x

cover buku Mempelai Naga

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 23 Juni 2022 14:18 WIB

Mempelai Naga - Sebuah Novel Lingkungan Hidup dengan Latar Belakang Budaya Tionghoa Jambi

Mempelai Naga adalah sebuah novel tentang eksploitasi sumberdaya alam yang berbenturan dengan lingkunagn hidup dan kebudayaan. Meiliana K. Tantri menggunakan mitos untuk menggugat eksplitasi hutan di Jambi oleh pengusaha kayu lapis. Uniknya Tantri memilih komunitas tionghoa miskin di Situs Kemingkin sebagai lokus kisahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Mempelai Naga

Penulis: Meiliana K. Tansri

Tahun Terbit: 2010

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 248

ISBN: 978-602-06-2609-3

Ekspansi bisnis seringkali mengabaikan lingkungan dan kebudayaan lokal. Apalagi jika bisnis tersebut berhubungan dengan eksploitasi sumberdaya alam. Kerakusan ekonomi sering membuat sang pengusaha tutup mata terhadap bahaya kerusakan alam. Mereka sering abai. Jika mereka bisa abai terhadap ancaman bahaya yang lebih nyata, apalagi dengan peninggalan-peninggalan sejarah yang berasal dari masa lalu. Petilasan-petilasan yang penting secara sejarah tidak bermakna apa-apa bagi mereka yang hanya peduli pada uang.

Novel “Mempelai Naga” karya Meiliana K. Tansri ini adalah sebuah novel yang didedikasikan untuk membahas benturan antara ekspansi bisnis yang rakus dengan lingkungan dan nilai-nilai masa lalu yang perlu untuk dilindungi. Menariknya novel ini mengambil latar belakang wilayah yang dihuni oleh komunitas tionghoa di Jambi. Tokoh protagonist maupun antagonis sama-sama dari etnis tionghoa.

Buku pertama dari trilogi ini mengisahkan tentang hadirnya Sang Naga yang marah karena langit dan bumi dirusak. Ia mencari mempelai supaya bisa meneruskan “darah emas” melalui sang mempelai terpilih. Sang Naga akan memilih seorang perempuan supaya bisa meneruskan keturunan dan mewarisi “darah emas.” Hanya keturunan perempuanlah yang bisa menjadi pewaris darah emas. Keturunan inilah yang bisa menggagalkan keserakahan manusia merusak hutan dan lingkungannya.

Sebagai seorang penulis perempuan beretnis tionghoa asal Jambi, Tansri menggunakan mitos lokal Jambi untuk mendiskusikan kerakusan bisnis kayu lapis yang menghabiskan hutan. Pada tahun 1980-2000 marak terjadi pembangunan pabrik kayu lapis di Sumatra, termasuk Jambi. Pendirian pabrik kayu lapis ini membuat hutan habis dibabat karena bahan baku kayunya diambil dari hutan perawan yang ada di sekitar pabrik. Bisnis kayu lapis ini segera saja menimbulkan pro-kontra. Salah satu contohnya adalah yang terjadi di Jambi. Pada tahun 1980-an terjadi pro kontra pendirian pabrik kayu lapis di Jambi yang didirikan di lokasi yang dianggap sebagai situs peninggalan kerajaan Jambi lama di Kemingkin.

Upaya untuk membuktikan pentingnya situs Kemingkin dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk para jurnalis. Namun upaya tersebut sepertinya membentur tembok.

Secara jeli Tansri mengangkat isu ini melalui konflik keluarga Hartanto seorang pengusaha kayu lapis keturunan tionghoa yang mendirikan pabrik kayu lapis di atas situs purbakala yang menurut masyarakat lokal sangat dihargai. Alih-alih menggunakan kisah kekinian, Tantri lebih memilih untuk menggunakan mitos Sang Naga yang menjadi roh langit dan bumi yang marah karena hutan dan alamnya dirusak.

Kisahnya sendiri bagaikan dongeng. Sang Naga datang ke bumi untuk meneruskan keturunananya melalui seorang perawan terpilih. Kedatangan Naga ini adalah dalam upaya menyelamatkan lingkungan dan hutan dari kerusakan yang diakibatkan oleh kerakusan manusia. Upaya Naga untuk menurunkan keturunan “Darah Emas” yang bisa menyelamatkan hutan tersebut berhadapan dengan Hartanto sang pengusaha yang didukung oleh Datuk Itam, seorang dukun Melayu.

Tansri berhasil membangun kisah peperangan antara Naga dengan Hartanto dan Datuk Itam penuh ketegangan dan mencekam. Aura mistik muncul dalam konflik tersebut. Adu kesaktian antara Hartanto yang membawa alat-alat modern seperti pistol dan Datuk Itam yang menggunakan mantera melawan kesaktian alam yang dimiliki oleh Naga.

Tokoh utama novel ini adalah Cen Cu. Cen Cu, seorang gadis tionghoa miskin yang dibesarkan oleh ibu tirinya terpilih sebagai mempelai naga. Cen Cu pertama kali bertemu Sang Naga saat mencari Ti-bu, induk babi yang melarikan diri ke hutan. Sejak pertemuan pertama tersebut, Cen Cu semakin tertarik kepada sosok pemuda yang sering tiba-tiba muncul di hutan. Sang pemuda yang mengaku bernama Naga itu memberitahukan bahwa Cen Cu adalah gadis yang terpilih untuk menjadi mempelai naga.

Tansri mengisahkan penderitaan Cen Cu sebagai seorang tionghoa miskin. Ia harus memelihara babi, mengasuh adik-adik tirinya dan memasak untuk seluruh rumah. Melalui kisah Cen Cu dan keluarganya Tantri berhasil menggambarkan bagaimana sesungguhnya kehidupan komunitas tionghoa di pedesaan di Jambi yang penuh dengan kemiskinan.

Tansri menggambarkan penderitaan Cen Cu sebagai mempelai terpilih. Saat ia hamil dari Sang Naga ia harus dibuang dari rumah dan dititipkan kepada seorang pengemis bernama Apek Rombeng. Ia dianggap hina karena hamil di luar nikah. Apek Rombeng ternyata adalah salah satu utusan langit yang bertugas melindungi Sang Mempelai dan anaknya. Penderitaan Cen Cu saat diburu oleh pihak Hartanto yang ingin membunuhnya supaya upaya Sang Naga bisa digagalkan digambarkan sangat menarik oleh Tansri. Pengejaran dilakukan secara fisik dan mistik.

Kisah dalam novel ini dibumbui dengan dunia masa kini. Yaitu tampilnya seorang wartawati bernama Rigel yang melakukan investigasi kebenaran bahwa pabrik berdiri di atas situs purbakala. Pemilihan karakter Rigel yang metropolitan dan kecanduan alkohol membuat Tantri dengan leluasa menggambarkan kehidupan malam Kota Jambi yang penuh alcohol, narkoba dan seks bebas. Kehidupan yang sangat kontras dengan kemiskinan masyarakat tionghoa di Jambi.

Digambarkan dalam novel ini bahwa Rigel sampai memanfaatkan tubuhnya untuk merayu Betel – anak Hartanto, supaya bisa membocorkan berbagai informasi. Bahkan Rigel sampai hamil dari benih Betel. Di sinilah konflik menjadi semakin rumit karena Rigel ternyata adalah anak gelap dari Hartanto. Jadi sebenarnya Rigel dan Betel adalah saudara seayah.

Bagian pertama dari trilogi ini diakhiri dengan perang tanding antara Sang Naga dengan Datuk Itam. Gugurnya Datuk Itam di tangan Sang Naga bersamaan dengan lahirnya anak Cen Cu. Cen Cu sendiri mati saat melahirkan. Dalam mitos Darah Emas, sang ibu selalu mati saat melahirkan bayinya. Sang bayi perempuan yang disangka mati itu ternyata masih hidup. Sang bayi perempuan dipelihara oleh Apek Rombeng. 684

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu