x

Cover buku Teguh - Berpacu dalam Komedi dan Melodi

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 14 Juni 2021 18:46 WIB

Teguh - Berpacu dalam Komedi dan Melodi

Kisah perjalanan Kelompok Lawak Srimulat mulai dari manggung keliling sampai eksis di layar kaca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Teguh Srimulat – Berpacu dalam Komedi dan Melodi

Penulis: Herry Gendut Janarto

Tahun Terbit: 1990

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Gramedia     

Tebal: xv + 213

ISBN: 979-403-881-4

 

Saya baru tahu bahwa kotaku Purwodadi – Grobogan mempunyai peran yang sangat penting bagi berdirinya group lawak legendaris Srimulat. Di kota inilah untuk pertama kali Teguh bertemu dengan Srimulat. Srimulat yang sudah tenar sebagai seorang penghibur di panggung bertemu dengan Teguh pemain musik group keroncong Bunga Mawar dari Solo (hal. 22). Mereka berdua datang ke Purwodadi dalam rangka malam hiburan untuk merayakan berdirinya Angkatan Laut Republik Indonesia pada tahun 1947.  Seniwati serba bisa dan berdarah biru asal Bekonang itu langsung jatuh cinta dengan pemuda asal Pringgading Solo. Demikian pun dengan sang pemuda. Meski terbentang beda umur – Srimulat sudah 39 tahun, sedangkan Teguh baru berumur 21 tahun, tetapi cinta mereka tetap bersemi. Sejak pertemuan di Purwodadi itulah kedua seniman ini semakin lengket. Mereka menikah pada tanggal 8 Agustus 1950 di Solo (hal. 29).

Srimulat adalah perempuan yang berani. Perempuan yang lahir pada tanggal 7 Mei 1908 dengan embel-embel gelar Raden Ayu ini memutuskan untuk meninggalkan kedudukannya sebagai seorang priyayi dan memilih menjadi seniwati. Kekecewaannya terhadap perlakuan ayahnya dan para priyayi saat itu kepada para perempuan membuatnya memutuskan meninggalkan rumah besarnya di Bekonang. Padahal sebagai anak seorang Wedana, Srimulat hidup tak berkekurangan. Namun perilaku ayahnya dan para priyayi lelaki yang menganggap perempuan hanya sebagai pelengkap untuk bisa masak, macak dan manak membuatnya muak (hal. 4). Apalagi melihat ibu tirinya hanya bisa menangis diperlakukan kejam oleh Sang Ayah yang akan menikah lagi.

Srimulat berketetapan untuk hidup mandiri dengan bekal kemampuan menari dan menyanyi. Setelah melakukan kunjungan ke Parangtritis, Srimulat melamar untuk bergabung dengan Dalang Ki Tjermosugondo. Setahun kemudian ia bergabung dengan Kethoprak Candra Ndedari. Selanjutnya Srimulat bergabung dengan group wayang orang Ngesthi Rahayu. Kebetulah suami sang pimpinan group wayang orang adalah seorang yang memimpin group keroncong. Jadilah Srimulat sering ikut menyanyi dengan iringan musik keroncong di pasar-pasar malam. Srimulat sudah menjadi idola dari panggung ke panggung pada usia 20 tahun. Ia sudah tidak peduli lagi dengan gelar Raden Ajeng yang menyemat pada namanya.

Perannya sebagai seorang pembela hak-hak perempuan tidak hanya ditunjukkan melalui keberaniannya meninggalkan ke-rpiyayi-annya saja. Ketika terjadi pembatalan pemenang “Kontes Batik” di Yogyakarta, ia memprotes melalui berbagai koran. Nyai Mas Sulandjari yang memenangi kontes dianggap tidak pastas karena dia hanya seorang ledhek dan sudah janda. Padahal peserta lainnya adalah para putri priyayi yang mempunyai gelar dari keraton (hal. 16).

Nama asli Teguh adalah Kho Djien Tiong. Teguh lahir di Klaten pada 8 Agustus tahun 1926 sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Khoe Swie Hien dan Go Djoen Nio. Namun karena kemiskinan yang melanda keluarganya, ia diambil anak oleh Go Bok Kwie – Ginem yang tidak punya anak. Go Bok Kwie adalah kakak dari Go Djoen Nio (hal. 24). Meski keluarga Go Bok Kwie juga miskin, tetapi Go Bok Kwie sangat memperhatikan pendidikan Teguh. Teguh bersekolah di THHK, sebuah sekolah orang Tionghoa di Solo. Awalnya prestasi Tegus sangat baik di sekolah. Tetapi setelah perhatiannya lebih tertarik pada musik, prestasi akademik Teguh mulai menurun. Akhirnya Teguh benar-benar mencurahkan semua perhatiannya pada musik, khususnya gitar.

Pada tahun 1948 Teguh dan Srimulat mendirikan group keroncong sendiri. Petualangan keluar Solo bermula dari group Keroncong Bintang Timur yang harus mengungsi ke Semarang karena Solo dan Yogya dihujani bom oleh Tentara Sekutu. Group Keroncong Bintang Timur mencoba mencari nafkah dengan membuka panggung di Semarang. Tetapi hasilnya tidak memuaskan. Ketika group keroncong Bintang Timur memutuskan untuk pindah ke Cireobon, Teguh dan Srimulat memilih untuk tidak ikut serta. Mereka sempat bergabung dengan Orkes Keroncong Bintang Tionghoa. Saat Srimulat ditawari oleh Lo An Tin – seorang pemborong pasar malam untuk manggung di Tegal. Mereka setuju. Teguh segera mencari personil yang bisa memperkuat group keroncongnya. Maka Group Keroncong Avond yang dipimpin oleh Srimulat-Teguh mulai eksis dan manggung di Tegal (hal. 26).

Judul buku ini “Berpacu dalam Komedi dan Melodi adalah sangatlah tepat. Sebab demikianlah adanya group Srimulat. Mereka menggabungkan antara melodi dan komedi. Awalnya, saat masih dalam bentuk Orkes Keroncong Avond, sajian utamanya adalah lagu-lagu. Namun seiring perkembangannya, Avond berubah menjadi Gema Malam Srimulat. Gema Malam Srimulat lahir bersamaan dengan hari pernikahan Teguh-Srimulat. Saat Gema Malam Srimulat manggung di pasar malam di Blitar, mereka mengisi jeda permainan musik dengan lawak (hal. 31). Teguh memilih format dagelan Mataram. Dagelan Mataram adalah sesuatu yang bersifat tanggung (dagel) sehingga tampak lucu, aneh dan menggelikan. Format lawak ini lahir di Jogja/Mataram. Maka jadilah namanya Dagelan Mataram (hal. 37). Dagelan Mataram menggunakan du acara penyampaian, yaitu monolog (ngudarasa) dan dialog. Dagelan Mataram memakai logika bengkok untuk membangun kelucuannya. Format Dagelan Mataram inilah yang menjadi ciri khas Srimulat baik di panggung maupun kemudian di layer TV.

Teguh adalah seorang yang sangat kratif. Meski menggunakan format Dagelan Mataram, tetapi Teguh mengembangkan cerita-cerita baru. Sebab dari sekitar 40 cerita “asli” dagelan mataram, tidak mencukupi jika akan dipakai manggung dalam waktu yang lama. Teguh di kemudian hari mengembangkan skripsi (gagasan dan alur cerita sederhana) untuk ditampilkan di panggung. Teguh memang seorang yang sangat kreatif. Saat di Cirebon (tahun 1960) menghadapi situasi Srimulat sakit, Teguh menampilkan bintang cilik yang ternyata berhasil menarik penonton (hal. 45). Tegus juga menemukan draculla (dengan dua huruf LL) yang membuat Srimulat moncer (hal. 75). Sosok pelawak dengan nama Paimo merupakan ikon baru Srimulat dengan penampilannya sebagai draculla. Kepemimpinan Teguh yang memberi kepercayaan kepada anak panggung membuat Srimulat selalu memunculkan pelawak-pelawak baru yang segar.

Setelah kenyang melaksanakan pertunjukan keliling, Teguh dan Srimulat akhirnya memilih untuk menetap. Apalagi kondisi kesehatan Srimulat sudah tidak terlalu prima. Mula-mula mereka menetap di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Mereka mengisi panggung hiburan THR Surabaya sejak tanggal 19 Mei 1961. Mereka meraih sukses di Surabaya. Namun di Surabaya inilah hidup Srimulat berakhir karena penyakit diabetes. Selain di Surabaya, Srimulat juga manggung secara tetap di Solo (hal. 119) dan kemudian Jakarta (hal. 131). Sejak sukses di Jakarta inilah kemudian Srimulat dilirik oleh TVRI untuk manggung di layer kaca. Di layar kaca mereka memakai nama Anekaria Srimulat.

Perjalanan Group Srimulat tidaklah mulus-mulus saja. Mereka beberapa kali mengalami permasalahan. Sejak masih dalam format kelompok orkes keroncong Avond, mereka sudah menghadapi masalah. Mereka terhalang manggung si Sokaraja karena ada serangan DI-TII (hal. 28). Pasar Malam yang akan dipakainya untuk manggung dibakar oleh gerombolan DI-TII. Saat mereka manggung di Blitar, terjadi letusan Gunung KeluD (tanggal 31 Agustus 1951). Bencana letusan Gunung Kelud ini membuat mereka harus pulang ke Solo (hal. 32). Di Cirebon awak panggung diserang malaria.

Selain dari bencana dan masalah eksternal, Srimulat juga mengalami masalah di internalnya. Khususnya saat mereka sudah sukses. Ketika Teguh mencoba masuk ke dunia film, anak panggung yang tampil di film merasa lebih hebat dari anak panggung biasa. Mereka menuntut bayaran yang lebih tinggi. Padahal percobaan masuk dunia film ini tidak sukses (hal. 110). Saat mereka sukses di tiga kota, salah satu pelawaknya meninggal dunia karena kecelakaan. Mobil yang ditumpangi Abimanyu yang pulang ke Madiun setelah manggung di Solo bertabrakan dengan truk. Abimanyu meninggal di tempat (hal. 129).

Teguh bukanlah orang pendemdam. Ia berupaya mengayomi semua anak panggungnya. Meski pernah berseteru dan akhirnya keluar dari rombongan Srimulat, beberapa pelawak tetap diajak serta manggung bersama keluarga besar Srimulat.

Teguh memang orang yang bisa menangkap gelora Srimulat dalam berkesenian. Di tangan Teguhlah cita-cita Srimulat terwujud. 599

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB