x

Inang-inang Sedang Menanam Jelutung

Iklan

Didik Fitrianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Oktober 2020

Sabtu, 5 Februari 2022 06:48 WIB

Inang–inang Penyelamat Lahan Gambut di Tapanuli Selatan

Alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit oleh perusahaan dilakukan secara ugal-ugalan. Dampaknya, muncul banjir, kekeringan, kebakaran lahan, subsidence, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kemiskinan. Lahan gambut yang dulu menjadi harapan masayarakat, kini menyimpan nestapa. Para inang (ibu-ibu) menyadari harus ada dilakukan untuk keluar dari keterpurukan itu. Dan, mereka pun bergerak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 20 tahun yang lalu sebelum masuknya perusahaan sawit, Kelurahan Muara Manompas (dulu bernama Rianiate), di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan kawasan hutan gambut yang sangat luas. Kawasan ini memiliki peran strategis sebagai ekosisstem penyimpan air, penyedia habitat berbagai jenis hewan, penyedia spesies asli gambut, sebagai sumber pangan dan obat-obatan masyarakat sekitar. Dikelilingi dua sungai, Aek Batang Toru dan Aek Sibirong, Muara Manompas menjadi salah satu kawasan yang memiliki lahan gambut di pantai barat Sumatera.

Sejak masuknya perusahaan sawit terjadi alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit secara ugal-ugalan. Dampaknya sudah dirasakan masyarakat dalam 10 tahun terakhir, yakni datangnya banjir, kekeringan, kebakaran lahan, subsidence, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kemiskinan. Lahan gambut yang dulu menjadi harapan masayarakat, kini menjadi ancaman.

Waldemart Silitonga, salah satu tokoh masyarakat di Muara Manompas masih mengingat dengan baik kondisi lahan gambut 20 tahun yang lalu itu. Saat itu keadaannya masih berupa rawa dan dipenuhi berbagai jenis tanaman asli lahan gambut. Menurut ia hutan gambut juga menjadi sumber ekonomi masyarakat, dengan cara menangkap ikan yang sangat melimpah saat itu. Semuanya berubah saat pohon-pohon ditebangi, dibangunnya kanal-kanal, dan lahan gambut ditanami tanaman monokultur, sawit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masuknya perusahaan sawit juga membuat masyarakat berubah, yang dulunya petani tradisional dengan menanam aneka jenis tanaman seperti pisang, sayuran, jagung, jeruk, dan tanaman produktif lainnya di tanah mineral, akhirnya ramai-ramai ikut membuka lahan gambut menjadi perkebunan sawit. Dari sini malapetaka berawal. Sawit yang mereka tanam hanya dinikmati di lima tahun pertama masa panen, selanjutnya hasilnya terus menurun dan pohon sawit mulai bertumbangan.

Apa yang dilakukan?

Akibat rusaknya hutan gambut di Muara Manompas yang paling terdampak adalah kaum perempuan. Pemenuhan ekonomi rumah tangga mereka berkurang. Dan dampak dari kebakaran lahan gambut juga mengakibatkan kesehatan kaum perempaun dan anak menjadi sangat rentan. Para inang (ibu-ibu) lantas menyadari harus ada sesuatu yang dilakukan untuk keluar dari keterpurukan itu.

Difasilitasi oleh organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan, para inang mulai mengorganisir membentuk kelompok-kelompok dan mengikuti penguatan kapasitas tentang lingkungan. Mereka punya satu tekad, menyelamatkan lahan gambut. Upaya yang mereka lakukan, antara lain, membasahi kembali lahan gambut, menanami lahan gambut dengan tanaman asli, dan mengembangkan matapencaharian alternatif selain sawit.

Inang panen ikan di KJA

Untuk membasahi lahan gambut yang sudah mengering akibat banyaknya kanal-kanal yang dibuka, para inang dibantu para suami, membuat sekat kanal. Fungsi dari sekat kanal ini untuk mengurangi laju air yang keluar, meninggikan muka air, dan menyimpannya sehingga area sekitar tetap basah dan tidak mudah terbakar. Selain itu dengan basahnya kembali lahan gambut akan memudahkan pertumbuhan vegetasi baru, juga akan mencegah lepasnya emisi karena lahan gambut basah.

Salah satu penyebab rusaknya lahan gambut adalah hilangnya vegetasi asli yang terdapat di lahan gambut karena digantikan tanaman sawit. Untuk mengembalikan kondisi seperti semula, para inang melakukan penanaman kembali tanaman asli lahan gambut, seperti jelutung rawa dan sagu. Penanaman kembali ini membantu mitigasi perubahan iklim, tanaman jelutung dan sagu yang nanti tumbuh akan menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) dari proses fotosintesa vegetasi.

Permasalahan lain yang dihadapi para inang adalah sumber pendapatan ekonomi yang terus merosot. Sawit yang awalnya akan menjadi sumber ekonomi ternyata hanya menjadi impian belaka. Di awal-awal masa panen pertama, hasilnya bagus mereka bisa mendapatkan 1 ton. Tapi seiring lahan gambut yang terus mengering, beberapa kali terjadi kebakaran dan pohon sawit mulai roboh. Hasilnya hanya 200 – 500 kg setiap kali panen dalam dua minggu sekali. Dengan harga saat ini antara Rp 2000 – 2500, kebutuhan rumah tangga tidak tercukupi lagi.

Maka dibutuhkan sumber pendapatan baru atau matapencaharian alternatif. Mereka  memanfaatkan kanal-kanal yang sudah disekat dengan membuat keramba jaring apung untuk budidaya ikan lele. Hasilnya sangat bagus, dari keramba ukuran 2 x 6 M mereka bisa mendapatkan 500 Kg dengan harga perkilonya Rp 25 ribu. Dalam tiga bulan sekali mereka mendapatkan penghasilan Rp 12.500.000, sebuah penghasilan yang mereka tidak bisa dapatkan dari sawit di lahan gambut.

Mitigasi Berkelanjutan

kontribusi para inang di Muara Manompas dalam mitigasi perubahan iklim sangat layak diapresiasi. Peran mereka dalam menyelamatkan lahan gambut dengan kegiatan membasahi, penanaman kembali lahan gambut dengan tanaman asli, dan sumber pendapatan baru melalui mata pencaharian alternatif, sangat berfaedah. Hal itu sejalan dengan upaya pemerintah yang melakukan pendekatan 3R (Rewetting, Revegetasi dan Revitalisasi) dalam menekan laju kerusakan lahan gambut yang terus meningkat.

Lahan gambut mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia. Selain itu menurut Cifor (Center for International Forestry Reseacrh) lahan gambut memegang peranan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Walaupun jumlah lahan gambut hanya sekitar 3-5% di permukaan bumi, namun keberadaannya merupakan rumah bagi lebih dari 30% cadangan karbon dunia yang tersimpan di tanah. Diperkirakan lahan gambut menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia, dan empat kali dari yang ada di atmosfer. Lahan gambut di wilayah tropis menyimpan karbon yang paling banyak.

Apa yang dilakukan oleh para Inang di Muara Manompas tidak boleh dipandang sebelah mata dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Untuk jangka panjang, mitigasi perubahan iklim salah satu kuncinya ada di mereka para Inang. Mengapa? Kedekatan mereka dengan anak-anak akan memudahkan transfer pengetahuan tentang betapa pentingnya lahan gambut. Kelak, anak-anak mereka yang akan melanjutkan untuk menyelamatkan lahan gambut dan mengelolahnya agar tetap lestari.

 

 

Ikuti tulisan menarik Didik Fitrianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler