Dedi Rimantho, Guru Man 2 Makassar
Pendahuluan
Ujaran kebencian merajalela di dunia medsos. Saling serang dan provokasi lewat hoax menjadi menu sehari hari. Informasi yang tidak jelas ujung pangkal dan nilai beritanya menjadi santapan pembaca. Ucapan kebencian itu menjadikan siapapun sebagai sasaran tembak. Dari presiden, ulama, pemimpin partai, gubernur, panglima, anggota DPR, sampai rakyat biasa menjadi korbannya. Dari perusahaan sampai pribadi, tanpa ampun, tanpa etika sopan santun dan tanpa dasar hukum.
Pelaku hoax juga menyebar dari masyarakat biasa, remaja, dewasa, politisi guru bahkan ilmuwan. Hoax yang berisi ujaran kebencian menjadi ancaman pemecah belah persatuan bangsa. Presiden menjadikan hoax sebagai musuh serius bangsa.
Persoalan hoax dan ujaran kebencian mendapatkan anginnya pada pilpres 2014. Mendapat momentum ketika pemilihan kepala daerah serentak 2016/2017. Polarisasi yang diakibatkan pemilu pilpres seakan tidak sembuh seiring waktu terus berjalan. Berita saling sahut dan saling tekan datang silih berganti. Kebencian menyeruak dimana mana. Berita busuk dan caci maki di umbar dimana mana. Baik dari para pihak peserta pemilu maupun dari pihak yang bermaksud lain.
Hal itu mengakibatkan polarisasi di masyarakat. Polarisasi itu mulai dirasakan sebagai ancaman terhadap persatuan Indonesia dibelakang hari ini. Jika polarisasi ini menjangkiti kaum muda maka niscaya rasa persatuan dan kesatuan akan bubar suatu ketika. Kebinekaan yang menjadi tulang punggung berdirinya bangsa dalam ancaman. Riset dari The Wahid institute menunjukkan pola penurunan penghormatan terhadap multicultural yang ada di Indonesia.
Mampukah Sekolah menangkal ujaran kebencian?
Dalam sejarah, pendidikan menjadi sutu alat untuk melahirkan generasi yang lebih beretika. Sejarah membuktikan politik etis belanda mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Politik etis itu mengakibatkan munculnya golongan terpelajar pada masyarakat Indonesia. Sekolah berdiri di mana-mana. Sekolah yang di masa lalu hanya dimiliki segelintir orang menjadi bisa dinikmati oleh orang kebanyakan.
Golongan ini memiliki pengetahuan dan nasionalisme yang tinggi. Golongan terpelajar ini pada akhirnya sadar dan menjadi pelopor akan harga diri bangsanya dihadapan kaum penjajah. Golongan ini mendirikan organisasi dimana mana dan pada akhirnya berkolaborasi menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada tempo ini pendidikan dianggap satu media untuk penanaman tingkah laku, pada hal ini adalah semangat kebangsaan. Terbukti bahwa pendidikan mampu untuk menanamkan semangat nasionalisme.
Pendidikan secara klasik ditempatkan sebagai metode untuk menanamkan berbagai nilai nilai yang dianggap baik dalam berkehidupan kebangsaan. Sejarah telah membuktikan para pemimpin bangsa itu merupakan efek dari hasil pendidikan yang baik. Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran pendidikan/sekolah/guru dan kondisi yang menempanya pada masa lalu.
Sering dikatakan bahwa generasi 50 an adalah generasi emas Indonesia. Di masa kini tumbuh berbagai macam sekolah mulai dari tingkat taman kanak kanak hingga perguruan tinggi yang memiliki karakteistik khusus seperti SMA Taruna Nusantara, MAN Insan cendekia, dll yang memiliki maksud pembentukan karakter siswa. Disadari oleh pemimpin bangsa bahwa perjalanan bangsa memutuhkan bibit bibit yang memiliki karakternasionalis dan persatuan. Sayangnya dalam perjalanan waktu kemudian berbagai kebijakan mengubah tujuan beberapa sekolah tersebut.
Sistem yang berjalan di suatu sekolah mempunyai kesempatan untuk menumbuh kembangkan sifat pribadi anak didik sesuai yang diharapkan. Sekolah dengan infra strukturnya memiliki kesempatan yang luas untuk membentuk pribadi siswa. Pendidik memiliki hubungan aktif derngan siswa sehingga memungkinkan menanamkan karakter yang diharapkan. Hubungan guru siswa ini memiliki kemampuan yang konstruktif dalam pembentukan karaktyer siswa.
Membandingkan kondisi sarana pendidikan yang diperoleh para pendahulu kita dengan pendidikan masa kini tentu saja miris. Fasilitas pendidikan masa kini,walaupun tidak dikatakan sempurna tentu saja jika dibandingkan masa lalu bagaikan bumi dan langit. Namun sarana tidak secara otomatis berujung pada harapan yang di tuju. Kembali pada perilaku ujaran kebencian dan hoax tentu orang akan heran. Inikah yang diharapkan dengan berkelimpahannya sarana dan fasilitas pendidikan dengan buruknya tingkah laku, ucapan kebencian, anti multikulturalime, bahkan seperti anti nasionalisme.
Mudahnya setiap orang mengakses informasi mengakibat setiap orang dapat mengetahui dengan seketika kejadian yang terjadi di wilayah bumi yang lain. Media internet menjadikan setiap orang mampu mengetahui bagian demi bagian dari suatu proses yang sedang terjadi. Baik yang diberitakan secara terbuka maupun yang disembunyikan.
Kemudahan ini juga mengakibatkan setiap orang menjadi penyiar berita. Mengkomentari suatu persoalan berdasarkan persepsinya sendiri. Hal inii menjadi cikal bakal beredarnya sejumlah makian dan informasi sesat. Sekelompok orang dan golongan merasa hanya mereka yang benar. Orang seakan lupa bahwa para pendiri Negara ini mengorbankan nyawanya demi Indonesia yang multi kultur.
Barisan nisan di taman makam pahlawan menjadi bukti bahwa para pendahulu kita juga berasal dari multi etnis, agama dan daerah. Tujuan para pendiri bangsa akan suatu tatanan masyarakat berdasar pancasila menjadi kabur jika perilaku perilaku anti multikultur, inklusif, intoleransi dibiarkan marak dalam kehidupan berkebangsaan.
Reformasi 1998 menjadi starting point demokrasi . Demokrasi setelah reformasi menjadikan sekelompok orang dengan bebas mendirikan organisasi, dan dalam kerangka penanaman nilai nilai yang dianggap benar juga mendirikan sekolah sekolah. Setiap organisasi menanamkam nilai yang diyakini benar melalui pendidikan/sekolah.
Jika dimasa Orde Baru pemerintah memiliki kewajiban kontrol terhadap pendirian organisasi, setelah reformasi sebagian orang dapat mendirikan organisasi tanpa perlu berdasar pada aturan yang berlaku. Kementrian dalam negri merilis berdirinya beberapa organisasi yang terindikasi tidak menjadikan pancasila sebagai dasar organisasi.
BNPT menengarai penanaman radikalisme menjalar dari sejak dini melalui pendidikan. Kepala BNPT mengatakan bahwa terdapat indikasi penyebaran radikalisme menjalar di sekolah. Jika hal ini dibiarkan pada suatu ketika tentu kita akan menuai hasilnya. Seperti kata pepatah siapa yang menanam tentu akan menuai. Siapa menanam angin akan menuai badai.
Penanaman Budaya Lokal di sekolah sebagai upaya melawan ujaran kebencian
Apa yang harus dilakukan sekolah dalam rangka melawan ujaran kebencian? Kepedulian sekolah terhadap perubahan tingkah laku masyarakat/siswa merupakan syarat mutlak. Sekolah/guru harus mampu melihat perubahan yang terjadi. Memberi makna pada setiap pembelajaran merupakan salah satu upaya mencegah degradasi yang terjadi. Guru tampil di depan sebagai penerang dalam persoalan yang terjadi pada masyarakat.
Seakan jawaban dari hal itu sangat sederhana, namun jika hal itu tidak dilakukan maka sulit mengharapkan akan diperoleh perubahan. Kepedulian itu akan menjadi pemicu terhadap perubahan tingkah laku, terhadap kurikulum, terhadap saran dan prasarana pendukung.
Persoalan ujaran kebencian juga merupakan persoalan rasial. Persoalan rasial juga akan dipengaruhi oleh sistem sarana yang tidak memadai. Tidak dapat dipungkiri tentu terdapat persoalan pada diri pendidik itu sendiri. Apakah bisa dijamin guru mampu memahami persoalan yang terjadi sehingga malah justru menjadi bagian dari penyebar kebencian? Reformasi 1998 menghanguskan sistem saringan mental ideologi. Guru-guru yang diterima setelah tahun itu tentu beda “cita rasanya” dari guru yang masuk sebelum tahun itu.
Nilai-nilai budaya lokal harus kembali ditanamkam kepada setiap anak didik. Budaya Sulawesi selatan yang telah ada, sipakatau sipakainga sipaka lebbi, harus mulai kembali digairahkan. Sipakatau yang berarti memanusiakan manusia, sipakainga yang berarti saling mengingatkan dan sipakalebbi yang berarti mampu melihat sisi baik setiap orang. Nilai-nilai kearifan local yang saling mengingatkan dan menghormati harus kembali di hidupkan.
Bukan hanya terbatas sebagai suatu slogan namun menjadi suatu nilai yang berlaku di sekolah. Implementasinya tidak perlu dengan membuat kurikulum baru, namun dapat dengan luwes di terapkan pada beberapa mata pelajaran yang sudah ada. Pudarnya nilai kearifan local ditengarai juga sebagai penyebab menurunnya nilai penghormatan terhadap sesama terlebih terhadap yang berbeda.
Nilai kearifan lokal memberi jalan pemecahan persoalan perilaku yang terjadi di masyarakat. Kembali ke ajaran budaya local dan menggali kembali nilai kearifannya membantu bangsa kembali memperbaharui identitas perilaku dalam berkebangsaan. Jepang memberi contoh Negara yang modern dengan tantangan global yang tidak meninggalkan budaya kearifannya.
Referensu
Gambar :www.harvard.com
Ikuti tulisan menarik dedi rimantho lainnya di sini.