x

Iklan

Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau)

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Agustus 2020

Sabtu, 5 Maret 2022 05:14 WIB

Si Bung Jujur Nan Sederhana

Saya meyakini Bung Hatta tidak sedikit pun bermaksud “pesimis” lalu ikut arus menganggap korupsi “lumrah” dan perlu “dibudayakan”, sebaliknya ungkapannya merupakan sebuah kritik betapa kronisnya praktik korupsi di Indonesia. Untuk itu kita perlu membedah makna frasa dan realitas hari ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Korupsi Gaya Baru

Puluhan tahun lalu Bung Hatta pernah berucap bahwa “Korupsi sudah membudaya di Indonesia”. Ucapan yang kemudian menuai kehebohan dan tak sedikit kritik tajam terhadap Bung Hatta yang dianggap pesimis. Setelah puluhan tahun lamanya, ungkapan Bung Hatta itu tampak relevan karena korupsi tiada henti menggerogoti sendi bangsa dan Negara kita. Namun apakah tepat kita menyebut korupsi telah membudaya? Untuk itu kita perlu membedah makna frasa dan realitas hari ini.

Perlu dicatat bahwa Bung Hatta mengatakan “membudaya” bukan “budaya”. Kata membudaya dapat dipahami sebagai gambaran praktik korupsi di Indonesia kala itu yang terus berulang dari satu era pemimpin ke era pemimpin berikutnya. Sekilas memang mirip arti kebudayaan yakni diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau sering disebut tradisi. Sampai di sini tentu belum cukup meyakinkan kita membenarkan korupsi sebagai tradisi bangsa. Untuk itu lebih jauh perlu dipahami kondisi kontekstual yang melatari ungkapanBung Hatta tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat itu, pungutan liar (Pungli) marak terjadi di berbagai lini pemerintahan, bahkan karena terus berulang dan tidak ada upaya serius dan konkret dalam memberantasnya seperti sudah menjadi hal lumrah. Atas dasar kondisi itulah Bung Hatta menilai “Korupsi sudah membudaya” atau “terus menerus terjadi” dan “dianggap lumrah”. Ungkapan Bung Hatta ini harus diakui memiliki kedalaman makna yang tidak dapat disimpulkan sepintas.

Saya meyakini Bung Hatta tidak sedikit pun bermaksud “pesimis” lalu ikut arus menganggap korupsi “lumrah” dan perlu “dibudayakan”, sebaliknya ungkapannya merupakan sebuah kritik betapa kronisnya praktik korupsi di Indonesia. Bagaimana pun juga falsafah budaya bertitik tolak pada kebaikan bagi peradaban, sementara korupsi jelas tidak membawa sesuatu apa pun kebaikan, sebalinya justru sangat merugikan bangsa. Terang bahwa korupsi bukan budaya kita. Jika pun terpaksa dianggap budaya, maka lebih tepatlah ia disebut “budaya koruptor”. Sebab meski sudah memahami konsekuensi dari tindakannya merugikan orang banyak, tetap saja keserakahan selalu menggerakkannya mencari keuntungan secara tidak sah dan berulang.

Hari-hari ini jika kita refleksikan tampak ungkapan Bung Hatta nyata terjadi. Korupsi. Kita menyaksikan sendiri hampir setiap minggu bahkan dalam hitungan hari, ada saja kasus korupsi yang berhasil terungkap dan diberitakan bermacam media massa. Situasi yang kemudian memengaruhi pandangan publik saat mengetahui suatu kasus korupsi bukan lagi menjadi suatu yang “mengagetkan”. Mungkin masyarakat sudah bosan menonton beragam kasus korupsi yang tak hentinya-hentinya terjadi. Meski demikian tentu rasa geram masyarakat pasti ada ketika “uang rakyat” ditilap oleh mereka yang seharusnya memperjuangkan kepentingan publik.

Ikuti tulisan menarik Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau) lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler