x

Berpikir kritis dan mengambil keputusan yang rasional adalah cara ampuh melawan hoax

Iklan

Andree Sunsafarin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Selasa, 30 November 2021 23:26 WIB

Antara Covid-19, Manusia yang Berpikir, dan Peran Pendidikan Indonesia

Artikel ini mengulas secara filosofis hubungan antara covid-19, manusia sebagai cogito ergo sum, dan peran pendididikan di Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Antara Covid-19, Manusia yang Berpikir, dan Peran Pendidikan Indonesia

By Adrianus Safarin

Covid bagai pedang bermata dua. Di satu sisi menakutkan, di sisi lain melahirkan kreatifitas. Ia hadir pertama-tama sebagai wacana, wacana dari negeri Jiran yang kata menteri Terawan tidak punya bahaya. Namun ketika bisanya masuk pintu bandara, nestapa dan lara perlahan menghantui dan membuat sendi kehidupan negara ini lumpuh total. Rencana-rencana indah dibatalkan, bulan madu terbengkalai, ceraipun menjadi-menjadi, bisnis gagal total, pendidikan menjadi ruang maya. Covid boleh menang dalam segala aspek, namun satu hal yang sulit dia taklukan adalah pikiran manusia. Namun, covid juga tahu bahwa pikiran yang merupakan kekuatan manusia adalah juga kelemahannya. Sebelum menyerangnya secara fisik, ia menebarkan ketakutan. Ketika pikiran dipenuhi rasa takut, manusia yang mulia itu kalah.  Kamu yang sedang membaca artikel ini, adalah pemenang. Mungkin menang karena vaksin, tetapi yakinlah itu karena kekuatan pikiranmu, selebihnya adalah pola hidupmu yang sehat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Manusia adalah animal rationale, makluk yang berpikir. Berpikir adalah kegiatan eksistensial manusia. Rene Decartes, filsuf peletak dasar filsafat modern mengatakan, Cogito Ergo Sum” “Aku berpikir maka aku ada”. Saking fundamentalnya kegiatan berpikir ini, maka Ia diletakkan sebelum aku yang ada, artinya berpikir adalah prasyarat eksistensi manusia. Ketika manusia berhenti berpikir, ia tidak eksis lagi. Semboyan “cogito ergo sum” ini kemudian pelatak dasar lahirnya rasionalisme yang melahirkan abad pencerahan (renaissance) ditandai dengan munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan: Science dan Technology. Tidak heran Eropa sekarang itu maju, karena peradaban mereka lahir dari kegiatan berpikir atau rasionalisasi. Ketika covid menyerang Eropa, orang Eropa sudah punya modal, yakni kekuatan pikiran mereka, selebihnya adalah fasilitas kesehatan, tenaga ahli dan ilmuwan yang memadai.

Indonesia, kalah dalam segala hal. Mulai dari jajaran pemerintahan yang gagal berpikir sejak dini sampai pada masyarakatnya yang suka gossip dan percaya hoax. Pokoknya amburadul.  Harusnya, pemerintah tidak boleh gagal berpikir dari awal. Contohnya, mereka tahu covid-19 menyerang dengan cepat, tetapi pintu penerbangan internasional masih terbuka lebar. Okailah, tidak boleh menyesal, tapi berikutnya pemerintah juga gagal memberikan informasi yang akurat tentang covid-19. Ada yang bilang yang sakit saja yang boleh pakai masker. Selang hari semua diwajibkan pakai masker. Terburu-buru dan tidak tertata. Anehnya para komunikan bukan orang yang ahli tentang covid, tapi orang partai, jubir dan semacamnya.  Masyarakat bingung, akhirnya semakin gagal berpikir. Ada yang pro conspiracy theory, ada yang ikut arus, dan ada yang apatis tidak mau tahu sama sekali.  Namun, ada orang yang betul-betul beripikir, mereka umumnya adalah para pencari kebenaran data ilmiah tentang covid-19. Mereka membaca/mendengarkan berita, benar-benar berita, bukan hoax atau portal news, membaca jurnal-jurnal ilmiah tentang perkembangan covid-19, mendengarkan ceramah ilmuwan yang umumnya dari luar negri. Mereka tidak lagi mengurus hoax, tetapi pulang ke rumah menyiapkan strategi yakni merawat diri, pikiran dan hati. Mereka tahu tiga hal itu adalah kunci pertahanan tubuh, terlepas ada tidaknya sebuah virus. Tetapi itu terjadi karena mereka adalah makluk yang berpikir.

Covid-19 juga menyerang salah satu aspek pembentukan manusia yang berpikir yakni pendidikan. Di tengah serangan covid-19, peran pendidikan adalah krusial yakni membentuk kultur berpikir yang rasional. Hal ini harus dimulai dari tingkat pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Siswa dilatih untuk berpikir kritis dan rasional sejak dini dalam menganaisis suatu permasalahan. Kebutuhan berpikir kritis dan rasional ini sangat krusial mengingat dengan konsep “merdeka belajar” siswa dan mahasiswa akan beriteraksi lebih banyak dengan ruang internet dan media untuk akses informasi atau kebutuhan belajar. Siswa atau mahasiswa yang berpikir kritis akan mampu memilah antara fakta dan hoax, dan mengambil keputusan yang rasional bagi perkembangannya.  Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dekade terakhir ini kita gagal membangun pendiddikan yang menghasilkan insan-insan kritis dan rasional. Masyarakat yang bisa dikatakan reprentasi dari produk pendididikan, masih sangat mudah percaya hoax dan tidak rasional dalam mengambil keputusan, terutama kemampuan memvalidasi informasi yang didapatkannya. Pendidikan di Indonesia harus bisa memerdekakan masyarakatnya dari hoax. Produk pendidikan yang kita inginkan adalah masyarakat yang kritis dan rasional. Jika ini terwujud kita sebagai bangsa Indonesia akan memiliki modal kesadaran kolektif yang kuat dalam menghadapi bencana apapun wujudnya.

 

 

**** Penulis adalah Guru bahasa Inggris di Sekolah Anak Indonesia, Sentul, Bogor. ***

Ikuti tulisan menarik Andree Sunsafarin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler