x

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 3 Agustus 2022 16:54 WIB

Novel Nadjib Kartapati: Pemberontakan Seorang Istri

Novel ini berkisah tentang pemberontakan seorang istri demi memperjuangkan hak-haknya yang dijarah. Sebuah drama rumah tangga yang tampak realistis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Novel  Memburu Matahari ini adalah pemenang Pertama Sayembara Mengarang Novel Majalah Pertiwi. Dengan gaya penceritaan yang konvesional, Nadjib mampu menghadirkan drama rumah tangga yang realistis.

 

Ulfah Hasanah sebenarnya sudah memiliki suami. Namanya Burhanudin (Burhan). Tapi, suaminya sering betugas ke luar kota sehingga jarang  berada di rumah. Burhan bekerja di Lembaga Pembangunan Alternatif, sebuah LSM yang banyak berurusan dengan pengentasan kemiskinan. Jadi Ulfah lebih banyak sendiri, ditemani oleh Darti, pembantunya. Pada saat seperti itu, perhatian datang dari Bandi. “Tiba-tiba kurasakan betapa jauh bedanya antara Mas Burhan dan Bandi. Yang satu selalu meninggalkan aku pergi dan yang lain mulai mencurahkan perhatiannya kepadaku,” kata Ulfah. “Hanya ada dua nama yang berkelejatan dalam tempurung kepalaku: Mas Burhan dan Bandi. Namun yang terakhir terasa lebih menderu-deru. Entah kenapa, mengenangkan Mas Burhan sama artinya dengan memperdalam luka hati.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perkawinan Ulfah dan Burhan sudah berjalan empat tahun. Tetapi hingg kini belum membuahkan anak. “Andaikata malam ini ada seorang bayi di sisiku, barangkali siksaan yang kutanggung tidak sehebat sekarang,” katanya dalam hati. Pertanyaan seperti “untuk apa bersuami kalau kenyataannya hidupku lebih banyak sendiri” kerap muncul di benaknya. Ulfah sebenarnya tahu bahwa Burhan sangat menyintainya. Kalau toh sekarang dia protes, itu karena dia merasa tersiksa dalam kesendirian. Dan hal itu semata-mata muncul dari naluri dasar seorang wanita. Tidak lebih tidak kurang.

Bandi yang bekerja sebagai wartawan itu adalah pacar lama Ulfah, ketika mereka masih mahasiswa, dan sebelum dia mengenal Burhan. Mereka bertemu kembali ketika Bandi yang masih bujangan itu muncul di kantor Ulfah. Lalu mereka makan malam di luar kantor dan menonton drama di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ulfah merasa hanyut ke dalam pusaran masa silam, dan seolah-olah peristiwa lama baru saja terjadi minggu kemarin.

Selesai pemenatasan, hujan turun sangat lebat. Orang-orang masih berjubel di lobbby Graha Bhakti Budaya TIM. Bandi menerjang deras hujan menuju mobil untuk mengambil payung. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Celananya kotor oleh percikan lumpur. Sampai di rumah, Ulfah berinisiatif meminjamkan baju dan celana Burhan. “Tinggalkan saja pakaianmu yang basah. Lusa boleh kamu ambil setelah dicuci pembantuku,” kata Ulfah.

                                                                              ***

Selanjutnya dikisahkan bagaimana awal pertemuan antara Ulfah dan Bandi. Mereka berasal dari kabupaten yang sama, hanya beda kecamatan. Bahkan mereka berasal dari SMAN Pati yang sama, hanya beda angkatan. Ulfah yang baru masuk kuliah,  bertemu dengan Bandi di kampus Universitas Diponegoro, Semarang. Ketika itu Bandi sudah tingkat III di Fakutas Hukum dan menjadi wartawan freelance untuk beberapa koran lokal di Semarang. Sementara Ulfah memilih Fakultas Sosial Politik. Sejak  itu hubungan mereka semakin akrab dan akhirnya berpacaran.

Ketika liburan tiba, Bandi berkunjung ke rumah Ulfah di kampung. Oleh ayahnya Bandi mendapat cerita mengenai nasib petani peserta Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang nekat membakar tanaman tebu milik mereka sendiri. Hal itu dilakukan karena keterlambatan tebang sehinggga tanaman tebu menjadi kering. Mereka marah dan membakar tebu itu. Para petani itu  berharap dapat segera kembali mengola lahan sawa mereka buat tanaman lain. Tapi, “Sudah mengadu ke sana-sini, hasilnya nihil Habislah kesabaran para pertani itu,” kata Ayah Ulfah.

              “Apa sebabnya tebu-tebu itu sampai terlambat ditebang, Pak?”

             “Menurut Ketua KUD, keterlambatan itu karena terlampau luasnya area TRI di wilayahnya. Juga karena batas umur tebu yang siap tebang, tuanya secara bersamaan. Dan ini yang terpenting,  pelaksanaan giling dari pihak pabrik gula mengalami keterlambatan.”

               “Apa tindak lanjut KUD didalam menanganinya, Pak”

               “Ya, KUD hanya bersabar menunggu dan membagi jadwal tebang milik para petani anggota, sesuai dengan jatah giling berdasarkan Surat Perintah Angkut (SPA) yang diberikan pabrik gula setiap harinya,” jawab Ayah Ulfah.

              “Merugikan petani,” gumam Bandi

              “Benar, merugikan petani, Nak. Merugikan rakyat klecil,” sokong Ayah Ulfah. “Bagaimana tidak! Kelebihan batas umur tebang memang membuat bertambahnya rendemen. Tapi kalau tebu mengalami kekeringan, bobotnya juga kian menyusut. Itu kan merugikan petani namanya?”

                                                               ***

Lalu dikisahkan bagaimana Bandi memperkenalkan Ulfah kepada Burhan. “Dia aktivis kampus nomor wahid, Dia juga di Sospol. Kabarnya mau dicalonkan jadi asisten dosen. Burhan tentu tertarik dengan persoalan-persoalan di desamu, Ulfah. Dia punya perhatian besar terhadap masalah pedesaan. Kupikir seperti kamu ini perlu sekali kenal dia, sebab dia bisa membimbingmu,” kata Bandi.

Kepada Burhan, Bandi berkata: “Selama liburan, hampir setiap hari aku keliling ke pelosok desa Ulfah. Sebenarnya banyak hal yang bisa kamu tangani di sana. Betul, Han. Masih terlalu banyak warga yang hidup di bawah kelayakan...”

Benar saja, Burhan memang datang ke desa Ulfah, bertemu ayah Ulfah dan penduduk desa. Singkatnya, Burhan mengggalang berdirinya koperasi  di kampung itu.

Ulfah sendiri merasa senang dapat berkenalan dengan Burhan. Satu figur lagi mengisi hidupnya. Hingga suatu kali Burhan menanyakan masalah pribadi, yakni hubungan Ulfah dengan Bandi. Intinya Burhan kemudian tahu bahwa Ulfah berpacaran dengan Bandi.

             “Setidaknya kalau sudah tahu, aku tidak akan gegabah terhadap kekasih sahabatku,” gumam Burhan lirih, seolah-olah untuk dirinya sendiri. “Lain soal andaikata kamu belum punya pacar. Barangkali sikapku akan berbeda...”

Bulan-bulan selanjutnya adalah masa-masa keakraban mereka bertiga. Suatu hari tampak Ulfah bersama Bandi, dan hari lain tampak bersama Burhan. Tak sedikit pun Bandi manaruh rasa cemburu.

Bagi Ulfah: “Bersama Mas Burhan, aku selalu merasa akrab dengan persoalan-persoalan mendasar bangsaku. Tentang kemiskinan, tentang rendahnya tingkat pendidikan, tentang sistem kebudayaan yang goyah, tawaran-tawaran konsumtif, penetrasi gaya hidup sekuler, dan sebagainaya dan seterusnya. Bersamanya aku menjadi luas dalam wawasan, matang dalam orientasi, dan kukuh dalam idealisme. Sering dia membawaku mengunjungi simposium, seminar, dan melibatkaku dalam diskusi-diskusi panjang. Ya, diskusi demi diskusi itu kulalui dengan kening berkerut, tetapi aku merasa makin dewasa.

          Berbeda sekali dengan sewaktu bersama Bandi. Bandi lebih banyak menyentuh masalah-masalah pribadi, tepatnya lebih individualistis. Akan tetapi, bersamanya hidupku serasa kuyup oleh kemesraan. Ia selalu mengajakku bicara tentang cinta, tentang indahnya masa depan rumah tangga, dan tentang peranku sebagai ibu pada kemudian hari

          Waktu-waktuku bersamanya lebih terisi dengan rekreasi-rekreasi ke tempat-tempat wisata  yang sangat mengasyikkan, O, sebuah dimensi lain yang melengkapi keutuhan hidupku sebagai gadis remaja. Ya, dunia Mas Burhan dan dunia Bandi sama-sama memiliki daya pesona yang melelapkan. Aku sendiri menjadi ragu kepada siapa sebenarnya aku jatuh cinta. Kalaupun sekarang aku menjadi pacar Bandi, tidak lain dan tidak bukan karena dia datang lebih dahulu.”

                                                                              ***

Di akhir tahun kedua kuliah, Ulfah seharusnya pulang kampung karena ayahnya tak lagi sanggup membiayai kuliahnya. Tapi Bandi membantunya dari honor-honor tulisannya di media lokal. Bandi terpaksa bekerja lebih keras karena perusahaan ayahnya sendiri kena tipu dan akhirnya bangkrut total. Upaya melalui jalur hukum dan media massa tak membuahkan hasil. Para penipu ayahnya tak diketahui rimbanya.

Salah satu prestasi Bandi di bidang jurnalistik adalah keberhasilannya membongkar kasus komplotan gali yang dengan rapi melakukan perampokan, perampasan, penganiayaan, dan tindakan-tindakan kriminal lainnya. Inilah yang membuat dia mati kutu. Bandi dicari-cari oleh sekawanan gali. Bagi Ulfah, ini adalah akhir dari seluruh harapannya.

Bandi terpaksa sembunyi untuk beberapa lama hingga akhirnya datang menemui Ulfah. Ia mengatakan terpaksa harus lari ke Jakarta. “Maafkan aku, Ulfah. Aku tidak mampu berupaya apa-apa lagi. Tentang kuliahmu...” Saat itu Ulfah sudah di akhir tahun ketiga. Selama satu tahun belakangan ini dia mendapat bantuan dari Bandi.

                   “Aku tahu, Bandi...” kata Ulfah.

                   “Ya, aku tetap menyintaimu. Kamu mau berjanji menungguku, kan? Oh, kamu tidak perlu menangis, Ulfah.”

Ulfah memang tidak bisa membendung air matianya. Malam itu, bagi Ulfah, apa pun yang diminta Bandi, akan diberikannya. Tapi Bandi hanya meminta janjinya, yakni agar Iulfah bersabar menantinya. Maka malam itu merela menyalibkan janji bersama dalam curahan kemesraan yang membara.

Sejak itu Ulfah tak pernah bertemu Bandi lagi. Ulfah pun terpaksa berhenti kuliah dan kembali ke kampung. Kini tinggal Burhan yang memberikan dukungan moril  Kebetulan koperasi yang digalang Burhan di kampungnya berjalan dengan baik.  Ulfah dipercaya untuk mengelolanya. Burhan sendiri malang-melintang membetuk jaringan di tiap-tiap perkampungan. Burhan juga tidak kuliah lagi demi perjuangannya.

Ulfah tak hanya semakin dekat dengan Burhan, tetapi juga dengan ayahnya, Jamaludin, yang tinggal di pedalaman Blora. Jamaludin bukan sekadar ayah bagi Burhan, tetapi juga idola. Maka Burhan selalu mengikuti kata-kata ayahnya.

Saat bersejarah pun tiba:  Burhan meminang Ulfah. Ayah dan Ibu Ulfah mendesak agar dia menerima pinangan itu. Meski harus berdebat sengit, akhirnya Ulfah menerima lamaran Burhan. Bagu Ulfah: menerima pinangan Burhan berarti mengkhianati janji-janjinya terhadap Bandi.

Beberapa bulan setelah mereka menikah, Burhan mendapat tawaran untuk bekerja pada sebuah LSM di Jakarta, yakni Lembaga Pembangunan Alternatif. Mereka pun hijrah ke Jakarta. Burhan aktif dengan LSM-nya, sementara Ulfah bekerja di perusahaan asing yang bergeral di bidang impor barang-barang luks hasil teknologi maju.

                                                                                     ***

 Ulfah dan Bandi bertemu lagi. Mula-mula mereka pergi ke restoran. Kemudian dilanjutkan ke rumah Bandi. Rupanya Bandi sekarang tidak hanya punya mobil, tetapi juga memiliki rumah dengan segala perabotannya yang bagus. Bandi sempat menyesalkan, kenapa Ulfah tidak sabar menunggu.  Di dalam hatinya Ulfah juga sempat merasa bersalah, tetapi saat itu Bandi tidak ada kabar sama sekali. Di rumah itu Bandi sempat mencium bibir Ulfah sebentar. “Sudah,” pinta Ulfah lirih. Ia menarik kepalanya ke belakang. “Kamu bilang ingin memutus masa lalu. Bukan begini caranya.” Bandi kemudian mengantarkan Ulfah pulang ke rumah kontrakannya.

 Aneka peristiwa lain berlangsung. Misalnya, Ulfah menerima surat dari salah satu adiknya, Rifah, yang kini tinggal bersama suaminya di desa kecil di wilayah Purwodadi. Rifah mengabarkan kondisi ekonomi ayah dan ibunya di kampung. Juga perilaku kedua adiknya yang lain, Zainul dan Madun, yang masih suka begadang saja. Bandi, tanpa diminta secara khusus, mengirim sejumlah uang untuk ayah dan ibu Ulfah melalui kantor pos.

 Di hari lain, ketika Ulfah terpaksa harus opname di rumah sakit karena maag, darah rendah, dan stress, Bandi yang selalu muncul di rumah sakit dan memberikan dukungan moril. Bahkan ketika Ulfah diperbolehkan pulang oleh dokter, semua biaya dibayar oleh Bandi. Kelembutan dan kebaikan Bandi itu sering menggocangkan pikiran dan perasaan Ulfah.

                                                                     ***

Suatu hari Burhan pulang. Burhan yang bercerita panjang-lebar soal apa yang sudah ditemui dan dikerjakan di lapangan sempat membuat Ulfah sebal. Sebab bukan itu sebenarnya yang dia ingin dengar. Toh di malam  hari mereka tetap melakukan hubungan suami-istri. Sesudah itu, ketika Burhan membuka lemari, ia menemukan sesuatu yang bukan miliknya. “Pakaian siapa ini, Ulfah?” tanya Burhan. “Baju dan celana siapa ini? Katakan!” Burhan mencengkeram  kedua bahu Ulfah dan mengguncangnya secara kasar.

                  “O, iya... Saya lupa bilang, Mas,” jawab Ulfah. Itu.. baju Bandi. Pakaian Bandi, Mas. Kemarin dulu....”

                  “Bandi? Kapan dia kemari? Kenapa pakaiannya ada di sini?”

                  Tergagap-gagap Ulfah menceritakannya. Wajah Burhan merah padam.Ia marah besar.

                   “Dusta! Itu dusta!”

                   “Aku tidak bohong, Mas!”

                   “Bohong agtau tidak, bukan soal lagi! Tapi, seorang istri berani memasukkan lelaki lain ke rumah di saat suami tidak ada, merupakan kenistaan yang menjijikkan. Apalgi pada malam selarut itu.”

                    “Dia hanya mengganti pakaian di kamar mandi, Mas!”

                    “Berapa jauh jarak kamar mandi dengan kamar tidur?”

                     “Jadi kamu menuduhku menyeleweng?”

Burhan menampar pipi Ulfah. Dia terhuyung ke belakang. Sambil bersandar di dinding, Ulfah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Burhan merenggut rambut Ulfah, dan sekali lagi menempelang kepalanya. Kali ini Ulfah roboh. Dia melolong keras-keras. Baru sekali ini Burhan tega memukulnya. Sakit hatinya

Terjadilah perdebatan panjang di antara mereka. Penjelasan Ulfah tidak dipercaya oleh Burhan. Malam itu juga Burhan keluar rumah, konon akan menemu Bandi. Esok paginya dia kembali, dan masih dengan kemarahan yang hebat. Terjadi perdebatan yang lebih seru.

                     “Suami tidak bertanggung jawab!” seru Ulfah. “Sekaranglah saatnya aku harus menunjukkan prinsip dan harga diriku!”

                     “Harga diri? Siapa yang merusak harga diri orang lain? Aku apa kamu?”

                     “Kamu! Telah kamu campakkan harga diriku. Sebagai istrimu, aku telah kamu jajah seenak udelmu sendiri. Dan aku tak sudi lagi sekarang!”

Di tengah perdebatan sengit itu, tiba-tiba Ulfah menampar muka Burhan. Hatinya benar-benar sakit atas perlakuan Burhan selama ini yang selalu meninggalkannya dan kemudian menuduhnya berselingkuh.

Burhan sendiri tak dapat menahan emosi. Ia mengemasi kertas-kertas kerjanya, dan akhirnya pergi meningglkan rumah. Entah ke mana.

Demikian juga Ulfah. Katanya, “Kalau semua tindakanku merupakan proses pembebasan dari status quo yang menyiksa, maka perjuangan ini belumlah selesai. Aku harus melanjutkannya hingga benar-benar bebas dan merdeka. Terlepas dari apakah tindakanku ini baik atau buruk, yang jelas aku harus bersikap. Harus punya sikap! Ibarat orang mandi sudah kepalang basah, rasanya sakit hatiku tidak bakal sembuh jika cuma berhenti sampai di sini.”

Ulfah bertekad untuk pulang kampung.  Dia mengemasi barang-barangnya. Sepuluh langkah meninggalkan rumah, bandi muncul dengan sedan putihnya. Ulfah segera minta diantar ke stasiun. Tapi Bandi mengajak ke rumahnya terlebih dahulu, Ia berusaha menahan Ulfah agar tidak pulang kampung. Tapi Ulfah tetap memilih untuk pulang. Akhirnya, sehabis ashar, Bandi mengantarkan Ulfah ke kampung halaman dengan mobilnya.

                                                                       ***

Karena Bandi mengantuk, hujan, dan hari sudah malam, mereka menginap di sebuah hotel di Cirebon. Di kamar, singkatnya, Bandi berusaha merayu –bahkan memaksa-- agar Ulfah mau berhubungan badan dengannya. Tapi Ulfah menolak. Perdebatan terjadi dengan segala argumentasinya.

                 “Ulfah! Sekarang ukuran moral sudah bergeser. Relatif sekali. Semua akan tergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Dan pengorbanan moral sering tidak diperhitungkan senagai harga yang mahal. Bukankah sekarang ini kita sedang memburu kebahagiaan?”

                 “Tujuan tidak bisa menghalalkan cara!” kata Ulfah. “Yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah nilai yang dibawa. Kamu boleh saja mempersetankan moral. Itu hakmu! Tetapi bagiku, nilai moral di atas segalanya.”

Karena Bandi terus memaksa, bahkan dengan cara yang mulai kasar, akhirnya Ulfah kabur dari hotel. Dengan menumpang becak, dia minta diantar ke terminal bus untuk selanjutnya pulang kampung sendirian.                                       

                                                                            ***

Dalam konteks moralitas, ada dua kata kunci yang bisa diterangkan lebih jauh dari argumentasi Bandi di atas (“Ukuran moral sudah bergeser. Relatif sekali. Semua akan tergantung pada tujuan yang hendak dicapai”). Apa itu? yakni kata “”relatif” dan kata “tujuan”. Saya coba persingkat saja, sebab tentang hal ini sudah banyak ditulis para cendikia. Pertama, kata “tujuan”. Dalam diskursus filsafat, etika yang mendasarkan pada “tujuan” ini disebut sebagai etika teleologis (berasal dari bahasa Yunani “telos” (tujuan). Etika ini menjadi “lawan” dari etika deotologis (dari bahasa Yunani “deon”, artinya yang diharuskan atau yang wajib). Etika deontologis mengatakan bahwa betul-salahnya suatu tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu, tapi ada cara bertindak yang begitu saja terlarang atau wajib dilakukan. Jadi norma moral itu berlaku umum, untuk semua orang, di mana saja, dan kapan saja.

Sedangkan etika teleologis mengatakan bahwa betul-tidaknya suatu tindakan justru tergantung dari akibat-akibat yang ditumbulkan. Kalau akibatnya buruk, berarti tidak boleh dilakukan. Kalau akibatnya baik, boleh dilakukan. Itu berarti etika teleologis mengukur baik buruknya tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu. Jadi etika ini lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu juga.

Problem utama etika teleologis ini adalah bagaimana menilai tujuan atau akibat dari tindakan itu? Tujuan dan akibat itu untuk siapa? Untuk pribadi pelakunya atau untuk publik? Etika ini memunculkan dua aliran baru, yakni Egoisme Etis (kepentingan yang paling baik bagi pribadi) dan Utilitarianisme (etika yang mementintangkan manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang).

Sekarangn kata kunci kedua, yakni “relatif”. Dalam dunia etika, dikenal juga penganut “relativisme moral”. Setidaknya ada 3 (tiga) kelompok. Pertama, mereka yang menyatakan bahwa norma-nomra moral di antara pelbagai masyarakat dan kebudayaan tidak sama (relativisme deskriptif). Beberapa  antropologi, etnolog, dan sosiolog, mempercayai hal ini. Kedua, mereka yang berpendapat bahwa norma moral tak pernah berlaku mutlak. Menurut pandangan mereka, bagi tiap-tiap individu dan masyarakat, mungkin saja berlaku norma-normal moral yang tersendiri dan berlainan, meskipun seadainya mereka berada dalam situasi yang sama (relativisme normatif).  Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa apa yang tampak sebagai ungkapan moral sebetulnya merupakan ungkapan perasaan saja dan oleh karenanya bersifat irasional (relativisme metaetis).

Tentu saja terhadap penganut “relativisme moral” ini juga ada penentangnya. Misalnya, terhadap kelompok pertama, mereka dianggap tidak mampu membedakan antara “norma moral konkrit” dan normal moral yang mendasarinya atau yang lebih besar. Norma moral konkrit memang berlaku terbatas pada situasi masyarakat dan kebudayaan tertentu. Tetapi norma moral yang sesungguhnya adalah norma yang berlaku umum. Misalnya, terhadap ungkapan moral “perlakukanlah setiap orang secara adil” sulit untuk tidak diakui sebagai nomra moral yang berlaku umum. Setiap orang, setiap kelompok masyarakat, setiap kebudayaan, mestinya mengakui bahwa  pernyataan “perlakukanlah setiap orang secara adil” sebagai normal moral yang baik dan berlaku di mana saja. Sedangkan terhadap kelompok kedua (relativisme normatif), penentangnya mengatakan bahwa suatu norma yang tidak berlaku mutlak dan umum, dengan sendirinya bukan normal moral. Terhadap kelompok ketiga, pernyataan moral itu tidak sekadar perasaan, tetapi mengandung arti dan dapat dijelaskan benar atau tidaknya. Pernyataan moral memang mengungkapkan perasaan dan sikap orang yang mengatakannya, tetapi sekaligus mengandung maksud untuk menimbulkan sikap yang sama bagi pendengarnya.

                                                                                 ***

Selanjutnya, di rumah, Ulfah menceritakan apa yang terjadi dan dialami selama ini kepada ayah dan ibumnya. Tetapi hidup di desa tanpa kegiatan dan penghasilan juga tidak membuat Ulfah nyaman. Koperasi yang pernah dirintis Buhan ternyata juga sudah bubar. Sementara dua adiknya – Zainul dan Madun—juga masih menganggur. Keadaan ekonomi keluarganya makin susah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tetangganya juga sudah mulai ada yang bergunjing tetang status Ulfah. Ayah dan Ibunya mendersak agar Ulfah segera kembali ke Jakarta. Tapi Ulfah menolak dengan berbagai alasan. Namun, karena sudah tidak tahan lagi atas desakan kedua orangtuanya, Ulfah akhirnya memutuskan untuk pergi ke Purwodadi, menemui adiknya yang lain, Rifah, seorang guru Sekolah Dasar. Di situ Rifah tinggal bersama suaminya (Toha), seorang guru SMP, dan anaknya (Irfan) yang masih balita.

Setelah mendengar cerita lengkap kisah hidup Ulfah, adiknya memaksa Ulfah untuk tinggal bersamanya sampai semuanya beres. “Semua sudah keterlaluan. Tidak saja Mas Burhan, Mas Bandi, tetapi Bapak dan Ibu pun sudah keterlaluan! Aku bisa memahami perasaanmu, Mbak Ulfah. Seandainya hal itu terjadi atas diriku, aku pun akan melakukan seperti apa yang kamu lakukan sekarang. Semua sudah keterlaluan,” kata Rifah.

Beberapa hari di situ, Ulfah mulai gelisah. Dia merasa harus melakukan sesuatu. Dia tidak ingin menjadi parasit di rumah adiknya. Atas bantuan Toha, Ulfah diterima menjadi guru Sekolah Dasar swasta. Lalu dia menjual kalungnya untuk membeli mesin jahit. Ulfah bertekad untuk membuka usaha jahit-menjahit baju. Sebab itu termasuk salah satu keahlian yang dia miliki. Dia juga mengisi waktu dengan menjadi guru ngaji anak-anak sekitar.

Selain itu, salah satu yang dirintis Ulfah adalah mendirikan koperasi. Toha menghubungi beberapa rekannya untuk diajak bergabung. Salah satunya adalah Arif Sumukti. “Kita sudah mulai bergerak,” kata Arif. “Petani, tukang gerabah, pengrajin anyaman bambu, pedagang kecil palawija, merupakan kelompok sasaran utama garapan kami. Minggu depan kita kumpul di rumah Pak Hadi. Nanti kamulah yang memberikan pengarahan dan penerangan tentang tujuan koperasi fungsional ini, Ulfah.”

Kegembiraan Ulfah makin lengkap karena dia bisa membantu upacara pernikahan Darti (pembantunya) dan Tunggul, tukang minyak dorong yang menjadi pacar Darti. Mereka menikah di kampung asal Ulfah. Ulfah juga berhasil mengusulkan Zainul (adiknya) kepada Pak Kabul (Kepala Sekolah) agar bisa menjadi pengajar yang dikelola Yayasan Sosial Bina Cendikia di Purwodadi itu. Kini tingal Madun yang masih belum bekerja.

                                                                     ***

Orang yang paling semangat membantu Ulfah dalam mendirikan koperasi adalah Arif Sumukti.  Pertemuan awal mereka dengan “calon anggota” Usaha Bersama (sebagai ganti kata koperasi) di pendopo rumah Pak Hadi berjalan sukses. Selanjutnya para peminat tinggal mendaftarkan diri. Ulfah merasa telah berbuat sesuatu bagi masyarakat.

Kini, bagi Ulfah, Burhan dan Bandi tinggalah bayang-bayang maaa lalu. Ulfah kini merasa seperti seorang pemburu yang bebas, tetapi sekaligus terikat pada buruannya. Dia terikat oleh pekerjaannya, murid-muridnya, anak-anak gadis tetangga yang belajar mengaji, langganan menjahit, dan oleh semua anngota koperasi yang sedang digalang. Peran Arif Sumukti cukupn besar dalam kelancaran pendirian koperasi. Hubungan mereka juga semakin akrab. Bahkan Ulfah tak dapat memungkiri bahwa dia juga tertarik dengan Arif. Demikian sebaliknya. Bahkan Ibu Arif tidak keberatan jika punya menantu seorang janda. “Ah, andaikata statusku sudah jelas, tentulah hati tidak akan segundah ini,” kata Ulfah dalam hati.

Hubungan dekat antara Arif dan Ulfah menjadi pembicaraan – atau gosip – banyak orang. Sementara itu, selama sebulan ini Ulfah belum mengalami menstruasi. Maka dia pun berinisiatif memeriksalan diri ke dokter.

                                                                            ***

 Di bagian akhir (bagian sembilan belas), dikisahkan pertemuan Ulfah dengan Burhan, Jamaludin (mertuanya), dan dua adiknya Zainul dan Rifah).

         “Ulfah, aku datang!” kata Burhan.

         “Dari mana kamu, Nak?” tanya mertuanya dengan lembut.

         “Dari rumah sakit, Bapak. Berobat. Cuma sakit flu, kok,” jawab Ulfah berbohong. Memang tidak seorang pun tahu bnahwa dia baru saja memeriksakan kandungan.

         “Syukurlah Cuma flu. Bapak kemari mengantar suamimu, Nak. Bapak tahu kamu di sini dari ayahmu. Kami sudah dari sana. Nak Ulfah, bapak sedih mendengar perceksokan kalian. Tetapi itu hanya soal kecil, Nak, biasa dalam rumah tangga...”

Pada saat lelaki tua itu berhenti berbicara, suasana sunyi. Burhan pun tidak bersuara. Kebisuan mencekam.

          “Dalam perkara ini suamimu yang keliru, Nak,” lanjut mertuanya memecah kebisuan. “Semua sudah diceritakan oleh suamimu, dan dia sudah habis-habisan kumarahi. Di hadapanku dia mengakui kesalahannya. Dulu Bapak juga suka berjuang. Tapi Bapak tidak pernah bikin ibumu susah. Perjuangan nomor satu adalah demi keluarga, setelah itu baru boleh demi yang lain-lain. Semuanya harus dimulai dari lingkungan yang paling kecil, yaitu diri sendiri, anak-istri, tetangga, barulah meluas sampai menggulung jagad. Kalau kamu sudi, Nak Ulfah, maafkan suamimu...”

Air mata Ulfah tidak lagi terbendung karena keharusn. Orang tua yang bijaksana. Bagi Ulfah, mertuanya itu bagai nabi yang diturunkan Tuhan untuk menyelesaikan kemelut rumah tangganya.

          “Kaum lelaki punya kewajiban menjaga dan melindungi istrinya. Dengarkan, Burhan! Istri bukan untuk ditinggal pergi terus-terusan. Perjuangan demi keluarga adalah perjuangan akbar, Burhan! Insyafilah ini! Nah, sekarang, sebagai bapakmu aku ingin mendengar kemauanmu. Katakan sekarang!”

Burhan mengangkat kepalanya. Ini detik-detik yang mendebarkan. Ulfah menatap suaminya. Burhan kelihatan pucat dan kurus.

         “Tidak perlu diurai panjang-lebar. Semua sudah jelas,” kata Burhan dengan nada rendah. “Maafkan aku, Ulfah! Kedatanganku ini bermaksud baik, dengan konsekuensi akan memenuhi semua kemauanmu. Nah, untuk itu aku ingin mendengar kemauanmu, Ufah.”

Ulfah menengadah, mengambil napas panjang, kemudian berkata: “Aku telah menemukan diriku di desa ini. Di sini aku telah...”

       “Tidak usah kamu ceritakan!” potong Burhan. “Semua kegiatanmu sudah diungkapkan Toha, Rifah, dan Zainul barusan. Jadi kamu sudah tidak berminat kembali ke Jakarta lagi?”

         “Itu pun bagus, Burhan!” sahut mertuanya. “Di mana-mana juga bumi Tuhan. Istrimu tentu tidak mau lagi ke Jakarta. Di sini dia lebih tenteram, hidup sendiri sekalipun, dia berani. Kalau ingin baik, kamu harus mau berkorban, Burhan! Sedia berkorban demi kebaikan, lebih-lebih untuk istri sendiri, adalah tindakan mulia. Jarang yang sanggup melakukannya kecuali orang yang berjiwa besar. Mulailah kalian membangun rumah tangga di sini, di desa ini, dari yang paling nol sekalipun. Usaha apa saja, nanti aku beri modal. Tadi kamu dengar sendiri kan, Nak Toha memberimu saran untuk membuka usaha berdagang bahan bangunan? Katanya usaha itu bisa cepat maju di sini. Bukan begitu, Nak Toha?”

            “Benar, Pak,” jawab Toha. “Nanti bisa kontrak tempat di pinggir jalan raya. Kebetulan kemarin ada kawan menawarkan tempat itu.”

             “Baiklah. Kami akan mencoba memulai hidup baru di sini. Aku setuju,” ucap Burhan dengan yakin. “Tapi aku ingin mendengar dulu kesediaan istriku. Dia belum memberikan tanggapan apa-apa, kan?”

             “Aku menyambut gembira,” kata Ulfah.  Hanya saja, aku tidak mau kalau semua yang sudah kukerjakan menjadi terganggu. Kedua, kita mesti cari tempat tinggal baru! Tidak bisa terus-menerus numpang di rumah Toha.”

            “Kan tadi aku sudah bilang, Mbak, kebetulan sekali ada kenalan yang mau mengontrakkan rumahnya,” sambut Toha.

           “Itu semua aku bisa mengerti, Ulfah,” kata Burhan mantap. “Tapi, kalau aku boleh meminta kepadamu, tidak banyak, sederhana saja. Kamu boleh tetap menjadi guru dan melanjutkan pekerjaanmu menjahit. Tetapi nizinkalah aku mengambil alih tugas-tugasmu mengelola koperasi fungsional itu. Harapanku semoga kamu masih mau mengerti panggilan jiwaku. Itu saja. Dan aku mengucapkan selamat atas perjuanganmu. Aku kagum dan hormat kepadamu, Ulfah!”

          “Sepenuhnya aku mendukung saran Burhan,” tutur mertuanya. “Dia toh bisa bekerja sambil berjuang. Yang penting, rumah tangganya tidak dikorbankan dan usahanya jualan bahan bangunan nanti tidak ditelantarkan>’

Derum sepeda motor terdengar mendekat dan berhenti persis di depan rumah. Tidak lama setelah itu Arif Sumukti muncul Zainul bergegas menyongsong, gopah-gopoh memperkenalkannya dengan Burhan.

         “Kenalkan, Mas Arif, ini suami Mbak Ulfah,” kata Zainul penuh mekaud.

          “Dia akan menjadi temanmu berjuang di sini, Arif. Dia akan gtinggal di desa ini,” tetak Rifah tanpa ampun.

Ulfah menangkap kegugupan di wajah Arif. Air mukanya menjadi keruh. Dia menyalami Buhan, lalu mertua Ulfah. Sinar matanya kosong seolah-olah dia telah kehilangan kepribadiannya. Ulfah merasa kasihan kepadanya.

         “Maaf,” kata Arif gugup. “Peserta Arisan Jamban sudah siap semua. Kalau Bu Ulfah tidak bisa hadir pun tidak apa-apa. Sayalah nanti yang akan memimpin arisan....”

          Ulfah tidak tahu apa maksud Arif sehingga ia harus memanggilnya kembali dengan sebutan “ibu”.

        “Kebetulan sekali kalau hari ini saya ada acara,” kata Burhan. “Sebentar lagi kami akan ke sana, Dik. Itu kalau boleh. Sunggiuh, saya sangat senang.”

Tidak lebih setengah jam kemudian, Eulfah dan Burhan berangkat menghadiri Arisan Jamban di rumah Pak Hadi. Sepanjang perjalanan Burhan menggandeng bahu Ulfah sekan-akan ingin pamer kepada semua orang.

         “Setelah kita berhasil membuka usaha di sini, Madun akan kuajak kemari, Ulfah,” kata Burhan. “Kasihan. Kemarin dia bilang padaku bahwa dia kesepian di rumah.”

        Tuhan! Betapa merduanya suara itu! Kabulkanlah rencana kami! Kata Ulfah dalam hati.

        “Maafkan kekhilafanku selama ini, Mas,” kata Ulfah perlahan.

        “Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah jelas, Ulfah, juga pandanganku terhadapmu. Belum lama Bandi datang kepadaku dan menceritakan semuanya, termasuk apa yang terjadi di kamar hotel di Cirebon. Dia cukup ksatria dengan mengaku bersalah dan meminta maaf kepadaku,” kata Burhan.

        “Oh!”

        “Tidak usah kaget! Sepenuhnya aku mempercayaimu, Ulfah.”

       “Juga percaya pada informasiku yang lain, Mas?”

        “Informasi yang lain? Apa yang akan kamu sampaikan?

Dari dompet Ulfah mengeluarkan hasil pemeriksaan kandungannya untuk kemudian diberikan kepada Burhan. Di dekat telinganya Ulfah berbisik, “Lihatlah ini, Mas!”

          “Allah Maha besar! Kamu hami, Ulfah, istriku?” pekik Burhan tak tertahan. Ia mencengkeram bahu Ulfah dan menguncangnya perlahan. Kedua mata Burhan berkaca-kaca. Beberapa detik lamanya Burhan tertunduk.

         “Mas, ini di jalanan, Mas!”

Burhan tergeragap, lalu menyeka matanya, dan kemudian melangkah lagi.

Tiba di rumah Pak Hadi, mereka disambut beramai-ramai. Burhan disalami banyak orang, disebut-sebut sebagai tokoh yang hendak memimpin perjuangan. Melihat sambutan orang-orang yang begitu  gegap-gempita, Ulfah yakin bahwa Arif sudah bercerita tentang rencana suaminya. Pemuda yang sempat menyintai Ufah ini sudah kembaki lincah dan enerjik. Kekeruhan di wajahnya sirna sudah seolah-olah kepribadiannya yang sesaat tadi hilang kini kembali didapatkan. Kedatangan mereka, disadari atau tidak, menjadi lebih istimewa daripada Arisan Jamban itu sendiri.

Burhan berkenan memberikan sambutan dalam pembukaan arisan. Di  hadapan  orang banyak Burhan memuji-muji Ulfah sebagai pahlawan. Ulfah tersipu-sipu karenanya.

           “Ternyata istriku telah menunjukkan prestasinya yang gilang-gemilang,” serunya di atas mimbar dengan nada haru yang tertahan. “Dia telah berhasil menggugah kesadara kita, terutama kesadaran saya pribadi sebagai seorang suami. Dia telah mampu menggali potensi pada dirinya, pada keniscayaan manusia untuk mengatasi problemnya sendiri...’

Inilah saat yang paling mengharukan. Air mata Ulfah menggelincir jatuh.

                                                                         ***

Selain masalah etika yang sudah saya jelaskan di tengah tulisan ini (hlm 7-8), yang juga menarik adalah karakter Ulfah. Tokoh ini tidak digambarkan secara “hitam-putih” alias tidak selalu tampak baik dari awal hingga akhir. Pikiran Ulfah juga sering berubah-ubah, baik terhadap Bandi (dan pendapatnya), terhadap Burhan (dan pendapatnya), serta berbagai hal lain tentang kehidupan. Dia juga tampak mudah tertarik kepada orang lain. Contoh lain, beberapa kali ia mau dicium oleh Bandi, bahkan sesekali mengharap mendapat kemesraan lebih dari itu,, tapi pada saat lain dia menolak dengan tegas diajak berhubungan intim. Semua itu, setidaknya menurut saya, menjadikan Ulfah muncul sebagai tokoh  yang riil alias mudah ditemui dalam dunia nyata.

Mengenai judul novelnya, “Memburu Matahari”, tentu maksud Nadjib adalah sebuah metafora. Kata “matahari” Anda bisa artikan macam-macam seperti “harapan baru”; “awal kehidupan baru”; “hidup yang lebih baik”; “kebahagiaan”; dan macam-macam.

Sedangkan “catatan kecil” yang sifatnya teknis, akan saya sampaikan langsung kepada Nadjib Kartapati, penulisnya, yang kebetulan saya kenal. Selamat membaca.

  • Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

                                                                           ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler