x

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Jumat, 22 Juli 2022 07:41 WIB

Selamat Datang Era Sertifikasi Profesi

Adanya Kerangka Kerja Nasional Indonesia (KKNI), dan lembaga-lembaga sertifikasi profesi (LSP) yang diakui dan memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), maka ke depan tidak ada lagi kompetensi-kompetensi profesi dan lembaga-lembaga pelatihan kompetensi yang tidak tersertifikasi. Sertifikat-sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh LSP ini akan mendapatkan pengakuan yang sama atau setara di kalangan DUDI, seperti halnya sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga formal (pendidikan profesi).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

''Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya. Kita memasuki era di mana akreditasi tidak menjamin mutu. Ini hal-hal yang harus segera disadari”. Demikian disampaikan mas Nadiem Makarim, Mendikbud RI saat memberikan sambutan di acara serah terima Rektor Universitas Indonesia periode 2019-2024 di Depok (Rabu, 4/12/2019).

Pernyataan mas Nadiem tersebut menegaskan kembali kebijakan lama, yaitu “link and match” yang disampaikan pertama kali oleh Mendikbud periode 1993-1998, Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro dalam webinar yang bertema "Lulusan Vokasi Menjawab tantangan Ekonomi Nasional" (Republika, 19/12/2008). Secara konseptual kebijakan “link and match” dimaknai sebagai adanya link” (pertautan) antara dunia pendidikan dan dunia industri sebagai pengguna lulusan, dan “match” (kesesuaian atau kecocokan) antara capaian pembelajaran dengan kebutuhan keterampilan para lulusan ketika mulai bekerja.

Kedua kebijakan mengisyaratkan perubahan paradigma pendidikan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Perubahan paradigma yang dimaksudkan terkait dengan pemaknaan atas konsep “kompetensi”, yaitu dari “kompetensi keilmuan” ke “kompetensi kekaryaan”, menyiapkan peserta didik yang mampu bekerja di dunia usaha dan dunia industri (DUDI).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada era Wardiman, perubahan paradigma pendidikan ditandai dengan lahirnya kebijakan link and match, yang kemudian melahirkan penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada jenjang pendidikan menengah (SMK). PSG merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkronisasi antara program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah  untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu (Depdikbud, 1994). Pada tataran praktis, PSG ini diwujudkan dalam bentuk program Praktik Kerja Industri (prakerin), Praktik Kerja Lapangan (PKL) (Cahyanti, Indriayu, & Sudarno, 2018).

Pada era mas Nadiem, kebijakan link and match ini dikemas dalam bingkai “Merdeka Belajar”. Bila Wardiman lebih menyasar pada jenjang pendidikan menengah, maka Nadiem lebih menyasar pada jenjang pendidikan tinggi. Dalam konteks ini, terciptalah program “Merdeka Belajar: Kampus Merdeka (MBKM)”. Sebuah program yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa/i untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karier masa depan. Dalam program MBKM, mahasiswa dapat memilih sejumlah kegiatan, diantaranya: Magang/Praktik Kerja, Asistensi Mengajar di Satuan Pendidikan, Wirausaha Mandiri, disamping program-program lain yang membantu mahasiswa untuk meningkatkan dan memperluas bakat dan minatnya di luar bidang keilmuan/keahlian yang ditekuni (Kemdikbud, 2020).

Implikasi lebih jauh dari kebijakan MBKM adalah adanya perubahan dalam pengembangan kurikulum PT. Kurikulum PT yang awalnya dikembangkan sebagai “Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBKo)” (Competency-based Curriculum /CBC) yang lebih berorientasi pada pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari setiap subjek matakuliah yang dipelajari, diubah menjadi “Kurikulum Berbasis Keluaran (KBKe)” (Outcome-based Curriculum /OBC), yang lebih fokus pada penciptaan peserta didik yang mampu melakukan dan berbuat sesuatu dari apa yang sudah diketahui (is education in which an emphasis is placed on a clearly articulated idea of what students are expected to know and be able to do). Melalui paradigma KBKe/OBC, diharapkan peserta didik lulusan semua perguruan tinggi, tanpa membedakan jenis pendidikannya—apakah pendidikan akademik, vokasi, profesi, dan/atau pendidikan spesialis—harus “able to do” sesuai dengan kebutuhan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI).

Terlepas dari pro-kontra yang ada, semua perguruan tinggi, tanpa melihat jenis pendidikannya, berkompetisi dan berkolaborasi mengembangkan KBKe/OBC. Tanpa kecuali, termasuk pada jenis pendidikan akademik. Hanya saja, kebijakan ini terkesan tidak fair, jika diberlakukan pada jenis pendidikan akademik, yang sejatinya difokuskan pada penguasaan kompetensi-kompetensi keilmuan (scientific competences) sesuai dengan bidang atau spesialisasi keilmuan yang ditekuni. Sesuai dengan khittahnya, pendidikan akademik dan lulusannya, adalah jenis pendidikan yang difokuskan pada penciptaan calon ilmuwan dan peneliti dalam rangka pengembangan suatu bidang atau spesialisasi keilmuan tertentu, bukan disiapkan untuk menjadi “tenaga kerja profesional”, dalam artian tenaga kerja di bidang dunia usaha dan industri (DUDI).

Dengan asumsi KBKe/OBC sudah siap digunakan tahun 2022, maka pemenuhan kebutuhan atas tenaga profesional baru akan terwujud paling cepat satu tahun (Program D-I). Di samping itu, lulusan PT produk KBK/CBC juga perlu memperoleh kompetensi yang sesuai kompetensi yang dibutuhkan dan diperlukan oleh pasar tenaga kerja. Dalam konteks ini, kemunculan program-program pelatihan singkat yang siap mencetak tenaga-tenaga kerja profesional bersertifikasi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang terdaftar dan terakreditasi di Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) bisa dipahami. Data pada laman BNSP terdapat 2.002 LSP yang sudah terdaftar dan terakreditasi di BNSP (https://bnsp.go.id/lsp). Satu dan lain hal, karena PT tentu tidak bisa menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk semua jenis kompetensi profesi yang dibutuhkan oleh DUDI.

Gambar 1. LSP yang terdaftar dan terakreditasi di BNSP

 

Apalagi, kompetensi-kompetensi profesi yang dilatihkan di LSP-LSP yang sudah tersetifikasi dan memperoleh lisensi dari BNSP dikembangkan berdasarkan pada Standar Kompetensi Nasional Indonesia (SKKNI), yang dikembangkan melalui konsultasi dengan industri terkait, untuk memastikan kesesuaian kebutuhan di tempat kerja. SKKNI memuat rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan/atau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan (Kemristekdikti, 2015). Berdasarkan data pada laman Kemenperin (kemenperin.go.id/), saat ini sudah terdaftar 177 bidang SKKNI (Perakitan Telepon Seluler, Industri Perajutan, Internet of Things, Artificial Intelligence, dll.) yang sudah tersertifikasi atau mendapatkan lisensi resmi dari BNSP.

Di sejumlah negara, standar kompetensi dibuat sebagai sebuah sistem “ontologi kompetensi” yang memuat deskriptor keahlian dan kompetensi yang diharapkan dapat menjembatani perbedaan "bahasa" antara dunia ketenagakerjaan dengan dunia pendidikan dan pelatihan. Misalnya di Austria, dibangun sistem yang dikenal dengan nama “AMSQualifikation-klassifakation”, di Jerman dengan sistem “Kompetenzenkatalog”, di Perancis dikenal dengan “ROME”, di Amerika dengan nama “O*NET”, di Swedia dinamai “Taxonomy-DB”, di Eropa disebut “Job Mobility Portal”.

Di Indonesia sendiri dikenal sebagai “Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)” atau “Indonesian Qualification Framework” (IQF). KKNI ini yang digunakan oleh PT sebagai acuan di dalam merumuskan capaian pembelajaran (learning outcomes) di dalam KBKe/OBC. Selain itu, KKNI juga digunakan sebagai dasar pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor pekerjaan di Indonesia yang dilakukan oleh LSP sebagai “satu-satunya” jalur untuk pengembangan profesi, yang diberi kewenangan dan lisensi untuk melaksanakan “pengujian” dan “sertifikasi” profesi. Sertifikat-sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh LSP ini akan mendapatkan pengakuan yang sama atau setara di kalangan DUDI, seperti halnya sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga formal (pendidikan profesi).

Gambar 2. Penjenjangan KKNI melalui Empat Jalur Pendidikan dan Pengalaman Kerja

 

Adanya KKNI, dan lembaga-lembaga sertifikasi profesi yang diakui dan memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), maka ke depan tidak ada lagi kompetensi-kompetensi profesi dan lembaga-lembaga pelatihan kompetensi yang tidak tersertifikasi.

Selamat datang dunia kompetensi bersertifikasi.

 

Pondok Indah, 21 Juli 2022

 

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler