x

Pesawat N250 karya Presiden RI ketiga, BJ Habibie di PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Rabu, 11 September 2019. N-250 adalah pesawat penumpang sipil (airliner) regional komuter turboprop rancangan asli IPTN yang sekarang menjadi PT Dirgantara Indonesia. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 23 Agustus 2020 06:36 WIB

N250 Dimuseumkan dan Imajinasi Habibie yang Tak Terjangkau

Menyaksikan foto tubuh pesawat N250, yang diusung dengan truk trailer dari Bandung, tiba di halaman Museum Dirgantara di Jogjakarta, seorang netizen dengan nada getir menulis di kolom komentar media online: “Paling gak... kita ‘pernah’ punya pesawat terbang karya anak bangsa...” Itulah salah satu kesaksian warga terhadap pesawat terbang asli 'made in' Indonesia yang dihentikan lajunya oleh IMF ketika siap diproduksi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menyaksikan foto tubuh pesawat N250, yang diusung dengan truk trailer dari Bandung, tiba di halaman Museum Pusat Dirgantara Mandala di Jogjakarta, seorang netizen dengan nada getir menulis di kolom komentar sebuah media online: “Paling gak... kita ‘pernah’ punya pesawat terbang karya anak bangsa...” Itulah salah satu kesaksian warga terhadap keberhasilan para insinyur kita dalam merancang-bangun pesawat terbang berteknologi mutakhir ketika itu, fly-by-wire.

Meskipun hanya mampu memandang dari kejauhan, banyak rakyat yang merasa memiliki ikatan emosional dengan pesawat rancangan BJ Habibie dan dibuat oleh para insinyur Indonesia itu. Selama 25 tahun pesawat terbang asli buatan Indonesia ini dibiarkan teronggok di hanggar. Semakin nyesek menyaksikan salah satu dari dua prototipe yang dijuluki Gatotkaca itu akhirnya dimuseumkan bahkan sebelum sempat diproduksi satu buah pun di luar prototipe.

Itulah pesawat yang diimpikan Habibie akan mengarungi angkasa biru Nusantara dari satu pulau ke pulau lain. Pesawat ini dirancang untuk menjadi penghubung antarpulau yang tangguh, yang mampu mengangkut 50 penumpang. Dibandingkan pesawat sekelasnya, N250 dinilai lebih unggul. Tatkala prototipe pertama N250 berhasil terbang perdana selama 56 menit tanpa rintangan apapun pada 10 Agustus 1995, sudah direncanakan bahwa pesawat ini akan diproduksi di Bandung, Alabama, dan Stuttgart.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sayangnya, rencana produksi itu tidak pernah terwujud. Tatkala krisis ekonomi melanda Indonesia, aliran dana dari pemerintah untuk proyek N250 dihentikan sejak Januari 1998. Pemerintah terpaksa menghentikan suntikan dana ke IPTN karena IMF menetapkan syarat tersebut jika permintaan pinjaman pemerintah kepada IMF sebesar US$5 miliar ingin dipenuhi. Padahal, saat itu pesawat N250 sedang menjalani uji terbang akhir untuk memperoleh sertifikat layak terbang dari Federation Aviation Agency AS.

Campur tangan IMF terhadap urusan dalam negeri Indonesia menjadi demikian jauh. Boleh jadi IMF melindungi kepentingan pihak tertentu yang tidak ingin industri dirgantara Indonesia berkembang. Seorang netizen menulis komentar tentang N250: “Salah satu saksi bisu bangsa saat ‘dijajah’ tanpa perang oleh IMF.” Macetnya perkembangan industri dirgantara memang membuahkan peluang bagi pihak-pihak yang menikmati rente dari mendatangkan pesawat dari berbagai negara. Jika kebutuhan pesawat antarpulau dapat dipenuhi oleh IPTN (yang kemudian menjadi PT Dirgantara Indonesia), maka keuntungan itu akan lepas.

Bagi mereka, mengimpor apapun (bukan hanya pesawat terbang) dianggap cara termudah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia daripada bersusah payah membangun kemampuan sendiri. Jangankan pesawat yang teknologinya tinggi, bahkan kebutuhan yang sudah mampu dihasilkan sendiri, impor sering jadi pilihan: beras, kedelai, sapi, garam, bahkan pacul! Tak ada swasembada pangan yang kerap digembar-gemborkan dalam kampanye pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden. Andaikan para insinyur ini didukung, mereka mungkin saat ini sudah mampu membuat pesawat tempur sendiri, bukan mengimpor jet tempur bekas yang sudah dipakai negara lain selama puluhan tahun dengan harga Rp 1,84 triliun per unitnya. Tragis, bukan?

Sukar untuk memahami mengapa triliunan rupiah digelontorkan untuk proyek-proyek instan yang lazimnya juga berumur pendek, namun proyek strategis berjangka panjang dibekukan dengan alasan menghabiskan biaya padahal itulah jalan untuk membangun kemandirian. Barangkali ini memang bukan hanya masalah memenuhi hasrat menimbun rente dengan cara mudah dan cepat, namun yang lebih mendasar ialah pendeknya imajinasi para pengambil keputusan kita. Bagi mereka, imajinasi Habibie barangkali memang tidak terjangkau. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB