x

Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 16 Juni 2021 14:45 WIB

Sepakbola (Seharusnya) Adalah Puisi

Tidak banyak pemain dan pelatih sepak bola yang mampu menjaga roh permainan ini agar selalu indah secara tim tanpa menafikan keahlian individu. Sebuah sepak bola dengan kasta tertentu, dan dalam ranah lain bisa kita setarakan dengan sebuah puisi. Indah dan penuh kedalaman makna. Semoga kita menemukannya dalam Euro 2021 dan Copa America yang tengah berlangsung ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Zinedine Yazid Zidane boleh saja menjadi pujaan penggemar sepakbola dunia. Tetapi bagi sebagian penulis biografi, Zidane mungkin bukan obyek favorit penulisan. Kenapa? Tentu saja bukan karena kisah hidup gelandang legendaris Prancis ini tak berwarna. Tidak pula disebabkan Zizou –demikian sapaannya— tak memiliki karisma. Untuk dua hal itu Zidane lebih dari sekedar memenuhi syarat. Bahkan perbawanya tak luntur setelah insiden tandukan kepalanya atas Marco Materazzi di Paiala dunia.

Jadi kenapa? Sebabnya adalah Zidane agak miskin dengan pernyataan-pernyataan filosofis yang menjadi kegemaran para penulis. Dalam sebuah wawancara di televisi, misalnya, sang penanya gagal mendapat jawaban yang diharapkan ”quote-able” untuk pertanyaan berikut: Apakah sewaktu kecil anda bermimpi menjadi pemain nasional Prancis?

Zidane menjawab singkat: Tidak. Waktu kecil, ”Saya hanya menginginkan bola kulit dan sebuah sepeda,” katanya. Sederhana dan telak. Masa kecilnya yang sengsara memang tak memungkinkan ia memiliki impian muluk-muluk.

Beda di depan pewawancara, lain di lapangan. Di dalam arena, Zidane adalah penafsir ulung atas filsofi sepakbola. Hal itu ia lakukan secara sempurna bersama rekan-rekannya dalam Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 saat Prancis menjadi kampiun. Tim Les Bleus kala itu adalah skuad yang piawai menerjemahkan bahwa sepakbola adalah permainan tim tanpa menafikan keindahan ketrampilan individu. Sedang kemenangan hanyalah konsekwensi. Itulah inti filosofi sepakbola.

Dalam benak saya demikianlah semestinya sebuah tim sepakbola diracik. Jika sebuah tim mampu mencapai kasta permainan demikian, sepakbola tak lagi sekedar adu otot dan tenaga. Ia akan menjadi sebuah seni. Sepak bola mungkin akan bermetamorfose menjadi puisi—wilayah dimana keindahan dan kandungan makna saling menjalin memuliakan kemanusiaan.

Pada Tim Prancis 1998 dan 2000 hal itu mewujud demikian nyata. Tim juara ini digawangi individu multi-ras namun mereka sukses meleburkan perbedaan. Bukankah orang-orang yang mampu menisbikan perbedaan fundamental demi tujuan bersama, adalah mereka yang sejatinya tahu benar arti kemanusiaan? Itulah yang dilakukan Zidan dan kawan-kawan kala itu. Di tingkat klub apa yang dilakukan Prancis itu berhasil dicapai Barcelona di bawah asuhan Pep Guardiola. Pelatih ini lalu juga bisa disebut sukses saat memimpin Bayern Muenchen dan kini Manchester City.

Pada Piala Dunia 1998 silam, salah satu tim --dari sedikit sekali-- yang sukses mencapai kasta itu adalah Spanyol. Maka pencapaian La Furia Roja hingga ke babak final adalah imbalan yang pantas bagi mereka. Kebenaran telah ditegakkan!

Pada Euro 2021 dan Copa America ini tim manakah yang mencapai kasta itu? Hal itu masih belum bisa ditentukan, karena putaran pertama saja baru selesai. Tetapi kita sudah bisa menyaksikan keindahan olah raga ini saat terjadi insiden Christian Eriksen (Denmark) kolaps di lapangan. Saat itu timnya sedang berlaga melawan Finlandia, dan ia mendadak jatuh tertelungkup. Eriksen terkena serangan jantung.

Peristiwa itu menghamburkan simpati dari banyak kalangan. Mulai dari pemain Finlandia, pemain-pemain lain, dan masyarakat dunia. Mereka memberikan dukungan pada Eriksen agar bertahan. Pemain Finlandia tak melakukan selebrasi saat sukses mencetak gol. Romelu Lukaku juga mendedikasikan gol-nya kepada Eriksen saat Belgia meladeni timnas Rusia. Pada akhirnya sepak bola hanya permainan, dan lebih penting dari itu adalah kemanusiaan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya pernah mengutip pernyataan Hanning Mankell, penulis kondang Swedia. Kata dia, seni (sastra) dan sepak bola berurusan dengan hal sama, yakni konflik, kontradiksi, dan solusi. "Sastrawan dan pemain sepak bola harus membuatnya menarik, agar bisa dinikmati," titahnya.

Beberapa penyair Inggris kontemporer bahkan melangkah lebih jauh. Banyak diantara mereka menulis puisi berdasar refleksi atas permainan sepak bola. Lihatlah yang dilakukan Tony Harrison. Oleh penyair kontroversial ini, berbagai pertentangan dalam masyarakat ia tulis dengan metafora yang diambil dari sepak bola. Ia, misalnya, mengkritik polarisasi sosial namun pada saat yang sama menyokong harmoni.

Rasanya Pep Guardiola memahami dengan baik pikiran Mankell dan Harrison itu. Di tangannya sepak bola telah kembali ke inti filosofi yang sejati. Ia memiliki pemain-pemain terbaik di dunia saat menukangia Barcelona. Tetapi Pep –pecinta musik dan buku-buku bermutu itu-- berhasil mengembangkan solidaritas yang mengatasi ego masing-masing anak didiknya, tanpa membuat keunikan individu tenggelam. Itu membuat Barcelona menjadi semacam sebuah maha-karya seni.

Tetapi, toh, kita tahu Barcelona akhirnya ditekuk sepak-bola defensif ala Inter Milan di Liga Champions. Seperti halnya Prancis takluk pada sepak-bola gerendel Italia pada Piala Dunia 2006.

Kini, di Euro 2021 masih saja ada yang "mengkhianati" sepakbola dengan permainan negatif. Bertahan totsa. Apakah bakal ada titisan Zidane dan Guardiola yang terus mengawal intisari sepak bola agar permainan ini tetap indah dan tidak asal memburu kemenangan?

Apakah kita bisa menaruh harapan itu pada N'Golo Kante, gelandang bertahan Prancis, yang disegani kawan dan lawan, di dalam maupun di luar lapangan?

Menunggu kemungkinan-kemungkinan itu, mungkin juga menjadi sisi menarik bagi kita para penonton yang jauh dari arena pertandingan. Mungkin...

 

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB