x

Ilustrasi: berpikir sistemik

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 5 Agustus 2021 17:09 WIB

Kegemaran Pejabat Mengulang-ulang Ucapan Normatif

Pejabat publik kerap berujar bansos tidak boleh dipotong, korupsi lebih gila dibanding masa Orde Baru, atau pelayanan kesehatan harus cepat. Semua orang sudah tahu mengenai hal itu. Ucapan normatif seperti itu tak perlu diulang-ulang, segeralah bertindak agar bansos tidak disunat dan laju korupsi terhenti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Membaca berita di media online maupun mendengar ucapan pejabat publik di televisi sering membuat kita menepuk jidat sendiri. Terheran-heran kita mendengar pejabat berujar: “Tidak boleh ada pemotongan bansos.” Berulang kali ucapan ini dilontarkan, oleh pejabat yang sama maupun berbeda, oleh politisi yang sama maupun berbeda.

Ada pula pejabat tinggi yang mengatakan korupsi saat ini lebih gila dari Orde Baru, lha terus mau apa? Sebagai orang yang diamanahi wewenang dan tugas, apa yang akan Anda lakukan agar korupsi lebih sehat? Ada juga pejabat yang menyatakan bahwa penyaluran bansos menyebabkan kerumunan. Lha, bukankah penyaluran bansos itu yang menangani pejabat dan yang bisa mencegah kerumunan itu pejabat juga? Mengapa tidak bertindak, mengapa hanya mengeluarkan pernyataan normatif?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang membuat omongan itu menggelikan ialah karena ucapan-ucapan seperti ini terkesan normatif sekali, dalam pengertian siapapun akan mengatakan begitu. Rakyat pun, sebagai penerima bantuan sosial, juga akan mengatakan kalimat yang sama. Sudah jelas dan terang-benderang, sebab bantuan itu memang untuk rakyat bawah yang menghadapi ujian sangat berat lantaran pandemi berkepanjangan ini.

Apa yang dibutuhkan oleh rakyat adalah tindakan yang lebih konkret, apa sih langkah-langkah yang ditempuh agar pemotongan bansos itu tidak lagi terjadi? Apa rencana yang sudah disusun dan bagaimana aplikasinya di lapangan? Apa tindakan pencegahannya,apa tindakan yang akan diambil bila ada indikasi penyunatan, dst. Yang normatif, semua orang sudah tahu, yang belum tahu adalah apa langkah pencegahan dan apa tindakan bila masih juga terjadi penyunatan bansos. Bila pejabat setingkat menteri saja menyunat, maka yang setingkat lurah dan RW pun berpotensi mencontoh.

Rakyat menghendaki tindakan yang lebih konkret, dalam pengertian apa yang normatif tersebut dipraktekkan ke dalam sejumlah langkah yang dapat diterapkan agar bansos dapat diterima rakyat secara utuh dapat terwujud. Pejabat publik semestinya berbicara tentang yang konkret, aplikatif, mencerminkan adanya upaya dan tindakan, memperlihatkan adanya langkah-langkah yang ditempuh.

Cukuplah ucapan normatif yang rakyat pun sudah tahu seperti: “Tidak boleh ada pemotongan bansos.” Ya sudah pasti memang harus begitu. Tantangannya: bagaimana agar bansos itu benar-benar tidak disunat di tengah jalan sebelum sampai di tangan yang berhak menerimanya? Pejabatlah yang mestinya menjelaskan, sebab tugasnya memang itu dan pejabat diberi kewenangan untuk mengambil tindakan.

Ada saja pejabat publik yang nyaris setiap hari melontarkan ucapan sejenis itu, dan anehnya juga selalu dikutip dan dipublikasikan oleh media massa: harus ini, harus itu. Sayangnya, blio-blio ini sepertinya tidak sepenuhnya menyadari bahwa sebagai pejabat yang memiliki wewenang, dialah yang harus bertindak: sidak dengan pengawalan minimum, tidak usah mengajak jurnalis agar tidak ketahuan, tidak perlu mengajak anak buah agar tidak bocor, dan tidak perlu pencitraan.

Datangi rumah-rumah rakyat agar tahu persis apa yang mereka terima, layaknya Umar bin Khattab yang mendatangi seorang janda yang tengah memasak batu untuk menenangan anaknya yang menangis karena lapar. Hati Umar tersentuh, ia datangi lumbung negara dan mengambil gandum secukupnya untuk diserahkan kepada keluarga janda itu. Ia tolak bantuan ajudannya untuk mengangkat karung gandum itu, karena ia ingin merasakan sendiri beban yang sama seperti dialami rakyatnya.

Kerja pejabat publik tidak lagi cukup berbicara normatif, sebab fungsi eksekusi keputusan pun berada di tangan mereka. Pejabat publik bukan orang yang tugasnya sekedar memberi ide, tapi harus sekaligus mengeksekusi ide—dalam arti menjadi motor orang-orang di sekelilingnya untuk bergerak dan melakukan tindakan konkret. Jika bansos tidak boleh disunat, ia memikirkan bagaimana cara mencegahnya dan sekaligus menjalankannya agar bansos betul-betul tidak bisa disunat hingga sampai utuh di tangan rakyat yang berhak menerimanya.

Sayangnya, banyak pejabat publik yang merasa bahwa ia cukup menyampaikan panduan normatif seperti itu dan merasa tidak perlu mengeksekusi apa yang ia sampaikan, padahal ia seorang pejabat eksekutif—yang berarti pelaksana. Ia bersikap seolah-olah pengamat dari luar yang memahami keadaan dan kemudian mengatakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi suatu keadaan. Lantas kenapa ia tidak melakukannya sendiri? Bukankah sebagai eksekutif, ia telah diberi kewenangan mengeksekusi alias bertindak? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler