x

Santri di era digital

Iklan

Moh Nur Nawawi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 November 2019

Sabtu, 23 Oktober 2021 12:54 WIB

Santri dan Media Sosial

Santri adalah elemen masyarakat yang memiliki kelebihan dibidang keilmuan agama, hukum hukum agama serta praktik sosial masyarakat. Diera digital dengan mewabahnya medsos santri harus bisa mengkolaborasikan keilmuan keagamaan dengan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi di barengi kemampuan menulis yang baik agar mampu memproduksi konten yang menyejukkan dan menangkal berita bohong dimasyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dewasa ini media sosial (medsos) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Masyarakat bukan lagi bersosial dalam dunia nyata tapi juga melakukan hiruk pikuk interaksi di dunia maya. Media sosial bukan hanya sebatas media interaksi tapi lebih dari itu media sosial juga berperan dalam pembentukan opini masyarakat dewasa ini. Tulisan sebagai bagian penting dari medsos memiliki fungsi dalam membentuk opini masyarakat. Tapi pada faktanya tidak semua tulisan yang membanjiri medsos bermanfaat, tidak sedikit yang berisi berita bohong (hoak), fitnah, dan ujaran kebencian yang tentunya menyesatkan dan meresahkan.

Santri sebagai bagian dari masyarakat yang sudah memiliki nilai luhur dimasyarakat dimana santri dikenal dengan kelompok masyarakat yang banyak mengenyam pendidikan keagamaan. Santri juga menjadi salah satu elemen bangsa ini yang memiliki peranan besar mengklarifikasi (tabayun) dan meng-counter berbagai tulisan fitnah terutama yang berkaitan dengan isu agama. Para santri dapat dapat berperan dengan mengisi medsos dengan beragam tulisan yang benar dan bermanfaat yang mampu menyejukkan kehidupan sosial masyarakat khususnya di media sosial atau dunia maya.

Memahami konteks santri dapat kita lihat dalam pandangan Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) istilah santri memiliki dua makna. Pertama, santri adalah murid-murid yang belajar di lembaga pesantren. Pengertian kedua, santri memiliki arti yang lebih luas mencakup orang Islam yang taat baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis. Akan tetapi, diakui atau tidak, istilah santri banyak merujuk pada kelompok masyarakat muslim yang dekat dengan dunia pesantren, Jam’iyah Nahdlatul ‘ulama dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebagai kelompok bernaungnya para santri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diketahui bersama bahwa para santri pondok pesantren maupun alumninya merupakan kekuatan Islam moderat ahlussunah wal jamaah (aswaja) di Indonesia. Mereka adalah generasi Islam santun ala Indonesia yang berbaur bersama masyarakat Indonesia dan memiliki tempat yang baik di tengah masyarakat. Di era informasi yang semakin pesat tentu sangat perlu membekali santri dengan berbagai keterampilan untuk menjawab tantangan zaman yang senantiasa berubah. Kemampuan menulis adalah salah satu bekal yang penting dan harus dimiliki para santri.

Secara umum mungkin dunia menulis – menulis suatu karya – masih asing bagi para santri dibandingkan dengan dunia ceramah, walau faktanya banyak kalangan santri yang aktif menulis khusus nya menulis dalam konteks keagamaan dan keilmuan agama. Tapi untuk isu sosial kemasyarakatan masih belum banyak tulisan dari santri yang memenuhi media Indonesia. Secara umum diketahui para santri lebih banyak menyalurkan keilmuannya lewat media dakwah secara vokal seperti ceramah. Di pondok pesantren maupun pendidikan tradisional di masyarakat, pelatihan ceramah melalui kegiatan khitobah diselenggarakan secara rutin dan bergiliran di antara para santri. Melalui kegiatan tersebut diharapkan para santri kelak tidak canggung untuk memberikan ceramah atau tausiyah kepada masyarakat di lingkungannya. Lalu bagaimana dengan menulis?

Program menulis dapat dikatakan belum dapat berjalan sebaik ceramah atau khitobah. Menulis bagi para santri masih dimaknai sederhana yaitu memberi makna atau keterangan dari kitab-kitab klasik (baca: kitab kuning) yang dikaji. Menulis belum dimaknai untuk menulis suatu karya seperti buku, esai, berita atau opini di media massa.

Padahal jika melihat ke belakang, tidak sedikit para ulama terdahulu yang menulis karya (baca: kitab). Karya-karya ulama besar – untuk menyebut beberapa nama – seperti Imam Syafi’i, Imam Ghozali, Imam Nawawi al-Bantani hingga kini masih banyak dikaji di pesantren. Melalui tulisan, luasnya ilmu yang para ulama miliki menjadikan generasi penerus dapat mengkajinya secara berulang-ulang. Fakta tersebut menjadi bukti bahwa tulisan memiliki peran strategis untuk keberlanjutan (sanad) sebuah ilmu pengetahuan agama.

Melalui tulisan pula, karya-karya ulama besar dapat dikaji tidak hanya di tempat mereka hidup, tetapi menyebar ke berbagai tempat dan zaman. Singkatnya, Jangkauan pengaruh tulisan menembus batas wilayah dan masa serta terjaga keasliannya.

Realita dunia pesantren atau dunia santri ini tentu suatu otokritik bagi perkembangan generasi muslim, dimana para pendahulu adalah para generasi aktif dalam tulisan tulisan dalam bentuk kitab kitab yang hingga saat ini terus dikaji. Tentunya permasalahan tersebut harus dianggap serius dan segera diberi solusi yang tepat. Hal yang sangat penting yang diperlukan oleh para pengurus pondok pesantren adalah memberikan motivasi dan tips menulis dengan cara mendatangkan penulis, wartawan, atau novelis. Di samping itu juga kurikulum pesantren harus menunjang proses penulisan bagi para santrinya. Misalnya dengan adanya forum (halaqoh) menulis dan ruang untuk menampung karya santri seperti mading, koran, website, dan buletin.

Untuk melatih menulis sebuah cara sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan membuat catatan harian. Para santri dapat memulai dengan membuat catatan harian. Buku tersebut dapat diisi dengan berbagai pengalaman sehari-hari santri, rangkuman ilmu, pengalaman rohani, atau hal-hal yang menarik lainnya di seputar dunia pesantren. Hal ini akan berimbas positif bagi kemampuan menulis santri sehingga lambat laut dengan bertambahnya keilmuan, dan pengalaman yang santri dapat akan semakin aktif melakukan kajian dan menuangkan dalam sebuah tulisan yang mampu memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Sepertinya sederhana, tetapi jika dilakukan secara bersama-sama dan terus-menerus dapat melahirkan para penulis produktif dari kalangan para santri. Catatan harian menjadi langkah awal menjadi penulis produktif dan dalam jangka waktu yang panjang dapat pula memperkaya khazanah peradaban pesantren.

Dengan pengetahuan agama yang relatif mendalam, ditambah dengan kemampuan menulis yang baik, para santri dapat berdakwah tidak terbatas pada lingkungan tempat mereka tinggal, tetapi juga berdakwah kepada masyarakat lain di berbagai daerah, bahkan dunia. Di samping itu juga, karya para santri dapat menepis berbagai informasi yang bersifat radikal dan hoax yang beredar luas di dunia maya.

Ke depan, para santri maupun alumnus pesantren diharapkan tidak hanya pandai membaca kitab kuning, dzikir, dan berceramah, tetapi juga menjadi generasi penulis. Tantangan para santri hari ini dan ke depan adalah berdakwah tidak hanya di ranah offline tetapi juga online. Medan dakwah santri tidak hanya dunia nyata tapi juga dunia nyata.

Keilmuan santri dalam hal agama dan budi pekerti yang dibarengi keterbukaan pemikiran santri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dibarengi kemampuan menulis yang baik maka akan memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat berupa banyaknya referensi masyarakat terkait permasalahan keagamaan kontemporer, isu isu terkini hingga upaya menangkal berita bohong, ujaran kebencian yang bisa memecah belah masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Moh Nur Nawawi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu