Begini Respon Tokoh Publik Terkait Klaim 110 Juta Orang Ingin Pemilu 2024 Mundur

Sabtu, 16 April 2022 17:10 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ramai-ramai publik berulang kali meminta sosok ini membuka big data yang dimaksudkan. Dan berulang kali juga dia menolak untuk membuka big data yang dimaksudkan. Hingga tak pelak, publik pun mencapnya sebagai pembohong. Kalau dia tak ingin membuka big data, dia bisa dicap sebagai pembuat kebohongan besar atau Big Lies!

Pemilu 2024 diundur? Kira-kira begitulah wacana yang sedang beredar hingga menimbulkan kegaduhan publik. Perpanjangan masa jabatan Presiden bahkan diklaim telah disetujui oleh 110 juta warganet.

Klaim ini datang dari seorang pembantu presiden kala dirinya bertandang ke sebuha acara Podcast seorang YouTuber.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dirinya mengklaim bahwa dia memiliki big data, berisikan 110 juta pengguna media sosial di Indonesia yang setuju bahwa Pemilu 2024 diundur.  

"Kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira 10 jutaan," ungkapnya di sebuah Podcast pada Maret lalu.

Sederet Tokoh Publik Menuding Sosok Pejabat Ini Berbohong

Gegara hal tersebut, sontak menjadi perbincangan karena tak ada satu pun warganet yang merasa diikutsertakan dalam survei yang mempertanyakan penundaan Pemilu 2024. Ramai-ramai publik berulang kali meminta sosok ini membuka big data yang dimaksudkan. Dan berulang kali juga dia menolak untuk membuka big data yang dimaksudkan. Hingga tak pelak, publik pun mencapnya pembohong.

Seperti yang disampaikan oleh pengamat politik Rocky Gerung. Rocky pun menyoroti bahwa jika sosok ini tak ingin membuka big data, maka dirinya harus menerima konsekuensi dicap sebagai pembuat kebohongan besar atau Big Lies!

Tak hanya Rocky Gerung yang mengatakan dirinya adalah pembohong. Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti juga menyampaikan bahwa big data 110 juta warganet menunda Pemilu 2024 itu bohong. Dan dirinya juga mengimbau masyarakat jangan terpengaruh dengan klaim tersebut kala menghadiri agenda Public Expose DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/4/2022). 

Meskipun pejabat legislatif telah mengatakan bahwa data yang diungkap dirinya adalah bohong, namun hingga kini belum ada satupun sanksi yang diberikan oleh Presiden Jokowi, semisal di-reshuffle hingga dipenjara akibat hoaks yang ia sebarkan dan membuat keonaran di masyarakat. 

Padahal tingkahnya yang membuat keonaran ini dinilai sudah meresahkan masyarakat hinga pantas dipenjara. Seperti tanggapan dari Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun yang mengatakan sosok ini juga bisa dipenjara atas apa yang dilakukan. Terlebih dengan tidak mau buktikan pernyataan terkait big data 110 juta warganet menunda Pemilu 2024.

"Dia, lebih layak untuk dipenjarakan, kalau mereka saja dipenjara,” kata Refly.

Mereka yang dimaksud oleh Refly Harun adalah para pengkritik pemerintah dan terjerat pasal 14 UU nomor 1 tahun 1946 yaitu Habib Rizieq, Habib Bahar, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat.

Tetap Menolak Membuka Big Data Saat Ditantang Mahasiswa

Hari demi hari dirinya tetap bungkam. Meski telah disebut sebagai pembohong besar, tak pernah ada upaya untuk membuktikan tuduhan tersebut tidak benar pun mau membuka big data tersebut kepada publik.

Hingga akhirnya, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) merangsek maju ke hadapannya dan menantang langsung untuk membuka big data kala sosok ini menghadiri acara Minister Talk pada Selasa (12/4/) yang bertempat di gedung Balai Sidang UI sembari menyerukan yel-yel, “Potong bebek angsa masak di kuali, mana big datanya kok malah ke sini. Kok punya nyali gak tau diri lalalalala,”.

Alih-alih mendapat jawaban, sosok ini dengan tegas mengatakan, “Dengerin kamu anak muda, kamu nggak berhak juga tuntut saya, karena saya juga punya hak untuk tidak memberi tahu," lantang sosok tersebut.

Padahal, sosok pejabat publik ini harusnya tidak mendukung upaya pelanggaran terhadap konstitusi yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana yang tertera pada UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahun 2022 pasal 7: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Tetapi mungkin bisa dipahami, tindakan dirinya yang mendukung pelanggaran UUD adalah semata-mata upayanya untuk tetap mempunyai sederet jabatan di negeri ini yang akhirnya bisa menguntungkannya secara pribadi. Toh, sudah bukan rahasia, bersama Presiden Jokowi, dirinya dibanjiri setumpuk jabatan yang bidang kerjanya seluas lautan itu. Bagaimana menurutmu? Apakah motif di balik perbuatannya yang satu ini?

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sutri Sania

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler