x

Pembibitan perlu dilakukan dalam mendukung efektivitas rehabilitas lahan

Iklan

M Noor Azas Ahsan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 29 Januari 2021 15:28 WIB

Pandemi yang Dihadapi pada Awal 2021

Bencana alam berupa banjir, tanah longsor, gempa bumi dan letusan gunung beberapa di beberapa daerah terjadi hampir bersamaan pada awal 2021 ini. Pada sisi lain, pandemi corona virus disease 2019 (covid-19) belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Kedua masalah ini bisa dikaitkan dengan kerusakan alam dan lingkungan akibat perilaku manusia. Oleh karena itu, upaya mengatasinya harus dimulai dengan rehabilitasi lingkungan serta memperbaiki mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masih ingat bagaimana respon awal pemerintah menyikapi wabah Corona di Wuhan dan beberapa negara lain pada tahun 2019? Saat itu, belum ada satu pun yang ditemukan di Indonesia. Ada menteri yang menyebut karena suka makan nasi kucing. Ada pula yang menyebut posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa. Hingga akhirnya temuan pertama pada bulan Maret 2020.

Belum habis masalah Corona, muncul lagi bencana di beberapa daerah dalam waktu hampir bersamaan pada awal tahun 2021 ini. Banjir bandang yang melanda wilayah Kalimantan Selatan mulai 12 Januari. Gempa bumi di Sulawesi Barat pada tanggal 14 Januari. Tanah longsor di Sumedang Jawa Barat dan meletusnya Gunung Semeru di Jawa Timur secara bersamaan pada tanggal 16 Januari. Belum sampai di situ, Gunung Sinabung dan Gunung Merapi juga kembali meletus. Banjir pun melanda kota Manada pada tanggal 17 Januari.

Akar masalah

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut sebuah hadist, Rasulullah memang pernah mengungkapkan Allah sungguh akan memasukkan penyakit wahn dalam hatimu.” Seseorang bertanya “Ya Rasulullah apakah penyakit wahn itu?” “Cinta dunia dan takut mati,”jawab Rasulullah. Pandemi penyakit wahn inilah tampaknya yang saat ini terjadi dan menjadi akar masalah hingga menyebabkan berbagai bencana dan lonjakan penderita penyakit yang disebabkan virus corona. Dalam hadist lain, penyakit itu ditandai dengan gaya hidup yang suka berfoya-foya dan bermewah-mewahan, menghimpun harta sebanyak mungkin, tipu-menipu dalam merebut harta benda dunia, saling memaki, hasut-menghasut dan saling menzalimi.

Salah satu dampak keserakahan dan kecintaan berlebihan pada dunia  sebagaimana disebutkan dalam QS ar Rum ayat 41, terjadi kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Dalam konteks saat ini, hasil korupsi maupun bisnis ribawi yang digunakan untuk berfoya-foya dan menumpuk asset berupa lahan dan bangunan. Padahal banyak tunakisma yang membutuhkan rumah untuk berlindung maupun lahan untuk bertani sekedarnya.

Berdasarkan keterangan resmi yang disampaikan, Kamis, 19 Januari 2021, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengungkapkan telah terjadi penurunan luas hutan primer, hutan sekunder, sawah dan semak belukar dalam 10 tahun terakhir, masing-masing menurun sebesar 13 ribu hektar, 116 ribu hektar, 146 ribu hektar dan 47 ribu hektar. Pada sisi lain, terjadi perluasan area perkebunan sebesar 219 ribu hektar. Dalam sebuah ilustrasi yang beredar di media sosial, hanya tersisa lapisan tipis hutan yang kemungkinan berada di Pegunungan Meratus pada tahun 2020. Kebijakan pemberian izin tambang dan perkebunan sawit telah mendorong terjadinya peningkatan intensitas kerusakan dan konversi lahan pada kawasan hutan, paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir. 

Kebijakan penanganan Covid-19 juga tidak kalah kacaunya. Di tengah-tengah pandemi dan pembatasan sosial yang menyebabkan banyak orang tidak bisa bekerja optimal. Bahkan terpaksa menganggur dan tidak mempunyai penghasilan sama sekali. Namun anggaran bantuan social berupa sembako yang nilainya juga tidak besar, hanya Rp 300 ribu per paket, ada yang tega melakukan pemotongan sebagaimana indikasi yang terungkap berdasarkan hasil pemeriksaan dan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang menyebut, potongannya hampir 1/3 dari nilai total dan banyak penerimanya yang terindikasi fiktif. Mungkinkah itu juga terjadi pada berbagai jenis bantuan lain? Wallahu’alam.

Minder complex sebagai bekas bangsa terjajah tampak dalam penanganan masalah covid-19 ini. Perhatian lebih tercurah pada ketersediaan vaksin impor daripada pada potensi ramuan alami dalam membantu pengobatan bagi penderita penyakit yang disebabkan covid-19 berdasarkan hasil penelitian dalam negeri. Atau ini didorong semangat pragmatism, jalan pintas  berbisnis  sebagaimana dikritisi anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan dr.Ribka Tjiptaning dalam rapat kerja (raker) Komisi IX DPR RI bersama Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin di DPR RI, Jakarta, Selasa (12/1/2021). Kepentingan bisnis ini pun disinyalir terdapat dalam pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) dan kemungkinan nanti dalam pengadaan obat-obatan impor. 

Mengembalikan keseimbangan

Pembenahan untuk meluruskan kekeliruan ini bisa dimulai dari penanganan covid-19. Diibaratkan orang memancing, vaksin itu sebenarnya hanyalah umpan untuk memancing keluarnya antibody. Vaksin alami adalah virus itu sendiri. Daripada vaksinasi, lebih baik mengalokasikan anggaran untuk pengadaan bantuan pangan dan suplemen alami yang berkualitas dan memadai. Dengan membeli bahan-bahan tersebut pada para petani local, sekaligus akan membantu pemulihan ekonomi rakyat. Setidak-tidaknya ada beberapa bahan yang direkomendasikan dan bisa diadakan dari dalam negeri, misalnya madu, sambiloto, minyak kayu putih dan eucalyptus, serta susu kambing dan aneka jenis biofarmaka.

Pada beberapa media sosial, sempat beredar gambar beberapa tusuk sate yang luarnya berbungkus kertas koran dengan tulisan “vaksin Covid-19”. Barangkali sebungkus sate memang lebih bermanfaat bagi masyarakat yang rentan terpapar virus tersebut. Ini juga sesuai yang pandangan disampaikan sejumlah dokter, obatnya hanya makan dan makan. Kondisi sehat, makan makanan bergizi, istirahat yang cukup, pikiran tenang tanpa banyak tekanan diharapkan menghasilkan tubuh dengan imunitas yang bagus. Ketika ada virus masuk dalam kondisi herd immunity, antibody bisa langsung keluar dan berfungsi efektif.

Pembatasan waktu dengan adanya jam malam, sebaiknya dievaluasi ulang. Pertanyaannya sederhana saja, apakah virus hanya keluar pada malam atau dini hari saja? Tentu jawabnya tidak.  Begitu pula desinfaksi yang menggunakan bahan tidak ramah lingkungan. Ada baik dihentikan saja. Bisa jadi hal ini justru yang menyebabkan terjadinya lonjakan penderita Covid-19. Alih-alih membunuh virus-19, justru yang mati dan tepar mikro-organisme lain yang masih berguna dan bisa mengimbangi atau menjadi sparing-partner dalam menghadapi virus tersebut.

Agar lebih efektif, pemberian bantuan sosial bisa saja disinergikan dengan kegiatan padat karya untuk menekan angka pengangguran. Pola ini bisa dijalankan dalam perbaikan atau pembangunan fasilitas yang rusak akibat bencana alam maupun penanaman kembali tanaman keras pada lahan kritis. Hal ini sekaligus merupakan bagian dari taubatan nasuha atas perilaku kita yang telah berbuat kerusakan di muka bumi.*****

Ikuti tulisan menarik M Noor Azas Ahsan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu