x

Layar pergerakan Index Saham Gabungan (Foto: Bisnis.Tempo)

Iklan

Focusinbusiness

Exploring Everything
Bergabung Sejak: 29 Oktober 2021

Rabu, 3 November 2021 08:14 WIB

Di Balik Kisah Sukses atau Kegagalan Sebuah IPO

Sepanjang tahun 2020-2021 IPO atau go public sebuah perusahaan menjadi pembicaraan hangat di publik. Terlebih saat investasi saham makin dilirik generasi milineal. Perusahaan dari segala skala berlomba-lomba melakukan IPO. Pada 2020 Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah IPO terbanyak di Asia Tenggara, dan ke-6 di dunia. Tapi apakah semua perusahaan sukses melakukan IPO dan mendapatkan dana segar dari publik? Tidak! Ada banyak faktor kegagalan itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepanjang tahun 2020-2021 IPO menjadi pembicaraan hangat di publik. Terlebih saat investasi saham makin dilirik generasi milineal. Perusahaan dari segala skala sepertinya berlomba-lomba untuk melakukan IPO. Bahkan 2020 lalu, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah IPO terbanyak di Asia Tenggara dan menempati posisi ke - 6 di dunia. 

Sekedar Informasi, IPO atau yang sering disebut dengan go public adalah penawaran saham perdana pada masyarakat luas oleh perusahaan. Melalui IPO sebuah perusahaan tertutup (dalam artian saham hanya dimiliki oleh internal perusahaan) menjadi perusahaan terbuka yang sahamnya bisa dibeli oleh masyarakat luas. Selain itu IPO juga memungkinkan sebuah perusahaan memiliki pemodalan yang optimal karena posisinya sebagai perusahaan publik sehingga dapat memanfaatkan pasar modal untuk menyerap pendanaan, seperti melalui penawaran umum terbatas, secondary offering atau private placement. Bahkan perusahaan yang telah go public tidak perlu  door to door untuk mencari investor, karena namanya telah dikenal. 

Melihat tren meningkatnya jumlah emiten yang masuk di BEI sejak 2020 lalu, tren go public di Indonesia sepertinya masih akan terus berlanjut, asalkan pergerakan Indeks Harga Gabungan masih terjaga. Bahkan tren ini bisa meningkat jika IHSG mampu melebihi level 6.000. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Walaupun terlihat menyenangkan mendapatkan dana segar dari publik, namun tidak semua perusahaan sukses melakukan IPO dan mendapatkan dana segar dari publik. Ada beberapa perusahaan yang tercatat gagal melakukan debut IPO. Faktor kegagalannya pun juga bermacam-macam, namun faktor-faktor tersebut selalu berkaitan satu dan lainnya.

Ada perusahaan yang terbukti sukses melakukan IPO, namun ada juga yang terbukti gagal melakukan IPO. Faktor kegagalan IPO sendiri terdiri dari beberapa hal dan saling bertautan, yakni : harga, timing, ketidakpastian prospek bisnis, kekhawatiran terkait kapabilitas perusahaan, kekhawatiran terhadap cara perusahaan memperlakukan pekerja serta adanya risiko/kemungkinan jika perusahaan mengalami benturan dengan peraturan di masa depan.  Salah satu perusahaan yang baru-baru ini mengalami kegagalan dalam melakukan IPO adalah Deliveroo Company. Bahkan, salah satu bankir perusahaan mengatakan kepada Financial Times bahwa itu adalah "IPO terburuk dalam sejarah London."

Seperti halnya debut IPO perusahaan lain, debut pasar Deliveroo ditargetkan sukses besar. Sebab, startup pengiriman nomor satu di Inggris ini berkembang pesat sejak pandemi. Sayang, saham perusahaanya justru jatuh hingga 26% di bawah harga pencatatan di hari pertama debut pada 31 Maret 2021. Deliveroo juga kehilangan 1,9% lagi pada hari selanjutnya. Padahal, sebelum debut IPO Deliveroo telah membujuk pelanggannya untuk membeli saham dengan menampilkan penawaran di aplikasi utama dan mengirim email sebelum pencatatan. Hasilnya, sekitar 70.000 pelanggan Deliveroo setuju untuk membeli saham senilai 50 juta pound atau sekitar Rp 1 triliun (asumsi Rp 20.000/pound) dengan harga penerbitan 3,90 pound (Rp 78 ribu) melalui PrimaryBid. Akan tetapi, di hari debut IPO harga saham Deliveroo justru merosot serendah 2,75 pound (Rp 55 ribu). 

Di dalam negeri, kegagalan debut IPO pernah dialami oleh Garuda Indonesia. Tepatnya 3 Februari 2011 lalu, di hari pertama debut di Bursa Efek harga saham PT Garuda Indonesia Tbk ajlok ke Rp 620 dari harga perdana Rp 750 atau turun sekitar 17,33 persen . Parahnya, dari total saham yang ditawarkan sebanyak 6,335 miliar saham, 3,008 miliar saham di antaranya harus diserap oleh para penjamin pelaksana emisi (joint lead underwriters) yang notabene anak perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).  Dalam kata lain, justru pemerintah sendiri yang harus membeli saham Garuda, dan bukan investor publik.

Walaupun terdengar seram, praktiknya kegagalan IPO tidak selalu berpengaruh terhadap penjualan saham secara berkelanjutan. Penyesuaian strategi, menjadi salah satu cara yang bisa digunakan untuk "menolong" perusahaan yang terancam gagal dalam melakukan IPO. Di Indonesia, praktek penyesuaian strategi ini telah diterapkan oleh PT ZBRA NUSANTARA Tbk. ZBRA memang tidak gagal  saat pertama kali melakukan go public, namun harga saham ZBRA sempat merosot di angka Rp. 50,00 (jika dibandingkan dengan harga penawaran saat pertama kali melakukan IPO pada 1 Agustus 1991 yang stabil di angka Rp. 1500,00 persaham). Bahkan BEI sempat menghentikan  perdagangan saham ZBRA sejak 3 Juli 2017 karena perusahaan tersebut terlambat menyerahkan laporan keuangan tahun buku 2016.

Perubahan strategi yang dilakukan oleh ZBRA dilakukan melalui penjualan saham kepada Rudy Tanoesoedibjo. Pada 10 Maret 2021 lalu, Rudy Tanoe melalui PT. Trinity Healthcare secara resmi menjadi pemegang saham pengendali ZBRA. Ia mengakuisisi saham ZBRA sebesar 51%. Strategi inilah yang kemudian membawa angin segar pada penjualan saham ZBRA. Yang mana sepekan setelah pengumuman akuisisi, harga saham ZBRA melonjak hingga 126,98%. Melalui akuisisi ini juga ZBRA berhasil mengubah ekuitas  dari negatif menjadi positif. Dari yang awalnya minus Rp 10,7 miliar berubah menjadi positif di angka Rp 1,3 triliun di kuartal III 2021. 

Kedua kasus di atas memberikan gambaran nyata tentang bagaimana pengaruh strategi terhadap keberhasilan sebuah IPO perusahaan dalam jangka panjang. Kegagalan emiten saat melakukan debut saham bisa diatasi asalkan sebuah perusahaan mampu mengidentifikasi faktor kegagalan dan menemukan strategi untuk mempengaruhi minat publik untuk membeli saham perusahaan. Seperti strategi ekspansi perusahaan setelah IPO, sosok dibelakang perusahaan, inovasi perusahaan, berita-berita yang melekat pada citra perusahaan. 

 

 

 

 





Ikuti tulisan menarik Focusinbusiness lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu