak perlu bersusah payah mencari calon bupati atau walikota. Jika sekarang suami yang menjabat, calonkan saja istrinya. Jalan pikirannya sederhana: pilih orang yang sudah populer, rebut sebanyak-banyaknya suara pemilih, lalu berkuasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan kepala daerah yang dijadwalkan berlangsung Desember 2020 nanti tampaknya bakal menjadi ajang kebangkitan perempuan, khususnya para istri pejabat yang sedang berkuasa atau yang lazim disebut petahana [incumbent], di dunia politik. Relatif banyak perempuan yang berhasrat meneruskan kekuasaan suaminya dengan ikut terjun berlaga di arena Pilkada nanti.

Fenomena politik kekerabatan menjadi semakin terasa ketika para istri pejabat begitu antusias menduduki kursi yang ditinggalkan suaminya. Bukan hanya anak, menantu, kakak, atau ipar yang ingin atau didorong untuk maju ke gelanggang pilkada, tetapi para istri pun menyimpan keinginan serupa. Belum jelas benar, apakah para istri pejabat tersebut maju sepenuhnya atas keinginan sendiri atau didorong suami atau dibisiki anak dan keluarga besar atau malah ditunjuk oleh partai politik tempat suaminya bergabung. Isu ini barangkali bisa menjadi topik skripsi.

Sejak lama, bahkan sejak zaman nenek moyang, kekuasaan telah mempesona banyak orang, terlebih lagi orang-orang yang pernah mencicipinya dengan duduk di kursi pejabat. Banyak hal yang membuat orang yang pernah memegang kekuasaan kemudian ingin berkuasa lebih lama. Mulai dari alasan yang terlihat mulia seperti ingin mengabdi lebih lama kepada nusa bangsa, hingga yang beraroma narsistik semisal karena menikmai diperlakukan secara hormat di berbagai forum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian partai politik telah mengumumkan calon-calon yang akan mereka usung dalam pilkada nanti. Terdapat puluhan calon kepala daerah yang ternyata adalah istri pejabat yang sedang memerintah, misalnya istri bupati. Para istri ini maju ke gelanggang pilkada setelah suaminya menjadi bupati selama dua periode, dan karena itu sang suami tidak bisa mencalonkan diri kembali. PDI-P, umpamanya, mengusung istri bupati Banyuwangi, istri bupati Sukoharjo, istri walikota Binjai, istri bupati Batanghari, istri walikota Bandar Lampung. Pada 2018, Bupati Purwakarta terpilih (kader Golkar) adalah istri Bupati yang berkuasa selama dua periode sebelumnya.

Kekuasaan jangan sampai terlepas kepada orang lain, barangkali begitu yang terlintas di benak suami-isteri pejabat ini. Istri bupati masih punya hasrat politik untuk maju dan jika menang satu periode, ia masih berhak untuk maju kembali. Dengan matematika sederhana saja, jika suami menjadi bupati selama dua periode lalu dilanjutkan oleh istrinya selama dua periode, berarti pasangan suami-istri ini telah berkuasa selama 20 tahun di wilayahnya. Apa lagi jika kemudian anak atau menantunya maju untuk menggantikan ibu atau mertuanya, dan kemudian menang dua periode. Bayangkan, 30 tahun bro—nyaris sama lamanya dengan kekuasaan Orde Baru!

Apakah praktik politik seperti ini bagus bagi perkembangan demokrasi yang sehat? Rasanya tidak juga, sebab sirkulasi kepemimpinan di suatu wilayah berputar di antara orang-orang yang tinggalnya satu rumah: ayah, ibu, anak, menantu, mungkin ipar atau besan. Orang lain tidak akan mudah menerobos masuk untuk mengambil peluang menjadi calon bupati atau walikota.

Tampaklah jelas bahwa yang mereka pikirkan bukanlah kemajuan demokrasi dan sirkulasi kepemimpinan yang sehat di tengah masyarakat, melainkan kelanggengan kekuasaan. Pilkada maupun pil-pil lain di tingkat nasional kemudian direduksi dan digampangkan sebagai bersaing untuk menang dan kemudian berkuasa.

Elite partai-partai politik tampaknya juga merasa senang bahwa mereka tidak perlu bersusah payah mencari calon bupati atau walikota. Jika sekarang suami yang menjabat, calonkan saja istrinya. Begitu pula sebaliknya. Jalan pikirannya sederhana: pilih orang yang sudah populer, rebut sebanyak-banyaknya suara pemilih, dan kemudian berkuasa.

Di mata elite partai, istri petahana memiliki modal yang diperlukan untuk terpilih. Sebagai istri bupati, ia sering mendampingi suaminya bertugas, menghadiri acara-acara pemerintahan seperti peresmian sekolah, kerap bertemu ibu-ibu sebagai Ketua Pembina PKK, dan seterusnya. Maknanya, ia sudah dikenal warga dan tidak perlu diperkenalkan lagi. Sebagai ibu bupati, ia sudah populer. Sepanjang periode kekuasaan suaminya, sepanjang itu pula sang istri telah berkampanye secara tidak resmi melalui aktivitasnya sebagai istri pejabat. Inilah keunggulan politik (political advantage) yang dimiliki istri pejabat yang berhasrat melanjutkan kekuasaan suaminya. Lalu, bagaimana kompetensinya sebagai orang nomor satu di kabupaten atau kota? Tidak perlu pusing, sudah ada staf ahli yang memikirkannya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler