x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 8 Januari 2021 07:41 WIB

Blusukan dalam Gelap dan Sepi Gaya Umar

Ketika blusukan diglorifikasi untuk memperlihatkan kepekaan serta kepedulian seorang pemimpin di hadapan khalayak ramai, maka blusukan itu mengalami kekosongan bobot dan arti. Pemimpin sejati tidak membutuhkan memori publik yang dibentuk oleh citra-citra artifisial yang direkayasa sedemikian rupa agar publik terkesan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Umar bin Khattab kaget luar biasa ketika ia mendapati seorang ibu memasak kerikil di kualinya sebagai ikhtiar untuk menenangkan anak kecilnya yang menangis karena lapar. Ia semakin tertegun tatkala si ibu dengan kesal mengatakan: “Umar telah menelantarkan kami, rakyatnya.” Bergegas Umar kembali ke rumahnya dan mengangkat sekarung gandum untuk diberikan kepada si ibu. Ketika pembantunya bermaksud menggantikan Umar mengangkat sekarung gandum itu, Umar menjawab: “Jika engkau menggantikanku, bagaimana aku akan menjawab pertanyaan di akhirat nanti!”

Tak seorang pun menyaksikan kedatangan Umar ke rumah ibu itu kecuali pembantunya. Kelak kemudian Umar dikenal sebagai pemimpin yang terbiasa blusukan ke permukiman dan tempat-tempat lain untuk mengetahui keadaan rakyat yang ia diberi amanah untuk memimpin mereka. Ia berkeliling ketika gelap mulai tiba dan permukiman mulai sepi. Ia berusaha mengetahui dengan mata kepala sendiri bagaimana hidup rakyatnya. Ia tidak ingin rakyat yang miskin, fakir, papa, menganggur, jompo, serta siapapun yang nirdaya tidak diurus oleh negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi Umar, yang kelak kebiasaannya dilakukan pula oleh cucunya Umar bin Abdul Aziz, blusukan harus dilakukan sealamiah mungkin, tanpa pengawal, tanpa juru catat, tanpa menarik perhatian siapapun. Bahkan Umar, kakek dan cucu, tidak ingin blusukannya diketahui siapapun—mereka hanya membawa satu orang untuk menemani, satu orang yang mampu menjaga lisannya agar tidak bercerita kepada orang lain tentang apa yang ia saksikan perihal perilaku mereka dalam menyantuni rakyat.

Sebagai pemimpin, Umar tidak merasa berutang budi kepada siapapun. Karena itu, keputusan dan tindakannya sebagai pemimpin tidak terhambat oleh keharusan membalas jasa kepada orang lain. Bahkan ia bersikap keras kepada yang kuat—secara politik maupun ekonomi—untuk menolong kaum mustadh’afin, mereka yang nirdaya. Kepemimpinannya fokus pada mematuhi perintah Tuhan untuk bersikap adil. Ia tidak memiliki beban politik apapun, kecuali memikirkan bagaimana ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kelak.

Karena itulah, setiap kali blusukan ke kampung-kampung rakyatnya, yang dipikirkan Umar ialah bagaimana memperbaiki nasib rakyat—bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara politik, hukum, maupun sosial. Umar tidak membutuhkan memori publik yang dibentuk oleh citra-citra artifisial yang direkayasa sedemikian rupa agar publik terkesan. Apabila itu yang dilakukan, bagi Umar, blusukan telah kehilangan makna filosofisnya—yaitu mengetahui keadaan rakyat secara diam-diam dan membantu mereka secara diam-diam pula.

Ketika blusukan diglorifikasi untuk memperlihatkan kepekaan serta kepedulian seorang pemimpin di hadapan khalayak ramai, maka blusukan itu mengalami kekosongan bobot dan arti. Umar tahu benar tentang hal ini, karena itu ia selalu melakukannya secara diam-diam hanya ditemani seorang pembantu tepercaya yang tidak akan menceritakan kepedulian pemimpinnya kepada rakyat. Sebagai teman perjalanan, pembantu ini menjadi saksi betapa Umar menangis—alih-alih marah—tatkala mendengar ungkapan kekesalan seorang ibu kepada dirinya sebagi pemimpin.

Umar langsung bertindak, mengantarkan sekarung gandum kepada si ibu, yang ia pikul sendiri di atas pundaknya. Umar tak memerlukan kilatan cahaya, tak membutuhkan orang lain untuk menyaksikan kepeduliannya sebagai pemimpin, dan ia tak memerlukan drama. Menjadi pejabat publik sudah menjadi beban berat bagi dirinya, dan Umar tak ingin menambah beban itu dengan hasrat ingin dilihat orang banyak tatkala mengunjungi rakyatnya agar semua orang tahu dan membicarakannya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler