x

Terawan

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 15 April 2021 12:54 WIB

Epidemiolog Tepis Klaim Bahwa Vaksin Nusantara Kreasi Dalam Negeri

Gonjang-ganjing terhadap nasib Vaksin Nusantara masih berlanjut. Kali ini penamaan Vaksin Nusantara dipersoalkan epidemiolog karena dianggap bertujuan ingin mengesankan sebagai produk dalam negeri. Penamaan Vaksin Nusantara mengandung tendensi yang tidak pas. Ahli juga meminta uji klinis vaksin ini tidka dilanjutkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gonjang-ganjing terhadap nasib Vaksin Nusantara masih berlanjut. Kali ini penamaan Vaksin Nusantara dipersoalkan karena dianggap bertujuan ingin mengesankan sebagai produk dalam negeri. "Padahal tidak," kata Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, kepada Tempo.co, Rabu, 14/04. 

Dicky menilai penamaan Vaksin Nusantara mengandung tendensi yang tidak pas. Karena seolah ingin mengesankan bahwa hal itu produk dalam negeri atau kreasi dalam negeri. Menurut dia, metode berbasis sel dendritik seperti yang digunakan pada Vaksin Nusantara bukan dicetuskan orang Indonesia. "Itu sudah lama. Satu dekade terakhir masalah dendritik sel itu mengemuka dan masih dalam preklinik," katanya.

Dalam dunia ilmiah metode tersebut diakui memiliki potensi. Namun, saat berbicara strategi pandemi, peneliti harus memilih intervensi, teknologi, atau riset yang jelas memberikan dampak terhadap perbaikan kesehatan masyarakat. "Jadi kalau memilih riset vaksin artinya yang memang memiliki dasar ilmiah yang kuat atau rekomendasi ilmiah yang kuat," ujar dia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Vaksin Nusantara dikembangkan oleh bekas Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan telah menjalani uji klinis tahap I. Dia mengklaim upaya pengembangan Vaksin Nusantara sudah dilakukan lama bersama Universitas Diponegoro. Pengembangan vaksin ini, kata dia sata berbicara di depan Komisi Kesehatan DPR, Mafret lalu, berbasis dendritik sel.

Terawan mengatakan penelitian soal dendritik sudah ia prakarsai sejak 2015, ketika masih menjabat sebagai Kepala RSPAD Gatot Subroto. "Namun waktu itu penelitian dendritik ini untuk kanker," kata dia. Lalu  di tengah pandemi ini, ia bersama tim dari Undip kemudian mengembangkan sel dendritik sebagai vaksin Covid-19. 

Terawan berharap Kementerian Kesehatan mendukung pengembangan Vaksin Nusantara. Ia juga meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengevaluasi hasil uji klinis I vaksin ini.

Kepala BPOM Penny Lukito menuturkan BPOM belum memberikan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) untuk uji klinis tahap dua dan tiga. Dia membeberkan beberapa hal dalam penelitian Vaksin Nusantara yang menurutnya tidak sesuai kaidah medis.

Salah satu hal yang disorotinya adalah terdapat perbedaan lokasi penelitian dengan pihak sebelumnya yang mengajukan diri sebagai komite etik. "Pemenuhan kaidah good clinical practice juga tidak dilaksanakan dalam penelitian ini. Komite etik dari RSPAD Gatot Subroto, tapi pelaksanaan penelitian ada di RS dr Kariadi," kata Penny dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Rabu, 10/3, silam.

Ada pun dokumen hasil pemeriksaan tim BPOM yang salinannya diperoleh Majalah Tempo menunjukkan berbagai kejanggalan penelitian vaksin. Misalnya tidak ada validasi dan standardisasi terhadap metode pengujian. Hasil penelitian pun berbeda-beda, dengan alat ukur yang tak sama.

Selain itu, produk vaksin tidak dibuat dalam kondisi steril. Catatan lain adalah antigen yang digunakan dalam penelitian tidak terjamin steril dan hanya boleh digunakan untuk riset laboratorium, bukan untuk manusia. "BPOM menyatakan hasil penelitian tidak dapat diterima validitasnya," tertulis dalam dokumen tersebut.

Dicky menegaskan teknologi sel dendritik dalam Vaksin Nusnatara masih dalam kajian yang sangat panjang. Studi preklinisnya masih terus dilakukan karena belum banyak data atau hasil yang meyakinkan. Selain itu, sel dendritik juga tidak tepat dan efektif dijadikan strategi kesehatan masyarakat. "Karena tenaga SDM yang diperlukan untuk melakukan pemberian vaksin ini luar biasa banyak, intensif lagi. Beda dengan vaksin biasa yang 1 orang bisa lakukan sendiri," tutur Dicky.

Vaksin dengan sel dendritik, kata Dicky, harus menggunakan rumah sakit dan tidak bisa dilakukan di Puskesmas atau Posyandu. Dari segi biaya juga mahal. "Rata-rata Rp 200 jutaan kalau lihat di Jepang yang untuk kanker. Mahal sekali. Artinya untuk strategi kesehatan masyarakat enggak efektif. Yang testing kita 1 jutaan saja sudah megap-megap mahal," kata dia.

Untuk itu Dicky Budiman meminta pemerintah tidak membiarkan uji klinis tahap II Vaksini Nusnatara dilanjutkan. "Tidak boleh pemerintah membiarkan hal seperti ini walaupun dia mantan pejabat. Kalau salah secara metode ilmiah harus diluruskan," kata Dicky kepada Tempo, Rabu, 14 April 2021.

Beberapa anggota DPR sebelumnya memang telah mengikuti uji klinis tahap II vaksin Nusantara di RSPAD Gatot Subroto. DPR memang getol ingin agar vaksin tersebut segera bisa dipakai.

Dicky mengingatkan uji klinik tersebut menggunakan fasilitas pemerintah yang dibayar dengan pajak masyarakat. Jika penelitian tersebut tidak ada manfaatnya, kata dia, mestinya tidak boleh dilakukan. "Ini saya kira prihatin dan sangat khawatir ya adanya pembiaran seperti ini. Berbahaya," katanya.

Peneliti utama Uji Klinik Tahap II Vaksin Nusnatara, Kolonel Jonny, memastikan uji klinik vaksin sudah memenuhi standar, kaidah penelitian, serta etik secara internasional. "Kita dalam pembuatan vaksin ini diaudit oleh suatu pihak ketiga untuk melihat GMP (good manufacturing product) atau good manufacturing practice, jadi diawasi sesuai standar atau tidak," kata Jonny di Gedung Cellcure Center RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Rabu, 14 April 2021.

Jonny mengatakan pihak ketiga tersebut merupakan suatu badan, namun ia enggan mengungkapnya. Dalam pelaksanaan uji klinis, tahapan penelitian Vaksin Nusantara juga diawasi oleh badan independen, yaitu CRO (clinical research organization). "CRO kebetulan pada saat ini dari Prodia. Jadi kita tidak asal-asalan," katanya

Meski dinilai BPOM belum memenuhi kaidah medis, persoalan etik, dan aspek cara uji klinik yang baik, Jonny memastikan uji klinik tahap II tetap bisa dilakukan sambil memperbaiki kekurangan pada uji klinik tahap I.

Rumah Sakit dokter Kariadi, Kota Semarang, menyatakan telah menghentikan penelitian Vaksin Nusnatara, sejak pertengahan bulan lalu. Penghentian dilakukan menyusul surat yang dikirim Direktur Utama RSUP dr Kariadi, Dodik Tugasworo, ke Kementerian Kesehatan pada 12 Maret.

Surat berisi permohonan izin penghentian sementara penelitian di rumah sakit itu dibuat karena riset belum mengantongi izin persetujuan pelaksanaan uji klinik dari BPOM. "Sudah tidak ada penelitian," kata Kepala Hubungan Masyarakat RSUP dr Kariadi, Parna, memberi konfirmasi atas isi surat pada Rabu 14 April 2021.

Menurut Parna, riset tak dilanjutkan setelah tim peneliti bergabung di antara peserta rapat kerja dengan Komisi Kesehatan DPR RI di Jakarta pada 10 Maret lalu. Dalam rapat yang dihadiri mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto--yang memimpin riset Vaksin Nusantara--itu, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito membeberkan alasan kenapa riset vaksin itu belum dibolehkan berlanjut ke uji klinis fase dua.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler