x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 5 April 2022 06:41 WIB

Kekuasaan: Pelajaran (Daripada) Sejarah Pendahulu

Bangsa ini memiliki sejarah kekuasaan yang berulang. Kekuasaan yang terlalu melekat, memikat, hingga membuat pemiliknya merasa terikat. Lalu, pemilik kekuasaan itu pun jatuh dalam kenestapaan. Karena itu, sejarah bukan untuk dilupakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kekuasaan selalu memikat. Sejarah selalu mencatatkan pelajaran soal kekuasaan. Seperti kisah ambisi kekuasaan Presiden Suharto yang ditulis Majalah Tempo edisi khusus Setelah Dia Pergi pada Februari 2008 lalu. 

Alkisah, pada 1982, Presiden Suharto berniat melanjutkan kekuasaannya untuk periode ketiga. Sang guru spiritual, Rama Dijat, meminta murid kesayangannya itu mengurungkan ambisi itu. Suharto ngotot dan meminta Sang Guru untuk mencari "restu" semesta atas niat itu. 
Sang Guru pun berkeliling Nusantara sembari melakukan tirakat dan bersemedi selama kurang lebih setahun.

Sasmita semesta pun datang: Suharto boleh menjabat, namun hanya satu periode lagi. Pesan itu disampaikan langsung oleh Romo Dijat di Dukuh Gopetan, Desa Gemblengan, Kalipotes, Klaten. Lokasi sakral di mana Suharto pertama kali "dibaiat" sebagai muridnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada 1984, Romo Dijat wafat. Suharto pun mempersiapkan diri menjelang Pemilu 1987. Ambisinya tak mengindahkan pesan Sang Guru. Wisik (bisikan) pun datang ke Toto Iriyanto, salah satu putra Romo Dijat. Bisikan itu meminta Toto menemui Suharto untuk benar-benar berhenti kali ini. Ia diminta untuk memberikan jantung pisang raja, kelapa gading, dan jeruk bali kepada Suharto. Syarat-syarat itu adalah simbol diletakannya kekuasaan secara baik. Pada masa itu, Suharto telah menjelma menjadi puncak kekuasaan negeri ini. 

Toto sempat ragu, namun wisik itu adalah pesan penting yang harus disampaikan. Setibanya di Istana Negara, Ia nyaris tak bisa menemui Suharto. Beruntung, presiden kedua RI itu keluar dari pintu utama Istana menuju mobil. Suharto mengenali Toto dan melambaikan tangan. Putra sang guru pun bersyukur murid kesayangan ayahnya itu masih mengenalinya. Ia pun menghampiri Suharto, bercakap-cakap sebentar, menyampaikan pesan, lalu memberikan ketiga benda itu. "Wis tak tampa (Sudah Saya terima)," ujar Suharto dalam bahasa Jawa. Mereka pun berpisah.

Seperti kita tahu, Suharto memilih tak mengindahkan pesan itu hingga jatuh pada 1998. Kekuasaan Orde Baru jatuh setelah melalui rangkaian peristiwa memilukan dalam sejarah. Dimulai dari penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti, disusul kerusuhan massal berbau etnis, hingga demonstrasi mahasiswa di Mei 1998. 

Kabinet Indonesia Maju (Sumber: dw.com)


Kekuasaan selalu memikat ketika teramat melekat. Sebelum peristiwa 1965, Bung Karno juga berada dalam posisi yang sama dengan Suharto. Ia berada dalam puncak kekuasaan dengan berbagai sebutan: Paduka Yang Mulia, Presiden, Panglima Tertinggi ABRI, Pemimpin Besar Revolusi. Gelar-gelar yang secara terang-benderang menunjukkan posisinya sebagai penguasa tertinggi yang mencoba merangkul perbedaan ideologi dengan konsep Nasakom. Kekuasaan mengerucut pada Bung Karno sejak Dekrit 5 Juli 1959--ketika parlemen gagal mencapai titik temu dalam menyusun Konstitusi baru bagi Republik.

Kekuasaan memang begitu asyik dan melenakan. Hingga, kekuatan di dua kutub yang coba dirangkul Bung Karno saling menghancurkan. Konflik yang kemudian menyeret Bung Karno ke senjakala kekuasaannya. Senjakala Orde Lama dimulai dari rangkaian peristiwa di Oktober 1965 saat terjadinya penculikan disertai pembunuhan sejumlah Jenderal Angkatan Darat, demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran PKI, pembersihan anggota dan simpatisan PKI, hingga demonstrasi menuntut tiga tuntutan rakyat. Kekuasaan itu tanggal perlahan. Dimulai dari Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) lalu penolakan pidato petanggungjawaban Bung Karno oleh MPRS pada 1966. Bung Karno pun meninggalkan Istana Negara lalu menghabiskan sisa usia dalam tawanan di Wisma Yaso hingga 1970.

Namun, saya teringat dua presiden Republik ini yang begitu enteng menanggalkan kekuasaannya: Presiden Habibie dan Presiden Wahid (Gus Dur) . Presiden Habibie mengubur ambisi melanjutkan kekuasaannya setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR. Meski, Habibie dianggap mampu mengawal transisi kekuasaan di masa sulit pasca-Orde Baru. Sedangkan Presiden Wahid dimakzulkan setelah melalui berbagai intrik politik tingkat tinggi.  Mungkin bagi Habibie dan Gus Dur, apalah arti kekuasaan jika perpecahan jua yang terjadi di kemudian hari. Mereka berdua tak menjadi hina setelah kekuasaan itu tanggal. Keduanya justru dihormati sebagai Guru Bangsa di kemudian hari. Saya percaya para penerusnya di pucuk kekuasaan bisa dengan mudah belajar dari sejarah para pendahulunya.

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu