x

-

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 3 Februari 2022 14:27 WIB

Perbedaan antara Merek dengan Hak Cipta dan Dampak Hukumnya

Masih ada yang bingung membedakan antara Merek dan Hak Cipta. Kasus yang hangat adalah sengketa antara Starbucks Amerika versus Stabucks Sumatera. Sebenarnya Hak Cipta dan hak Merek sama-sama masuk dalam “naungan” Hak Atas Kekayaan Intelektual. Tetapi keduanya memiliki undang-undang tersendiri. Simak penjelasan berikut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi sebagian orang, putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  (PN Jakpus) atas perkaran No,. 51/Pdt.Sus-HKI/2021/PN Jkt.Pst., antara Starbucks Corporation melawan PT Sumatra Tobacco Trading Company, mungkin mengagetkan. Perusahaan jasa boga asal Amerika Serikat itu tak terima namanya dipakai sebagai merek rokok oleh sebuah perusahaahn di Pematangsiantar, Sumatera Utara (Sumut). Perusahaan di Sumut itu membuat merek rokok dengan nama “Starbucks”. Lalu apa putusan PN Januari lalu? Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Dan menghukum Penggugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara yang ditetapkan sebesar Rp. 4.490.000,00 (empat juta empat ratus sembilan puluh ribu rupiah). Jadi perusahaan di Sumatra Utara itu tetap bisa memproduksi rokok dengan merek “Starbucks”.

Saya tak bermaksud membahas sengketa ini sekarang, karena kasusnya masih berada di Mahkamah Agung (kasasi). Kita tunggu saja hasil putusan MA. Saya menggunakan kasus tersebut sebagai contoh untuk menjelaskan perbedaan antara “Merek” dan “Hak Cipta”. Sebab sampai saat ini, masih saja ada yang tidak bisa membedakan antara keduanya. Judul (tunggal) film, misalnya, banyak yang mengira dilindungi oleh Hak Cipta. Padahal sebenarnya ia dilindungi oleh Merek. Itu pun jika dianggap memenuhi syarat. Di Amerika Serikat, judul tunggal sekarang tidak bisa lagi dilindungi oleh UU Merek. Hanya judul serial yang akan dicatat dan dilindungi undang-undang merek. Di Indonesia, tampaknya judul tunggal pun tetap didaftar sebagai merek dagang. Sengketa “Sturbuck versus Sturbucks” di atas juga bukan sengketa hak cipta, tetapi sengketa merek dagang.

Supaya yakin, ini saya kutipkan beberapa petitum yang dimintakan oleh Stabucks Corporation kepada pengadilan. Antara lain,  menyatakan bahwa Tergugat beriktikad tidak baik pada waktu mengajukan permintaan pendaftaran merek (bukan Hak Cipta—KA) STARBUCKS No. Pendaftaran IDM000342818 di kelas 34 milik Tergugat. Lalu, membatalkan merek (bukan Hak Cipta—KA) STARBUCKS No. Pendaftaran IDM000342818 dalam kelas 34 milik Tergugat dari Daftar Umum Merek dengan segala akibat hukumnya. Kemudian,  Menyatakan merek (bukan Hak Cipta—KA) STARBUCKS milik Penggugat sebagai merek terkenal. Akhirnya,  memerintahkan kepada Turut Tergugat (Direktorat jenderal kementerian Hukum dan Ham—KA) untuk tunduk dan taat pada putusan Pengadilan dalam perkara ini dengan melaksanakan pembatalan pendaftaran merek (Bukan Hak Cipta—KA) STARBUCKS No. Pendaftaran IDM000342818 di kelas 34 milik Tergugat dengan cara mencoret pendaftaran merek tersebut dari dalam Daftar Umum Merek dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek sesuai dengan ketentuan Undang-undang Merek yang berlaku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hak Cipta dan Merek memang sama-sama masuk dalam “naungan” Hak Atas Kekayaan Intelektual (intelectual property rights). Tetapi keduanya memiliki undang-undang tersendiri. Hak Cipta dilindungi dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta; Sedangkan Merek dilindungi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu apa itu Merek? Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Fungsi sebagai tanda pengenal, alat promosi, citra dan reputasi barang atau jasa, dan untuk menunjukkan asal barang/jasa yang dihasilkan.

Di dalam undang-undang dibedakan antara merek dagang dan merek jasa. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Contoh: Samsung, Aqua; Sony; Nokia, dan lain-lain  Sedankan Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang  secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. Antoh: Hotel Hyatt; Ramayana; Carrefour, dan lain-lain. Ada juga sebenarnya kategori Merek Kolektif, tapi tidak saya terangkan di di sini.

Pembeda yang cukup penting antara hak cipta dan merek adalah masalah “legalitas” kepemilikannya. Hak ekslusif yang dimiliki seseorang atas merek muncul setelah pemilik tersdebut mendaftarkan hak merek, dan kemudian terbit sertifikat merek. Ini karena UU No. 20 Tahun 2016 menganut stelsel konstitutif, bukan deklaratis. Artinya, meskipunh seseorang telah menggunakan merek tertentu cukup lama, namun tidak mendaftarkan merek tersebut sesuai peraturan yang berlaku, maka yang bersangkutan belum dapat dikatakan sebagai pemilik hak merek tersebut. Nah, ini beda dengan dengan hak cipta. Sebab hak cipta menganut stelsel deklaratif, yakni hak sudah muncul secara otomatis ketika ciptaan syudah diungkapkan dalam bentuk nyata atau dipublikasikan. Pendaftaran hak cipta “hanya” menguatkan dan membantu legalitas Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Jadi, begitu Anda selesai menulis skenario atau buku, didaftarkan atau tidak, Anda sudah diangap sah memiliki hak cipta atas karya tersebut.

Lalu apa pula “merek terkenal” seperti yang dimintakan oleh Starbuck Corporation dalam gugatannya?  Jawaban pertanyaan tersebut tampaknya mula-mula harus ditelisik melalui Pasal 21 ayat (1) yang berkaitan dengan pendaftaran merek. Dikatakan di situ bahwa:  “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:

  1. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  2. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  3. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu;atau
  4. Indikasi Geografis terdaftar.”

Lalu, dalam Penjelasan huruf (b) dikatakan bahwa bahwa penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan.

Di samping itu, diperhatikan pula reputasi Merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek dimaksud di beberapa negara.

Jika  hal tersebut belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.

Pertanyaan spontan yang timbul, kenapa ketika PT Sumatra Tobacco Trading Company mendaftarkan merek “Sturbucks” tidak ditolak? Apakah Kemenkumham tidak tahu bahwa sudah ada nama “starbucks” yang terkenal itu? Atau hanya karena “beda kelas” pendaftarannya, artinya didaftarkan pada kelas atau kelompok yang berbeda dengan “Starbucks” milik perusahaan asal Amerika Serikat itu?

Padahal, ada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek. Dalam Pasal 18 sudah dijelaskan secara panjang lebar tentang kriteria merek terkenal. Kemudian dalam Pasal 19 diterangkan pula tentang penolakan berdasarkan merek terkenal. Selain itu, merek terkenal dilindungi oleh berbagai perjanjian internasional, misalnya Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention), dan the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rightsa (TRIPS Afgreement).

Tapi, seperti yang sudah saya katakan di atas, tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas sengketa antara Starbucks Corporation dan PT Sumatra Tobacco Trading. Tulisan pendek ini hanya sekadar ingin menggambarkan perbedaan-perbadaan utama antara “Merek” dan “Hak Cipta”. Dan perbedaan-perbedaan utama itu sebenarnya membawa konsekuensi yang berbeda dalam penanganan perkara antara hak cipta dan merek di pengadilan niaga. Biarlah itu menjadi catatan berikutnya...

  • Atmojo adalah penulis yang meminati berbagai masalah hukum.

                                                             ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler