x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Kamis, 4 Maret 2021 07:33 WIB

Literasi Alasan, Jadilah Orang Cukup Bukan Kurang

Banyak orang kini selalu punya alasan. Untuk menutupi kekurangannya. Maka jadilah cukup bukan kurang, tanpa alasan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semua yang terjadi pasti ada alasannya. Seperti kata bijak “jika ada akibat pasti ada sebab”. Itu berarti, tidak mungkin ada keputusan tanpa adanya alasan. Selalu ada alasan. Begitu hukum alamnya. Pandemi Covid-19 pun terjadi karena ada alasannya.

 

Bahwa hari ini, ada orang yang selalu bersyukur. Ada yang hanya berkeluh-kesah. Ada yang tetap membenci. Bahkan ada yang berdiam diri. Tidak mau melakukan kebaikan sedikit pun, itu semua ada alasannya. Maka sekali lagi, apa pun itu pasti ada alasannya. Dan setiap alasan, pasti sah-sah saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Seperti di taman bacaan. Ada anak-anak yang mau membaca buku pasti ada alasannya. Ada pula anak-anak yang hanya main dan tidak suka membaca buku, pasti ada alasannya. Ada orang-orang yang mau bantu dan berkiprah di taman bacaan. Tapi bila ada yang tidak peduli taman bacaan pun ada alasannya. Dan Ketika alasan dibuat, maka menyisakan pertanyaan “kenapa begitu?”.

 

Kawan saya, dulu. Pernah bilang tidak mau beli tanah di Bogor. Sekalipun harganya terjangkau. Karena lokasinya terlalu jauh. Masih sepi dan tidak ada waktu untuk berkunjung. Tapi sekarang setalah ramai, lokasinya terasa tidak jaih. Harganya pun melonjak gila-gilaan. Maka kawan saya pun menyesal? Tentu, ada alasannya.

 

Alasan itu bisa dibuat dan selalu saja ada.

Tapi alasan bisa dibuat-dibuat karena tidak mau, Ada alasan yang baik. Tapia da alasan yang tidak baik. Bahkan ada alasan yang dibuat karena untuk menutupi kekurangan, kelemahan orangnya. Asal punya alasan, begitulah adanya.

 

Hari ini. Ada orang yang takut mengambil keputusan. Ada yang tidak mau menanggung risiko. Ada yang tidak mau bertindak di jalan kebaikan. Ada yang masih banyak omong tapi praktik kosong. Ada pula yang hanya sebatas kata-kata bijak. Itu semua ada alasannya. Dan sah-sah saja. Tapi sayang, bila alasan dibuat hanya untuk “membungkus” ketidak-mauan bertindak. Alasan yang dicari-cari, bukan yang apa adanya.  Lalu berkata, “Tapi kan, karena begini …. Tapi kan karena begitu ….”

 

Kata “tapi” dalam ilmu bahasa itu kata penghubung. Memang sering dipakai untuk sebuah alasan. Untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras. “Saya tahu membaca buku itu penting TAPI belum punya waktu saja”. Pengen sih melakukan yang baik TAPI sekarang lagi focus kerjaan dulu”. Mungkin, kata TAPI pada kalimat itu benar.

 

Namun kata “tapi” itu salah dipakai. Bila mampu membenci tanpa bisa menyukai. Bila mampu mengkritik tanpa bisa memberi solusi. Bila bisa bertanya tanpa mau membantu cari jawabnya. Dan bila sekolahnya bukan di jurusan politik atau tata negara. Tapi bila sudah ngomongin negara seperti pakar kebenaran dan paling benar sendiri.

 

Tapi, tapi, dan tapi. Bisa jadi kata mujarab yang dipakai untuk mencari alasan. Soal apa pun, untuk apa pun. Sedikit-sedikit tapi. Lagi-lagi tapi. Kebanyakan tapi. Semua ada “tapi”-nya. Selalu saja ada alasannya. Padahal, hanya untuk mengungkap kebencian, ketidak-sukaan. Selalu saja ada alasannya, untuk berbuat tidak baik, tidak patut.

 

Di jalanan, orang-orang yang menerobos lampu merah. Pasti alasannya karena “buru-buru”. Orang-orang yang terlambat ke kantor, pasti alasannya ,macet di jalan. Dan mungkin, orang-orang tidak mau membaca buku pasti alasannya “belu ada waktu”. Begitu kira-kita hebatnya sebuah alasan.

 

Literasi “alasan”. Tentu sah-sah saja. Namun sejatinya, alasan dibuat bukan untuk membela diri. Atau melakukan pembenaran atas kesalahan. Maka, sehebat apapun alasannya. Sesuatu yang saah tidak perlu diperjuangan dengan alasan yang benar. Karena itu menyalahi hukum.

 

Alasan itu boleh. Bila dipakai untuk memperbaiki diri. Alasan untuk instrospeski diri, yang lebih bersifat reflektif. Maka bilanglah "Saya memang salah TAPI saya berusaha untuk lebih baik". Logika itu ada bukan untuk mengalahkan hati nurani. Karena logika itu cara, hati burani itu arah.  Maka “jadilah orang yang cukup dan jangan menjadi orang yang selalu merasa kurang”. Tanpa alasan, tanpa perlu dibantah. Jadilah cukup, tanpa merasa kurang.

 

Alasan memang baik. Asal berpegang pada hati nurani.

Mumpung masih ada kesempatan. Mumpung masih ada waktu untuk hidup lebih baik. Sebelum menyesali keputusan yang lalu, sebelum terbaring di ranjang kematian. Jadilah lebih baik, tanpa alasan apa pun. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu