x

Ilustrasi Toleransi. Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

RAHMAT ZUHAIR IPB

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Desember 2020

Senin, 19 April 2021 06:11 WIB

Toleransi, Kita Perlu Belajar dari Negeri Tolland

Fenomena toleransi di Indonesia tidak seharusnya menjadi trending topic, karena toleransi itu sudah ada, yaitu Pancasila. Nilai nilai yang terkandung didalamnya seharusnya menjadi tuntunan kehidupan kita sebagai bangsa. Tapi, melihat realitas sekeliling kita yang penuh pertikaian, apakah Pancasila hanya omong kosong semata?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rahmat Zuhair

Sebelum mulai mendaratkan jemari diatas keyboard laptop, sejenak terlintas dalam pikiran saya sebuah kutipan yang menarik dari buku yang berjudul Berjamaah (lagi) walau tak serumah yang ditulis Yusuf Maulana. Dalam buku tersebut disebutan, “Bisakah kita lebih elegan dan santun dalam perbedaan? Sebagaimana kita tak mesti harus mencicipi nikmatnya kopi, sementara kawan kita lebih fanatik pada teh ataupun coklat. Dan dalam kesatuan selera, haruskah kita memaksa dia mencintai kopi gayo, sementara dia gandrung pada malabar atau kintamani?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tulisan ini saya tulis dibulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Namun miris rasanya keberkahan itu pasti dilecehkan oleh pertengkaran kaum toleran dan intoleran (katanya). Kata si A, warung makan tetap dibuka untuk menghargai yang tidak puasa. Kata si B warung makan ditutup saja karena akan mengganggu yang sedang berpuasa. Harapannya akan muncul si C dengan mindset  yang menyatukan. Pertayaan yang muncul kemudian adalah, “Mindset seperti apa yang dianut si C?

Dalam kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia, jarang hadir orang orang seperti C. Kebanyakan yang hadir adalah si D, E, F, dan seterusnya dengan mindset menentangkan mindset si A dan si B. Mari kita menyelam bersama sama dengan keluguan kita sebagai bangsa, lebih banyak energi yang terbuang, bukan?

Fenomena toleransi di Indonesia tidak seharusnya menjadi trending topic dalam bangsa kita. Karena sejatinya dasar toleransi itu sudah ada, yaitu Pancasila. Nilai nilai yang terkandung didalamnya seharusnya menjadi tuntunan kehidupan kita sebagai bangsa. Pertanyaannya: apakah Pancasila hanyalah omong kosong semata? Kenapa harus terus mengangkat isu toleransi antar kelompok sedangkan kita sudah punya Pancasila?

Permasalahan ini terus muncul sebagai akibat dari ketidaktepatan mindset kita terhadap Pancasila sebagai dasar untuk menyatukan kita sebagai bangsa.

Alkisah, terdapat sebuah negeri bernama Tolland yang ditempati berbagai macam kelompok masyarakat. Negeri yang sangat kaya, saking kayanya tidak ada penduduk yang kelaparan. Di negeri itu tongkat dan kayu bisa jadi tanaman. Suatu ketika terdapat perbedaan pendapat antar kelompok sehingga terjadilah musyawarah mufakat untuk merumuskan satu landasan dan pandangan yang sama terkait beberapa perbedaan.

Setelah sekian lama merumuskan, lahirlah sebuah kesepakatan yang bernama “Janji Suci”. Isi kesepakatan tersebut salah satunya adalah tidak memaksakan perbedaan tadi menjadi satu kesatuan tetapi memerintahkan kepada seluruh kelompok masyarakat di negeri tersebut untuk saling menghargai perbedaan dengan hati yang tidak penuh curiga dan egois.

Seluruh perwakilan kelompok masyarakat di negeri Tolland menyepakati bahwa mindset pengelolaan perbedaan yang ada di negeri tersebut bukan dengan dipaksa untuk satu simbol/satu prinsip, namun mindset yang disepakati adalah menghargai perbedaan yang ada dengan kelembutan hati tanpa pertikaian baik ditingkat diskursus maupun diranah aksi kekerasan dengan satu prinsipnya adalah tanpa melanggara prinsip salah satu kelompok.

Indonesia sebagai negara yang majemuk, dalam pengelolaan keberagaman sudah semestinya menggunakan mindset negeri Tolland. Dengan mindset tersebut tidak ada kelompok yang merasa dirugikan dengan dilanggarnya beberapa prinsip dari kelompok tersebut atas nama mengelola perbedaan.

Dari segi kebijakan ekonomi Indonesia harus mulai menerapkan mindset toleransi negeri Tolland. Indonesia negeri yang terdiri dari beragam pulau, daerah, etnis dan kebudayaan yang berbeda. Maka pendekatan yang dilakukan bukanlah dengan teori arus utama klasik maupun neoklasik, namun mindset-nya adalah ekonomi heterodoks. Dalam hal ini Indonesia menggunakan pendekatan Ekonomi Pancasila. Bukan sebuah hal yang mustahil bagi Indonesia menerapkan pendekatan ekonomi dengan menyesuaikan dengan wilayah dan kebudayaan masyarakat di tiap wilayah di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik RAHMAT ZUHAIR IPB lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu