x

Menggunakan Media Sosial Untuk Bisnis

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 13 Februari 2021 12:09 WIB

Fabrikasi Dukungan di Media Sosial Jadi Polutan Ruang Publik

Setuju dan tidak setuju terhadap suatu kebijakan publik merupakan hal lumrah yang mestinya dapat ditoleransi. Namun, manakala dukungan terhadap kebijakan itu demikian masif, jatuh bagaikan bom, maka terjadilah fabrikasi dukungan yang mengganggu ruang publik karena kecenderungan hegemoninya--menghegemoni wacana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ruang publik digital sesungguhnya merupakan arena pertukaran pikiran yang berpotensi bagus bagi perkembangan masyarakat. Bukan hanya untuk bisnis, pendidikan, pelayanan publik, tapi juga bagi pengembangan demokrasi yang sehat. Beberapa tahun sebelum era media sosial, sejumlah ilmuwan dan pemikir membayangkan semacam e-demokrasi. Misalnya saja, pemilu tidak usah mengharuskan pemilih datang ke lokasi tempat pemungutan suara, tapi cukup memberikan suara dari jarak jauh lewat internet.

Dalam urusan pelayanan dan kebijakan publik, warga kota bisa menyampaikan keluh kesah maupun usul dan gagasan untuk membantu walikota mengatasi persoalan wilayahnya dengan urun rembug lewat situs yang dikelola pemerintah kota. Bisa pula lewat zoom biar bisa ngobrol langsung dengan pak/bu walikota. Begitu pula, sesama warga dapat bertukar pikiran serta menawarkan alternatif gagasan, ataupun mengritik tanpa rasa takut akan ‘diberi tanda centang’ oleh pemerintah alias dikategorikan sebagai warga yang perlu diwaspadai karena kerap mengritik kebijakan pemerintah kota.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun realitas tidak seindah yang dibayangkan, sebab sebagian orang yang memiliki hasrat kuasa begitu besar akan berusaha mendominasi dan menghegemoni ruang publik digital. Ruang publik digital ini memiliki keunggulan yang bisa berubah menjadi ancaman dari sudut pandang otoritas mengingat kemampuan teknologi ini untuk mengamplifikasi dan memviralkan informasi secara cepat.

Otoritas berkepentingan untuk merintangi amplifikasi dan viralisasi informasi maupun opini yang berpotensi mengganggu pilihan keputusan dan kebijakan yang diinginkan otoritas. Salah satu bentuk upaya perintangan itu ialah membombardir ruang publik digital dengan dukungan kepada kebijakan pilihan otoritas—apapun kebijakannya. Baik di ruang komentar media massa online maupun di media sosial, dukungan itu meluncur bertubi-tubi.

Apabila dukungan itu disertai argumen logis, maka ruang pertukaran pikiran mestinya masih terbuka. Artinya, setuju dan tidak setuju merupakan hal lumrah yang mestinya dapat ditoleransi. Namun, manakala dukungan itu demikian masif, jatuh bagaikan bom, maka terjadilah fabrikasi dukungan yang mengganggu ruang publik karena kecenderungan hegemoninya--menghegemoni wacana.

Sebagai fabrikasi, dukungan ini bukan lagi merupakan dukungan hasil proses alamiah penalaran, melainkan buah dari rekayasa. Dukungan ini bukan lagi realitas sejati, melainkan dukungan ‘seolah-olah’—seolah-olah didukung oleh banyak sekali warga, padahal sebenarnya tidak. Dukungan yang semu. Seperti disinggung oleh beberapa peneliti, teknologi bot memungkinkan pengerahan dukungan ‘seolah-olah’ itu berlangsung masif dalam waktu singkat. Tapi, tanpa bot pun bisa dilakukan.

Yang ingin dicapai dari fabrikasi dukungan itu ialah hegemoni terhadap wacana yang tengah berlangsung di ruang publik digital. Namanya juga hegemoni, maka suara yang berbeda akan diredam, sedangkan suara yang seragam akan ditonjolkan. Dalam konteks ini, suara yang seragam bermakna suara dukungan, namun bukan dukungan alamiah, melainkan dukungan hasil fabrikasi.

Hegemoni wacana dukungan ini diperlukan oleh otoritas untuk menciptakan persepsi di mata masyarakat bahwa kebijakan otoritas itu memperoleh legitimasi dari warga mayoritas dan bahwa kebijakan itu benar belaka. Pencitraan positif menjadi bagian penting dari upaya hegemoni ini, sehingga berpotensi mengaburkan dan bahkan menguburkan kebenaran sejati, karena kebenaran artifisial yang terbentuk oleh rekayasa suara dukungan akan mendominasi ruang publik.

Karena itulah, rekayasa pengerahan dukungan terhadap kebijakan publik akan menjadi polutan yang mencemari ruang publik bila disertai upaya meredam pandangan warga yang berbeda. Ikhtiar untuk membangun apa yang disebut e-democracy maupun e-government justru akan terintangi oleh polusi dukungan yang membabi buta dan tidak peduli dengan suara-suara warga yang berbeda dan beragam atau ‘menertibkan’ suara-suara yang berbeda dengan cara yang intimidatif. Menghadapi suara-suara polutan ruang publik itu, otoritas tidak bisa berdiam diri seolah-olah tidak tahu tapi diam-diam mengambil keuntungan dari situasi ini.  >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler