x

Megawati

Iklan

Diaz Vindra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Juni 2022

Senin, 11 Juli 2022 05:58 WIB

Tukang Bakso dan Ragam Bahasa dalam Pidato Politik

Kesalahan penggunaan ragam bahasa oleh politisi dalam situasi formal, bisa berdampak serius dalam masyarakat. Makna yang disampaikan justru menjadi tidak jelas dan bias sehingga menimbulkan kontroversi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dapat dikatakan mencakup seluruh kehidupan manusia. Dalam pergaulan sosial, dalam kehidupan beragama, dalam berpolitik, hingga saat berpikir manusia selalu menggunakan bahasa. Oleh karena itu penguasaan sebuah bahasa secara baik dan benar menjadi tuntutan setiap pengguna bahasa. Penguasaan tata bahasa menjadi syarat wajib agar setiap kalimat ataupun wacana yang dilemparkan dapat dimengerti secara tepat dan tidak menimbulkan salah tafsir. Ragam bahasa juga amat menentukan kualitas penyampaian maksud dari penutur kepada mitra tutur/pendengar.

Baru-baru ini publik dihebohkan dengan pernyataan seorang tokoh politik yang dalam rapat kerjanya mengatakan ia meminta anaknya tidak menikah dengan orang seperti tukang bakso. Hal ini tentu mengundang kontroversi dalam masyarakat. Banyak pihak merasa tersinggung dan tersulut amarah mendengar hal itu. Permasalahan ini sebetulnya lebih kepada kesalahan penggunaan ragam bahasa dari sang politisi tersebut.

Dalam tata bahasa Indonesia, kita mengenal adanya variasi atau ragam bahasa dinilai dari segi keformalannya. Ragam bahasa tersebut adalah ragam beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai dan ragam akrab. Ragam resmi tentu saja menjadi sebuah standar kebahasaan dalam situasi-situasi formal. Namun akhir-akhir ini kita melihat dalam sebuah situasi formal (diskusi, rapat kerja, seminar dan sebagainya) seringkali ragam bahasa yang digunakan adalah bahasa non formal, yaitu ragam santai hingga ragam intim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti dalam rapat kerja politik yang pernyataan politisinya menimbulkan kehebohan tadi. Penggunaan ragam santai sepertinya bertujuan untuk membangun kedekatan emosional antar anggota atau komunitas tertentu yang sedang berdiskusi menjadi cair suasananya. Tujuannya, rapat menghasilkan keputusan-keputusan politik yang strategis. Namun yang menjadi masalah adalah bila penggunaan ragam intim tidak dipahami dan dimaknai secara benar oleh anggotanya, lalu tersebar luas ke masyarakat umum.

Pernyataan untuk tidak menikah dengan tukang bakso bila dilihat secara utuh dalam konteks pidato tokoh politik ini sebetulnya memiliki makna lain secara pragmatis. Keseluruhan pidato sebetulnya berbicara tentang pluralitas dan persatuan bangsa Indonesia, berbicara tentang keinginan sang politisi untuk mewujudkan Indonesia yang satu diatas keragaman suku bangsa. Namun penggunaan bahasa intim inilah yang membuat makna kalimat tersebut menjadi keluar dari makna sebenarnya.

Bahasa intim ini sejatinya hanya dimengerti oleh anak sang politisi saja, karena ini adalah bahasa “meja makan” mereka, bahasa yang hanya bisa dimaknai dan dimengerti dalam keluarga mereka saja. Tapi, penggunaan ragam intim ini lalu dimaknai sebagai hinaan dan justru malah membawa perpecahan dalam masyarakat alih-alih dimaknai sebagai ajakan untuk bersatu dalam bingkai NKRI.

Bila sang politisi menggunakan bahasa formal, tentu makna yang ditangkap masyarakat akan berbeda. Masyarakat justru akan lebih memahami apa yang ingin disampaikan oleh sang politisi tersebut. Misalnya dengan mengatakan untuk tidak mencari jodoh yang sesuku saja, karena semua suku di Indonesia adalah sama. Atau dengan mengatakan untuk menikah dengan siapapun asalkan satu bangsa, bangsa Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Diaz Vindra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu