x

ilustr: SlidePlayer

Iklan

Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau)

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Agustus 2020

Selasa, 22 Februari 2022 12:02 WIB

Jalan Terjal Reformasi Birokrasi

Menyoal birokrasi tidak dapat dilepaskan dari anggaran publik yang membiayai penyelenggaraan birokrasi. Gemuknya struktur birokrasi yang minim manfaat membuat biaya operasional birokrasi mahal. Pemerintah juga harus bergegas melakukan perubahan sistem secara radikal. Reformasi birokrasi harus menyentuh akar persoalan, yakni aparat dan sistem korup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Birokrasi memegang peranan penting dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi negara. Ibarat sebuah mesin, birokrasi merupakan  penggerak berjalannya organisasi negara. Mesin yang sehat mengantarkan negara pada tujuan atau cita-citanya. Sebagaimana termuat dalam Konstitusi UUD 1945, bahwa cita-cita Negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melakukan ketertiban dunia”. Karenanya untuk mewujudkan cita-cita tersebut harus didukung birokrasi pemerintahan yang baik (good governance); transparan, akuntabel, partisipatif, supremasi hukum, dan pelayanan prima. Demikian halnya jika mesin Negara sakit maka semakin sulit dan lama cita-cita tercapai.

Jika diteropong realitas kini, mudah ditemui sengkarut tata kelola birokrasi mulai dari pelayanan berbelit, arogansi aparatur, dan biaya mahal, hingga pada persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pembelajaran dari sejarah jelas ketika birokrasi korup akan menghambat cita-cita Negara dan menambah beban penderitaan di tengah masyarakat. Kondisi birokrasi teramat korup pernah terjadi pada masa Orde Lama. Kemarahan rakyat atas situasi birokrasi korup memuncak pada Mei 1998 yang dikenal sebagai peristiwa reformasi. Salah satu tuntutan reformasi yakni menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pasca peristiwa reformasi ditempuh berbagai upaya reformasi birokrasi gencar dilakukan demi terwujudnya clean and good governance.

Melalui buku Reformasi Birokrasi dan Good Governance, penulis Abdul Rohman, S.Sos., M.A.P. dan Dr. Willy Tri Hardianto, S.Sos., M.M., M.A.P. mengurai konsep, teori, serta cita-cita reformasi birokrasi dan good governance di Indonesia. Bab bahasan dalam buku ini memuat di antaranya, Refornasi Birokrasi; Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi; Dinamika Sosial-Politik; Good Governance; dan Pelayanan Publik. Melalui kajiannya penulis mencoba menjelaskan betapa peranan birokrasi strategis dalam penyelenggaraan Negara mencapai cita-cita, terlebih dalam pelayanan publik. namun, menilik fenomena buramnya pelayanan publik menggambarkan reformasi birokrasi belum optimal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam pengantarnya penulis menegaskan adanya pergeseran filosofi birokrasi pemerintahan yang sejatinya bertugas melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat menjadi sosok yang ditakuti, arogan, menekan sekaligus seringkali menjadi alat merampas hak-hak rakyat. Melalui kekuasaan yang dimilikinya, pemerintah bertindak sebagai pemaksa masyarakat melalui aturan-turan yang dibuat demi kepentingan pribadi dan golongan, dan menjauh dari kepentingan publik. Layaknya penguasa bertangan besi yang bertindak sesuka hati dan membungkam suara-suara rakyat. Pada titik itu, birokrasi tidak lagi menjadi instrumen mencapai cita-cita rakyat, melainkan penghambat mencapai tujuan bersama dan dijadikan alat memenuhi hasrat pribadi dan golongan semata. Lagi-lagi bukan filosofinya yang keliru, melainkan ketiadaan moral dan sistem yang masih korup.

Membahas tentang birokrasi tidak dapat dilepaskan dari anggaran publik yang membiayai penyelenggaraan birokrasi. Gemuknya struktur birokrasi yang minim manfaat membuat biaya operasional birokrasi mahal. Data kemeterian keuangan mencatat temuan unik, sekitar 60-70 persen anggaran publik daerah terserap untuk belanja birokrasi, sementara sisanya untuk program-program yang langsung bersentuhan dengan kepentingan publik. Alokasi anggaran tersebut menunjukkan bahwasanya kepentingan publik seperti pelayanan publik dasar –pendidikan, kesehatan—belum dijadikan prioritas oleh pemerintah. Padahal, anggaran publik berasal dari rakyat yan tujuannya untuk kepentingan-kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya dari rakyat untuk menghidupi para birokrat.

Melihat sejumlah fenomena di atas seharusnya mendorong pemerintah dan seluruh elemen yang konsen mendorong perubahan agar bergegas melakukan perubahan sistem secara radikal. Reformasi birokrasi harus menyentuh akar persoalannya yakni aparat dan sistem korup. Keduanya perlu dibenahi bertahap. Untuk melakukan perubahan, kiranya perlu terlebih dahulu memahami secara lengkap dan komprehensif perihal konsep-teori reformasi birokrasi guna terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih (clean governance) dan good governance. Itulah yang diurai penulis dalam buku “Reformasi Birokrasi dan Good Governance”. Catatan kekurangan buku ini tertetak pada masih minim penyajian realitas maupun data kebobrokan birokrasi dan pelayanan publik serta sebaliknya contoh sukses reformasi birokrasi dan praktik pelayanan publik prima pada instansi pemerintahan tertentu baik di pusat maupun di daerah. 

Buku terbitan Intrans Publishing Malang ini membawa angin segar dengan bertambahnya referensi bagi pihak-pihak yang bersentuhan dengan kajian reformasi birokrasi dan kepemerintahan; birokrat, pegiat sosial yang konsen pada isu mendorong pemerintahan pro rakyat, serta bagi penstudi ilmu politik dan pemerintahan, ilmu administrasi Negara.

Ikuti tulisan menarik Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau) lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler