x

Sekelompok warga melintasi Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, memakai masker antisipasi wabah virus corona. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Iklan

A. Zamroni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Agustus 2020

Kamis, 27 Agustus 2020 06:03 WIB

Memasukkan Wabah Penyakit sebagai Ancaman Terhadap Sistem Pertahanan Negara

Pandemi Covid-19 di Indonesia tak kunjung selesai. Penanganannya kurang terkoordinasi dan terprogram secara baik. Itu akibat dari bahwa wabah penyakit tidak/belum dikategorikan sebagai ancaman terhadap negara. Hal ini sangat mungkin terkait dengan doktrin dan sistem pertahanan negara yang selama ini dikenal adanya ATHG, yakni ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Menurut UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, ancaman terhadap negara meliputi ancaman militer dan ancaman nonmiiter.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah enam bulan berlalu, tak dapat dibantah bahwa serangan (pandemi) Covid-19 memang nyata, berbahaya, dan mematikan. Sejak berjangkit di Indonesia pada awal Maret 2020 silam, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 100 ribu warga negara Indonesia (WNI) serta membunuh lebih dari 5.000 lainnya. Sampai dengan tanggal 26 Agustus 2020, WNI yang positif terinfeksi Covid-19 sebanyak 160.165 orang, sementara jumlah WNI yang meninggal dunia akibat serangan virus dari Wuhan, China, ini mencapai 6.944 orang.

Dari hari ke hari, jumlah kasus warga yang positif terinfeksi Covid-19 terus bertambah. Pertambahan kasusnya juga cenderung berlangsung mengikuti deret ukur, yakni rata-rata jumlah pertambahan kasus setiap harinya cenderung meningkat terus. Baik jumlah warga yang positif terinfeksi dan suspek maupun yang meninggal dunia tampaknya masih akan terus bertambah setiap hari tanpa kita bisa memperkirakan kapan kita akan mampu mengendalikan dan menghentikannya.

Tidak hanya berbahaya dan mematikan secara fisik dan biologis bagi manusia, Covid-19 juga terbukti berbahaya dan mematikan bagi hampir semua aktivitas penting manusia. Pada awal periode berjangkitnya virus ini di Indonesia (Maret-Juni 2020), untuk keperluan pencegahan dan penanggulangan penularan, semua aktivitas warga di luar rumah sangat dibatasi. Dari kegiatan bekerja untuk mendapatkan penghasilan, perdagangan, industri, perayaan hari raya agama, hajatan pernikahan, pergelaran seni budaya, pariwisata, kompetisi olahraga, hingga ibadah yang sifatnya massal sangat dibatasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akibatnya, hampir semua atau sebagian besar aktivitas warga, perusahaan, pelayanan publik, lembaga pendidikan, dan sebagainya mengalami kevakuman dan menjadi kolaps. Semua sekolah diliburkan; banyak perusahaan merumahkan dan mem-PHK karyawannya untuk kemudian bangkrut; hampir semua hotel, mall, restoran, warung makan, pasar, dan tempat wisata tutup (tidak sedikit juga yang akhirnya tutup untuk selamanya); serta rumah ibadah dan perkantoran kehilangan penghuni. Di tengah “pingsan”-nya aktivitas masyarakat dan kelembagaan, praktis tinggal tempat pemberi pelayanan kesehatan (klinik, rumah sakit, puskesmas, dan sebagainya) yang aktivitasnya masih berjalan normal dan bahkan kebanjiran pengunjung (pasien Covid-19).

Karantina dan pembatasan sosial menyebabkan aktivitas sosial dan ekonomi nyaris lumpuh dan terhenti. Konsekuensinya, banyak kegiatan bisnis terbengkalai, aktivitas ekspor-impor terhenti, perusahaan dan warga masyarakat mengalami penurunan dan bahkan kehilangan sumber penghasilan, daya beli secara umum merosot, serta angka pengangguran dan kemiskinan meningkat. Di tengah situasi yang tidak menentu itu, masyarakat dan korporasi mengalami kesulitan untuk bangkit melakukan recovery  tanpa uluran tangan dari negara (pemerintah).

Dampak puncaknya secara nasional, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi negatif. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2020 melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2020 minus 5,32 persen. Sebelumnya, pada kuartal pertama 2020, BPS melaporkan, perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 2,97 persen, turun drastis dari pertumbuhan sebesar 5,02 persen pada periode yang sama tahun 2019 lalu.

Belum Dikategorikan sebagai Ancaman

Pandemi Covid-19 merupakan serangan virus (penyakit) global pertama yang dialami Indonesia pasca kemerdekaan, yang pencegahan dan penanggulangannya sangat sulit dilakukan serta membutuhkan waktu yang relatif sangat lama. Sebelumnya, saat masih bernama Hindia Belanda dan berada di bawah kolonialisme Belanda, Indonesia pernah dilanda pandemi serupa, yakni flu spanyol, pada tahun 1918. Covid-19 dan flu spanyol memiliki banyak kemiripan, di antaranya sama-sama menunjukkan gejala seperti influenza serta penularannya sangat cepat dan mematikan.

Menurut berbagai sumber, flu spanyol telah membunuh sekitar 50 juta penghuni bumi. Adapun menurut penelitian Prof. Siddharth Chandra, seorang direktur di Michigan State University, di Jawa dan Madura, pandemi flu spanyol kurang lebih memakan korban jiwa sebanyak 4,37 juta orang dari jumlah penduduk sekitar 60 juta orang. Kita berharap dan berdoa, korban Covid-19 di Indonesia pada tahun 2020 ini tidak sampai sebanyak itu serta waktu yang dibutuhkan untuk mengatasinya lebih cepat dan singkat.

Yang menjadi masalah adalah dengan pengalaman pernah dilanda pandemi flu spanyol dengan korban jiwa begitu banyak, kita tidak belajar dan mengambil hikmahnya untuk mengantisipasi masuk dan menyerangnya Covid-19 ke Indonesia. Data dan referensi tentang pandemi flu spanyol 1918 sudah banyak tersedia, sementara sebelum berjangkit di Indonesia pada awal Maret 2020, Covid-19 sudah lebih dahulu muncul di Tiongkok (Wuhan) pada Desember 2019. Artinya, berdasarkan pengalaman serta data dan referensi flu spanyol yang kita miliki, kita sesungguhnya masih memiliki waktu dua bulan untuk membuat langkah antisipasi dan pencegahan terhadap masuk dan berjangkitnya Covid-19 ke Indonesia.

Namun, alih-alih serius mengambil langkah antisipasi dan pencegahan, pemerintah Indonesia malah cenderung meremehkan Covid-19. Beberapa pejabat tinggi negara bahkan membuat blunder  dengan mengeluarkan pernyataan underestimited  yang sangat gegabah (di antaranya, seorang menteri koordinator mengatakan, Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia karena tak akan kuat melawan panasnya udara Indonesia). Pemerintah tidak melakukan upaya antisipasi dan pencegahan yang berarti, sampai pada 2 Maret 2020 saat ada WNI yang dinyatakan positif terinfeksi Covid-19, pemerintah dengan panik, sangat tergesa-gesa, dan kurang terkoordinasi baru melakukan tindakan yang diperlukan.

Tidak sigapnya pemerintah mengambil tindakan (antisipasi dan pencegahan) sangat mungkin terkait dengan doktrin dan sistem pertahanan negara yang berlaku di Indonesia. Dalam sistem pertahanan negara dan konsepsi bela negara di Indonesia selama ini dikenal adanya ATHG, yakni ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Menurut UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, ancaman terhadap negara meliputi ancaman militer dan ancaman nonmiiter.

Hal-hal yang masuk dalam kategori ancaman terhadap sistem pertahanan negara merupakan hal-hal yang bersifat konvensional saja. Menurut penjelasan UU Pertahanan Negara, ancaman militer terdiri atas agresi, pelanggaran wilayah oleh negara lain, spionase/mata-mata, sabotase, aksi terorisme, pemberontakan bersenjata, konflik horizontal, kekerasan berbau SARA, separatisme, dan perang saudara, sedangkan ancaman nonmiliter tidak diperinci lebih detail. Meskipun dampaknya bisa lebih dahsyat dan mematikan ketimbang semua jenis ancaman tersebut (seperti dibuktikan oleh pandemi flu spanyol), wabah penyakit (epidemi maupun pandemi) sama sekali tidak atau belum dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap (pertahanan) negara.

Oleh sebab itu, penanganan Covid-19 yang sudah telanjur menyebar di Indonesia hanya dilakukan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang itu pun tidak diimplementasikan dengan taat asas dan disiplin tinggi. Lain halnya jika epidemi dan pandemi jauh hari sudah dikategorikan sebagai ancaman terhadap pertahanan negara, maka sebelum masuk dan menyerang Indonesia, pandemi Covid-19 tentunya akan diantisipasi dan dicegah (karena dua bulan sebelumnya sudah berjangkit di negara lain) dengan upaya yang mengerahkan segenap sumber daya pertahanan dan keamanan negara. Dengan belajar dari pengalaman pandemi flu spanyol disertai dukungan UU sistem pertahanan negara, upaya antisipasi dan pencegahan terhadap Covid-19 tentunya akan dilakukan secara lebih sitematis dan konseptual daripada yang dilakukan sekarang ini.

Pandemi flu spanyol dan Covid-19 kiranya harus membuat kita sadar dan tergerak untuk melakukan evaluasi dan revisi atas jenis ancaman terhadap sistem pertahanan negara kita. Belajar dari dua kasus pandemi yang begitu mematikan dan menguras sumber daya nasional secara luar biasa itu, kita tentunya tidak akan lengah lagi untuk memasukkan wabah penyakit (terutama pandemi) sebagai ancaman terhadap pertahanan negara. Dengan begitu, kita mudah-mudahan tidak akan lagi mengalami bencana nasional yang mematikan dan membuat kehidupan nasional terpuruk untuk yang ketiga kalinya.

Allahu a’lam bissawaab.

Akhmad Zamroni, Alumnus FKIP UNS Surakarta; editor dan blogger; peminat masalah pertahanan negara

 

Ikuti tulisan menarik A. Zamroni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB