Agar Pancasila Selalu di Hati

Rabu, 2 Juni 2021 18:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak cara sederhana agar apa yang disebut sebagai ‘nilai-nilai Pancasila’ bukan hanya jadi inspirasi, tapi dijalankan dalam hidup sehari-hari. Perlu menghidupkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari agar tidak menjadi slogan yang diulang-ulang hingga kehilangan bobot. Caranya sederhana saja, tidak perlu rumit-rumit dengan metodologi yang canggih.

 

Seperti dikutip media massa, dalam rangka memeringati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan: “Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar apabila berpegang teguh pada falsafah bangsa kita sendiri, yakni Pancasila.” Puan juga menyatakan: “Selama Pancasila masih ada di hati orang Indonesia, selama itu pula Indonesia terus ada.” Ia juga berharap: “Nilai-nilai Pancasila menjadi inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Secara idea, Pancasila—yang rumusan akhirnya merupakan hasil rembugan banyak tokoh bangsa pada masa kemerdekaan—sangat bagus. Benar belaka kata Ketua DPR bahwa bila Pancasila dipegang teguh, Indonesia bisa menjadi bangsa besar. Dalam hemat saya, dipegang teguh itu bukan sekedar dihapalkan, dibacakan saat upacara maupun peringatan hari-hari penting nasional, tapi lebih konkret dari itu ialah dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Sebab, praktiklah yang membuat Pancasila selalu ada di hati, bukan hanya dihapal.

Sebenarnya, banyak cara sederhana agar apa yang selalu disebut sebagai ‘nilai-nilai Pancasila’—yakni kelima sila—bukan hanya jadi inspirasi, tapi dijalankan dalam hidup sehari-hari. Perlu menghidupkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari agar tidak menjadi slogan yang diulang-ulang hingga kehilangan bobot. Caranya sederhana saja,tidak perlu rumit-rumit dengan metodologi yang canggih.

Aplikasi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat dimulai dari berpikir dan bertindak jujur, amanah, dapat dipercaya atau kredibel, menyampaikan kebenaran atau tidak suka main tertutup dalam urusan rakyat, hingga percaya bahwa urusan berbangsa dan bernegara itu menyangkut pertanggungjawaban di akhirat. Keyakinan pada hal terakhir itulah saripati sila ini dan yang mampu mendorong manusia, kita orang Indonesia, untuk bersikap jujur, kredibel, berintegritas, dan terbuka kepada sesama. Bagi pemimpin atau elite, bersikap jujur, amanah, kredibel, terbuka, tidak kianat [kepada rakyat], menyampaikan—tidak menyembunyikan [informasi yang benar], merupakan manifestasi sila ini.

Jika kita mau introspeksi, selama beberapa tahun terakhir ini, apakah relasi di antara sesama bangsa telah berjalan secara manusiawi, apakah keadilan ditegakkan sebagaimana mestinya, apakah pergaulan kita sebagai anak bangsa sungguh beradab? Betapa mudah kita mencaci, melontarkan sumpah serapah, menggunakan nama hewan untuk menyebut sesama manusia. Sudahkah kita bersikap adil kepada semua orang, bahkan termasuk kepada orang yang barangkali tidak kita sukai? Bukankah ini penyimpangan dari saripati sila kemanusiaan yang adil dan beradab?

Para pemimpin selalu menggaungkan seruan agar rakyat menjaga persatuan. Namun, pemimpin kerap lupa bahwa agar seluruh lapisan dan unsur rakyat bisa bersatu diperlukan prasyarat. Apa prasyarat itu? Sebutlah di antaranya tegaknya keadilan, pemerataan kesejahteraan, terbukanya kesempatan bagi seluruh rakyat untuk maju. Sikap saling menghargai demi terjaganya persatuan akan lebih mudah terwujud bila perlakuan yang adil kepada seluruh rakyat ditegakkan. Rakyat masih mungkin bersatu sekalipun hidup dalam kesulitan asalkan rasa keadilan rakyat ditegakkan.

Dalam hal sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, praktik yang paling penting ialah dengarkanlah suara rakyat, tapi jangan hanya di waktu pemilihan umum saja. Jika elite politik-ekonomi hendak mengambil keputusan, ajaklah rakyat berbicara—bukan hanya pendukung, tapi juga yang berbeda pandangan, seraplah aspirasi rakyat, jangan merasa benar sendiri, bukan merasa paling tahu dan paham, juga jangan merasa paling berkuasa. Jika duduk di DPR, jadilah benar-benar wakil rakyat, bukan wakil para elite. Jangan bermusyawarah hanya dengan sesama elite dan mengabaikan suara rakyat.

Mengapa keadilan merupakan hal yang sangat fundamental dalam hidup bermasyarakat. Lihatlah, kata ‘adil’ digunakan dalam dua sila: sila kedua ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ dan sila kelima ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Para pejuang dan pendiri Republik ini meyakini bahwa keadilan merupakan soko guru penting bagi tetap tegaknya sebuah bangsa dan negara. Jadi, malulah jika para elite dan pemimpin ini kaya sendiri, dan semakin kaya setiap waktu, sedangkan lebih banyak orang masih terbelit kekurangan dan kemiskinan. Malulah jika mengorupsi uang rakyat. Berbagilah dengan yang miskin, fakir, nirdaya, lemah, dan terpinggirkan. Perlu diingat, kata ‘rakyat’ juga disebut dalam dua sila. Jelas, pemegang saham Republik ini seratus persen rakyat. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Viral

Lihat semua