x

Iklan

Try Adhi Bangsawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Mei 2022

Senin, 18 Juli 2022 15:38 WIB

Intelektual dan Kekuasaan

artikel ini memuat keterhubungan antara peran intelektual dan kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu yang tidak kalah penting perannya di Indonesia adalah kaum intelektual. Intelektual di sini bisa merujuk pada akademisi universitas, aktivis mahasiswa, jurnalis, dan anggota organisasi non-pemerintah. Di zaman revolusi indonesia, kaum intelektual membuka jalan perjuangannya dengan berbagai simpul gerakan, mulai dari organisasi masyarakat (ormas), partai politik, organisasi mahasiswa, dan lainnya.

Berbeda hal di zaman Orde Baru, kaum intelektual dikooptasi oleh pemerintah, membatasi kemampuan mereka untuk mempengaruhi, dan mengkritik kebijakan pemerintah. Runtuhnya Orde Baru membuka jalan bagi perubahan dibanyak aspek politik Indonesia, termasuk yang berkaitan dengan peran intelektual.

Di era reformasi, semangat demokratisasi kencang menjadi perbincangan, serta menjadi cita-cita bersama untuk mewujudkannya. Mulai dari kebebasan berpendapat, berhimpun, sampai pada otonomi daerah (desentralisasi), kesemuanya menyatu dalam tarikan napas demokratisasi. Akan tetapi, cita-cita ini tidak begitu saja lepas dari beragam persoalan, terutama otonomi daerah yang menghasilkan raja-raja kecil di tingkat daerah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Raja-raja di daerah ini, ternyata tidak lepas dari peran intelektual dengan segala kebebasan yang dimilikinya pasca orde baru. Beberapa daerah di indonesia, setelah terdapat raja, kian hari menguatkan posisi politik-ekonomi yang kemudian kita kenal dengan dinasti politik modern.

Intelektual dan Kelanggengan Kekuasaan

Menurut catatan Ekayanta dalam Intellectuals in Post-Soeharto Politics, salah satu peran   intelektual dalam politik Indonesia kontemporer adalah munculnya konsultan politik, melakukan survei politik, kajian kebijakan, tenaga ahli, ‘pembisik’, dan lainnya. Konsultan politik, biasanya muncul menjelang pemilu atau pilkada, hasil kajian para intelektual ini sering kali menjadi pondasi para aktor politik yang diturunkan dalam strategi dan taktik. Intelektual mengkomodifikasi pengetahuannya untuk mendukung dan memberikan justifikasi bagi perebutan kekuasaan oleh para elit.

Kelanggengan kekuasaan di tingkat lokal, tidak lepas dari peran aktor yang mempunyai akses atau kekuasaan di zaman Orde Baru. Sebagai contoh, dinasti Chasan Sohib-Atut merupakan aktor yang sudah berkecimpung dalam urusan politik sejak zaman orde baru. Ketika runtuhnya era Suharto aktor ini memiliki kekuatan yang cukup untuk memainkan perannya di tingkatan lokal. Dalam bukunya Robison dan Hadiz berjudul: Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge. Bahwa oligarki lama mampu beradaptasi dengan pasar dan institusi demokrasi di era pasca Soeharto. Kemampuan ini karena aliansi mereka dengan kaum intelektual yang memberikan legitimasi untuk kepentingan mereka. 

Intelektual memberikan legitimasi tentang para kandidat yang bertarung dalam pilkada di tingkat daerah, legitimasi akademis berupa opini, memberikan framing positif, hingga membantu penyelesaian konflik di pengadilan.

Simpulan: Intelektual Organik

Tidak diragukan lagi, bahwa peran kaum intelektual sangat penting. Dengan intelektual, keterhubungan perubahan dunia dengan sains tak bisa dilepaskan. Sains bisa menjadi pisau bermata dua, bisa menjadi legitimasi kekuasaan yang korup, bisa juga melawan ketidakberpihakan pada soal-soal kerakyatan.

Keterjauhan sains dan peran intelektual dalam kehidupan masyarakat ialah pertanda yang muncul dari kegagalan sains menjawab permasalahan masyarakat. Oleh karenya, sains dan peran intelektual diibaratkan sebagai sesuatu yang hanya untuk melegitimasi kekuasaan semata, dan menjauh dari soal kehidupan.

Intelektual musti tumbuh dan berkembang dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Membawa segala pengetahuan dari bangku sekolah untuk mendeteksi gejala yang timbul di masyarakat, sehingga ilmu pengetahuan mempunyai keberpihakan yang utuh pada masyarakat. Ini yang kemudian ditulis oleh Antonio Gramsci (politikus & Filsuf Italia) sebagai Intelektual organik. Intelektual yang tidak menjauhkan ilmu pengetahuan dan masalah kehidupan.

Tak ada ukuran yang pasti seseorang dikategorikan sebagai intelektual organik, tetapi satu yang pasti Ia terus belajar dan mengorganisir massa. Membawa ilmu pengetahuan ke jalan-jalan, pabrik-pabrik, gedung dewan, dan pusat pengambilan keputusan yang lain. Hanya dengan begitu, kampus tidak menjadi pabrikan yang robot intelektual, tetapi menempatkan ilmu pengetahun untuk menjawab segala persoalan yang hadir dalam masyarakat.

               

Ikuti tulisan menarik Try Adhi Bangsawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu