x

Kiriri-kanan): Menteri Agama 2019-2020 Fachrul Razi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi di sela serah terima jabatan di Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (23/12/2020). (ANTARA/Kementerian Agama)

Iklan

Joko Yuliyanto

Penulis opini di lebih dari 100 media berkurasi
Bergabung Sejak: 8 Maret 2022

Jumat, 11 Maret 2022 08:02 WIB

Azan dan Anjing Menggonggong

Orang-orang harus bisa menahan nafsu menggonggong ketika menerima informasi yang tidak lengkap. Bukan toa masjid dan gonggongan anjing kompleks perumahan yang bising, melainkan suara manusia digital malas mencari informasi namun sibuk mencaci maki. Anjing digital yang jarang mendengar azan namun aktif mencari kambing hitam untuk melancarkan aksi bela toa masjid.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Lagi dan lagi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut memantik kekeruhan politik dan agama lewat pernyataan yang membandingkan suara azan dengan anjing menggonggong. Representasi menteri agama yang terkesan menistakan agamanya sendiri di balik tameng kemerdekaan bertoleransi. Sebelumnya, Gus Yaqut terkenal sebagai menteri yang cukup kontroversial dengan kebijakan melindungi kaum Syiah dan Ahmadiyah, mengucapkan selamat hari raya untuk komunitas Baha’i, dan mengusulkan doa semua agama untuk mengawali rakernas Kemenag.

Ketua Umum GP Ansor itu dikenal sebagai pribadi yang tegas dan tidak takut mengambil sikap. Mengedepankan aspek toleransi, Gus Yaqut kurang begitu cakap mengimbangi politik agama seperti Gus Dur yang dikenal sebagai bapak pluralisme modern. Kebijakan dan pernyataan kontroversial Gus Yaqut menjadi tidak relevan di suasana fanatisme agama dan kecepatan penerimaan informasi di media digital.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masyarakat yang malas berpikir secara kontekstual lebih mudah menghakimi dan menyimpulkan informasi sepotong untuk melegalkan kebenciannya. Blunder pernyataan tentang perbandingan suara azan dan anjing menggonggong adalah alasan ketokohan yang harus selalu mempertimbangkan risiko dalam setiap ucapan, tindakan, dan kebijakan yang diambil di ruang publik.

Azan yang dinilai sebagai simbol kesucian agama karena merupakan sarana panggilan salat diibaratkan dengan gonggongan anjing yang disimbolkan sebagai kemungkaran (hewan najis). Padahal masih banyak perumpamaan untuk membandingkan toa suara azan yang dianggap bising ketika terlalu lama dan sering dikumandangkan. Demikian yang kembali menurunkan kredibilitas “keagamaan” Gus Yaqut bahwa memperjuangkan toleransi bukan dengan cara merendahkan agamanya sendiri.

Sebelum ramai membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing, Kementerian Agama (Kemenag) sudah dihujani kritik ketika menerbitkan Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Kemenag dianggap terlalu jauh masuk mengurusi ranah internal kemasyarakatan. Ada banyak hal yang mestinya diselesaikan kemenag daripada hanya mengurusi toa masjid atau musala.

Aturan mengenai penggunaan toa masjid atau musala sebenarnya sudah lama dibuat oleh Kementerian Agama sejak tahun 1978. Kemenag hanya memperbarui (menambah poin imbauan) dan mengimplementasikan kebijakan secara nyata.  Tujuannya agar kehidupan bermasyarakat semakin harmonis, meningkatkan manfaat, dan mengurangi mafsadat.

 

Anjing jadi Muazin

Saat ini agama masih menjadi bahasan yang sensitif di ruang publik. Apalagi pengaruh politik yang menambah fanatisme umat memperjuangkan keyakinannya. Di media sosial, agama menjadi alat menciptakan konflik internal dan eksternal. Agama kerap dibenturkan dengan politik, budaya, dan sosial masyarakat. Mendidihnya suasana keagamaan perlu disikapi dengan dingin dan bijaksana.

Kebijakan dan pernyataan Gus Yaqut tentu banyak memancing amarah umat muslim, sebaliknya akan didukung umat dari agama lain yang memang merasa terganggu dengan volume toa suara azan. Gus Yaqut mengambil risiko dimusuhi umat mayoritas (muslim) untuk menerapkan nilai-nilai toleransi. Pengakuan bahwa ia seorang muslim dengan kesan membela yang nonmuslim malah kadang bisa mencederai kelompoknya, Nahdlatul Ulama (NU) dan khususnya GP Ansor dan Banser.

NU sebagai ormas terbesar di Indonesia seringkali dituduh memusuhi sesama muslim. Malah beberapa aksi seperti menjaga gereja saat natal, membubarkan pengajian yang dianggap afilisasi dari aliran wahabisme, dan pergerakan lain yang terkesan melawan arus perjuangan umat Islam. Seolah NU menjadi rumah bagi kelompok nonmuslim, namun tidak bagi sebagian kelompok muslim.

Pemilihan diksi anjing menggonggong dalam perumpamaan kebisingan suara toa masjid bisa menjadi penebalan “ketidakislaman” Gus Yaqut. Meskipun di sisi lain, pemilihan kata anjing tidak serta merta disimpulkan simbol keburukan. Anjing dianggap mengalami domestikasi dari serigala sejak 15.000 tahun yang lalu, bahkan sudah sejak 100.000 tahun yang lalu.

Dan engkau mengira mereka itu tidak tidur, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentu kamu akan berpaling melarikan (diri) dari mereka dan pasti kamu akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka. (QS. Al kahfi: 18)

Dalam Alquran, anjing disebut beberapa kali, salah satunya dalam surat Al kahfi dan anjing tersebut dijamin masuk surga. Sedangkan azan mempunyai esensi mengumandangkan Islam secara Indonesia dan mendendangkan Indonesia secara Islam. Azan harus bisa meneropong dimensi-dimensi soal manusia abad ini. Bukan hanya tentang toleransi, melainkan cipta rasa kedamaian, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan.

Bilal bin Rabah seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habsyah (sekarang Ethiopia) dikenal sebagai orang yang pertama kali mengumandangkan azan. Ia menjadi muazin di Masjid Nabawi dengan suara yang merdu dan terdengar sangat jelas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

“Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam Islam. Karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu (sejenis alas kaki) di depanku di surga.”

Sahabat Bilal (muazin pertama) dan anjing ashabul kahfi sama-sama dijamin masuk surga. Azan untuk mengajak menuju kebaikan, sedangkan gonggongan anjing untuk menolak kemungkaran. Namun saat ini semua manusia malah sibuk menggonggong untuk menciptakan pertikaian dan perpecahan. Menjadi anjing yang gampang diadu domba. Anjing-anjing yang tidak pernah jadi muazin namun menggonggong membela keadilan atas nama muazin.

Orang-orang harus bisa menahan nafsu menggonggong ketika menerima informasi yang tidak lengkap. Bukan toa masjid dan gonggongan anjing kompleks perumahan yang bising, melainkan suara manusia digital malas mencari informasi namun sibuk mencaci maki. Anjing digital yang jarang mendengar azan namun aktif mencari kambing hitam untuk melancarkan aksi bela toa masjid.

Ikuti tulisan menarik Joko Yuliyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

7 jam lalu

Terpopuler